Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]
Catatan Ukhty: Perlunya Lembaga Pendidikan Ma’arif Lebih Berbenah Diri
Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]

Breaking News

Minggu, 20 Agustus 2017

Perlunya Lembaga Pendidikan Ma’arif Lebih Berbenah Diri

Perlunya Lembaga Pendidikan Ma’arif Lebih Berbenah Diri
Ilustrasi Siswa Madrasah. Photo: Tempo.co
Oleh : Vinanda Febriani

PENDIDIKAN, ARRAHMAH.CO.ID - Satu tahun pelajaran telah terlampaui, kini saya duduk di bangku Madrasah Aliyah kelas 11 prodi IPS. Sungguh sebuah jalan Tuhan yang sangat istimewa, saya bersekolah di sebuah lembaga pendidikan formal berbasic Ma’arif. 

Sebenarnya pada awal mulanya, saya ingin mendaftar sekolah di sebuah lembaga pendidikan berbasis Muhammadiyah. Namun entah mimpi apa yang terjadi kepada saya, tiba-tiba saya terdorong untuk berpindah kepada pangkuan Ma’arif. Dorongan itulah yang hingga saat ini tumbuh dan menjadi penyemangat bagi saya supaya tetap teguh dalam pangkuan Nahdlatul Ulama.

Terhitung sejak awal saya bersekolah di salah satu Lembaga Pendidikan Maarif NU ini, banyak kejanggalan yang saya pendam karena takut menampakkan pendapat, kritik serta saran saya kepada publik. Saya sangat mencintai NU. Sehingga, ketika ada suatu hal yang ganjal di dalam tubuh NU, saya akan ikut merasakannya. Termasuk pada lembaga pendidikan berbasic Ma’arif ini.
Saya mendapati banyak kejanggalan, termasuk yang pernah saya ceritakan 
mengenai buku-buku Agama terbitan Departemen Agama (Depag) yang sama sekali tidak sesuai dengan kaidah Ahlussunnah Wal Jamaah An-Nahdliyyah, terutama dalam bidang Tauhid dan beberapa amalan sunnah. Memang sejak awal, ada banyak kesenjangan pendapat antara Aswaja NU dengan Ahlussunnah As-Salafiyah (Wahabbi), terutama dalam bidang Akidah yang mana Wahabbi membagi Tauhid menjadi tiga (triTauhid) yakni Rubbubiyah, Uluhiyyah, Asma wa sifat. Sedangkan Ahlussunnah Wal Jamaah Al-Asy’ariyah (di Indonesia biasa disebut ormas NU) mendefinisikan Tauhid menjadi 20 Sifat Wajib Allah tanpa membaginya menjadi beberapa bagian keTauhidan.
Sebenarnya, banyak kejanggalan yang saya temukan di berbagai buku terbitan Departemen Agama (Depag). Namun, yang memiliki bukti secara kongkrit hanya mengenai pembagian Tauhid ala Wahabbi. Padahal, jelas NU dengan Wahabbi beda jauh antara tauhid serta amalan-amalannya dalam mempelajari dan mengaplikasikan Islam di kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, saya sangat berharap kepada para Aktivis Lembaga Pendidikan Ma’arif supaya lebih jeli lagi mengenai pengedaran buku-buku terbitan lain selain LP Ma’arif, terutama buku keagamaan. Saya juga sangat berharap kepada LP Ma’arif supaya dapat mencetak buku keagamaan secara mandiri yang kemudian diedarkan kepada lembaga pendidikannya yang berbasis Ma’arif supaya steril dari virus wahabbisme yang sangat meresahkan.

Selain itu, saya juga masih merasakan suatu kejanggalan yang lebih besar daripada itu. Selama satu tahun ajaran kemarin yang saya alami, selama enam hari pelajaran, mengapa mata pelajaran ke-NU-an hanya berlangsung selama dua jam pelajaran dan hanya terjadi setiap seminggu sekali. Itu sangat ganjal menurut saya. Bagimana mungkin siswa akan memahami betul dakwah Aswaja NU ketika waktu yang diberikan untuk memaparkan penjelasannya hanya selama dua jam dalam satu minggu saja. Di LP Ma’arif, menurut saya seharusnya lebih menekankan pembelajaran mengenai pendidikan karakter ke-Aswajaan serta pendidikan berbasic materi ke-Aswajaan. Siswa-siswi perlu pendalaman materi lanjutan mengenai pembelajaran Aswaja NU (ke-NU-an). Dan dua jam bukanlah waktu yang tepat dan mencukupi.

Saat ini, banyak siswa-siswi bersekolah di LP Ma’arif namun ada saja yang tidak mengetahui definisi Aswaja beserta penjelasan-penjelasan mengenai amalan Aswaja NU. Hal itulah yang menjadi bentuk kecemasan saya pribadi kepada masa depan LP Ma’arif ini. Jangan sama ratakan antara pendidikan berbasic Umum dengan pendidikan Ma’arif. Ma’arif harus lebih unggul dalam bidang keagamaannya terutama dalam ke-NU-annya. Oleh karena itu, saya tekankan kembali bahwasanya dua jam untuk pelajaran Ke-NU-an selama satu minggu sekali pertemuan itu tidaklah cukup.

Terlebih, saat ini virus wahabbisme sudah menjalar ke berbagai kalangan. Ini bentuk kecemasan saya yang paling besar. Bagaimana jika nanti Aswaja NU tidak lagi di kenali masyarakat karena ketidak fahaman mereka mengenai "Apa itu Ahlussunnah Wal Jamaah An-Nahdliyyah dan Ahlussunnah As-Salafiyyah" dan pemeparan "nyleneh" mengenai pendapat "Tidak usah NU NU an, yang penting Ahlussunnah". Hal ini membuat kecemasan dalam diri saya yang mendalam. NU adalah satu-satunya organisasi Islam Indonesia yang "Moderat" dan mampu berbaur dengan kebudayaan Nusantara. Apabila NU hancur, maka hancur pula kebudayaan Nusantara, serta akan ikut hancur pula masa depan Indonesia. Sehingga, NU perlu mencetak kader kebanggaannya dengan sangat hati-hati. Salah satu caranya adalah dengan mendidik kadernya melalui lembaga pendidikan Ma’arif. LP Ma’arif pun juga harus mendukung semangat pengkaderan tersebut dengan menanamkan organisasi ke-IPNU IPPNU an di dalam lembaga pendidikannya serta menambah jam pelajaran Ke-NU-annya supaya peserta didik lebih jelas mengenaii apa itu NU dan Aswaja.

Kini, aku berharap untuk dua tahun pembelajaran hingga masa yang akan datang, materi ke-NU-an lebih dipertajam, diperdalam dan diperlama dalam materi pembelajarannya. Supaya siswa-siswi lebih jeli terhadap Aswaja NU.

Mungkin hanya sekian yang dapat saya sampaikan, kurang lebihnya mohon maaf.
Salam beribu harapan kepada LP Ma’arif NU.
Kader Nahdliyyin Militan.

Vinanda Febriani, Boribudur 20 Agustus 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By