Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]
Catatan Ukhty: Juni 2017
Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]

Breaking News

Minggu, 25 Juni 2017

Ansor-Banser Surabaya Buka Posko Idul Fitri di MERR

Ansor-Banser Surabaya Buka Posko Idul Fitri di MERR

ARRAHMAH.CO.ID- 100 orang personel Gerakan Pemuda (GP) Ansor Ranting Pandugo dikerahkan untuk menjaga posko Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri di Jalan Ir. Soekarno (MERR).

"Pembukaan posko Idul Fitri ini merupakan sebagian tugas Banser untuk menjamin kenyamanan warga disekitar MERR," kata Ketua PC GP Ansor Kota Surabaya Alaika S. Hadi pada Pembukaan Posko Banser Bulan Rmadhan dan Hari Raya Idul Fitri.

GP Ansor membuka posko Lebaran sampai jelang arus balik warga Kota Surabaya,

Lokasi yang dipilih oleh GP Ansor terletak di lokasi strategis, Masjid At-Tanwiir Pandugo.

"Kebetulan, kami memilih pendirian posko di di masjid karena akan memudahkan melakukan pemantauan, mengingat Jalan Ir. Soekarno adalah Jalan Padat Lalu Lintas" katanya.

Posko ini untuk membantu memberikan kenyamanan dan keamanan bagi warga kota Surabaya yang tidak mudik.

"Setiap `shift` jaga posko akan diisi oleh 5-7 personel banser. Mereka akan bergiliran menjaga posko, terutama diintensifkan pada malam hari yang dianggap rawan tindakan kriminalitas dan kecelakaan," katanya.

Posko ini juga bisa digunakan oleh para pemudik yang mengarah ke Surabaya.

Bagi para pemudik yang letih, kata dia, bisa memanfaatkan pelayanan posko tersebut untuk beristirahat.

Read more ...

Sabtu, 24 Juni 2017

Teks Lengkap Khutbah Idul Fitri Prof. Dr. Quraish Shihab di Istiqlal

Teks Lengkap Khutbah Idul Fitri Prof. Dr. Quraish Shihab di Istiqlal

Prof. Quraish Shihab dipilih sebagai khatib dalam salat Id di Masjid Istiqlal. Inilah teks lengkap khotbah salat Id yang dibawakan Quraish Shihab pagi ini di Istiqlal. 

ARRAHMAH.CO.ID - Allah Akbar, Allah Akbar, Wa Lillahil Hamd.

Dengan takbir dan tahmid, kita melepas Ramadan yang insya Allah telah menempa hati, mengasuh jiwa serta mengasah nalar kita. Dengan takbir dan tahmid, kita melepas bulan suci dengan hati yang harus penuh harap, dengan jiwa kuat penuh optimisme, betapa pun beratnya tantangan dan sulitnya situasi. Ini karena kita menyadari bahwa Allah Maha Besar. Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Semua kecil dan ringan selama kita bersama dengan Allah. Kita bersama sebagai umat Islam dan sebagai bangsa, kendati mazhab, agama atau pandangan politik kita berbeda. Karena kita semua ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita semua satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air dan kita semua telah sepakat ber-Bhineka Tunggal Ika, dan menyadari bahwa Islam, bahkan agama-agama lainnya, tidak melarang kita berkelompok dan berbeda. Yang dilarang-Nya adalah berkelompok dan berselisih.

Maksudnya: "Janganlah menjadi serupa dengan orang-orang yang berkelompok-kelompok dan berselisih dalam tujuan, setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan. Mereka itulah yang mendapatkan siksa yang pedih." Demikian Allah berfirman dalam Q.S. Ali ‘Imran ayat 105.

Saudara, keragaman dan perbedaan adalah keniscayaan yang dikehendaki Allah untuk seluruh makhluk, termasuk manusia.

Seandainya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikannya satu umat saja, tetapi (tidak demikian kehendak-Nya). Itu untuk menguji kamu menyangkut apa yang dianugerahkan-Nya kepada kamu. Karena itu berlomba-lombalah dalam kebajikan (Q.S. Al-Maidah ayat 48).

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa Lillahil Hamd!

Saudara, kini kita beridul fitri. Kata fithri atau fithrah berarti “asal kejadian”, “bawaan sejak lahir”. Ia adalah naluri. Fitri juga berarti “suci”, karena kita dilahirkan dalam keadaan suci bebas dari dosa. Fithrah juga berarti “agama” karena keberagamaan mengantar manusia mempertahankan kesuciannya. Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Islam) dalam keadaan lurus.

Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum ayat 30).

Dengan beridul fitri, kita harus sadar bahwa asal kejadian kita adalah tanah: Allah Yang membuat sebaik-baiknya segala sesuatu yang Dia ciptakan dan Dia telah memulai penciptaan manusia dari tanah. (Q.S. AsSajadah ayat 7)

Kita semua lahir, hidup dan akan kembali dikebumikan ke tanah. Dari bumi Kami menciptakan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu untuk dikuburkan dan darinya Kami akan membangkitkan kamu pada kali yang lain. (Q.S. Thaha ayat 55).

Kesadaran bahwa asal kejadian manusia dari tanah, harus mampu mengantar manusia memahami jati dirinya. Tanah berbeda dengan api yang merupakan asal kejadian iblis. Sifat tanah stabil, tidak bergejolak seperti api. Tanah menumbuhkan, tidak membakar. Tanah dibutuhkan oleh manusia, binatang dan tumbuhan -- tapi api tidak dibutuhkan oleh binatang, tidak juga oleh tumbuhan. Jika demikian, manusia mestinya stabil dan konsisten, tidak bergejolak, serta selalu memberi manfaat dan menjadi andalan yang dibutuhkan oleh selainnya.

Bumi di mana tanah berada, beredar dan stabil. Allah menancapkan gunung-gunung di perut bumi agar penghuni bumi tidak oleng – begitu firman-Nya dalam Q.S. An-Nahl ayat 15. Peredaran bumi pun mengelilingi matahari sedemikian konsisten! Kehidupan manusia di dunia ini pun terus beredar, berputar, sekali naik dan sekali turun, sekali senang di kali lain susah.

Saudara, jika tidak tertancap dalam hati manusia pasak yang berfungsi seperti fungsinya gunung pada bumi, maka hidup manusia akan oleng, kacau berantakan. Pasak yang harus ditancapkan ke lubuk hati itu adalah keyakinan tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Itulah salah satu sebab mengapa idul fitri disambut dengan takbir.
 
Kesadaran akan kehadiran dan keesaan Tuhan adalah inti keberagamaan. Itulah fithrah atau fitri manusia yang atas dasarnya Allah menciptakan manusia (Q.S. Ar-Rum ayat 30). 

Selanjutnya karena manusia diciptakan Allah dari tanah, maka tidak heran jika nasionalisme, patriotisme, cinta tanah air, merupakan fithrah yakni naluri manusia. Tanah air adalah ibu pertiwi yang sangat mencintai kita sehingga mempersembahkan segala buat kita, kita pun secara naluriah mencintainya. Itulah fithrah, naluri manusiawi. Karena itulah, hubbu al-wathan minal iman, cinta tanah air adalah manfestasi dan dampak keimanan. Tidak heran jika Allah menyandingkan iman dengan tanah air (Q.S Al-Hasyr ayat 9).

Sebagaimana menyejajarkan agama dengan tanah air, Allah berfirman: Allah tidak melarang kamu berlaku adil (memberi sebagian hartamu) kepada siapapun - walau bukan muslim-- selama mereka tidak memerangi kamu dalam agama atau mengusir kamu dari negeri kamu (Q.S. Al-Mumtahanah ayat 8). Demikian pembelaan agama dan pembelaan tanah air yang disejajarkan oleh Allah.

Saudara, (siapa) yang mencintai sesuatu akan memeliharanya, menampakkan dan mendendangkan keindahannya serta menyempurnakan kekurangannya bahkan bersedia berkorban untuknya. Tanah air kita, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, harus dibangun dan dimakmurkan serta dipelihara persatuan dan kesatuannya. Persatuan dan kesatuan adalah anugerah Allah yang tidak ternilai.

“Seandainya engkau, siapapun engkau, menafkahkan segala apa yang di bumi untuk mempertautkan hati anggota masyarakat, engkau tidak akan mampu, tetapi Allah yang mempertautkan hati mereka,” begitu Firman-Nya dalam Q.S. al-Anfal ayat 63.

Sebaliknya, perpecahan dan tercabik-cabiknya masyarakat adalah bentuk siksa Allah. Itulah antara lain yang diuraikan Al-Quran menyangkut masyarakat Saba’, negeri yang tadinya dilukiskan Al-Quran sebagai baldatun thayyibatum wa rabbun ghafur, negeri sejahtera yang dinaungi ampunan Illahi tapi mereka durhaka dengan menganiaya diri mereka, menganiaya negeri mereka.

Maka Kami jadikan mereka buah bibir dan kami cabik-cabik mereka sepenuh pencabik-cabikan. (Q.S. Saba’ ayat 18).

Saudara, yang dikemukan ayat-ayat di atas adalah sunatullah. Itu adalah hukum kemasyarakatan yang kepastiannya tidak berbeda dengan kepastian “hukum-hukum alam”. Allah berfirman: “Sekali-kali engkau -– siapapun, kapan dan di mana pun engkau -- tidak akan mendapatkan bagi sunnatullah satu perubahan pun dan sekali-kali engkau tidak akan mendapatkan bagi sunnatullah Allah sedikit penyimpangan pun.

Itulah yang terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia dan yang prosesnya bisa jadi yang kita saksikan dewasa ini di sekian negara di Timur Tengah.

Allahu Akbar, Allah Akbar, Wa Lillahil Hamd.

Saudara-saudara sekalian, Allah berpesan bahwa bila hari raya fithrah tiba, maka hendaklah kita bertakbir. ْKalimat takbir merupakan satu prinsip lengkap menembus semua dimensi yang mengatur seluruh khazanah fundamental keimanan dan aktivitas manusia. Dia adalah pusat yang beredar, di sekelilingnya sejumlah orbit unisentris serupa dengan matahari, yang beredar di sekelilingnya planet-planet tata surya. Di sekeliling tauhid itu beredar kesatuan-kesatuan yang tidak boleh berpisah atau memisahkan diri dari tauhid, sebagaimana halnya planet-planet tata surya -- karena bila berpisah akan terjadi bencana kehancuran.

Kesatuan-kesatuan tersebut antara lain. Pertama, kesatuan seluruh makhluk karena semua makhluk kendati berbeda-beda namun semua diciptakan dan di bawah kendali Allah. Itulah “wahdat al-wujud/Kesatuan wujud” – dalam pengertiannya yang sahih.

Kedua, kesatuan kemanusiaan. Semua manusia berasal dari tanah, sejak Adam, sehingga semua sama kemanusiaannya. Semua harus dihormati kemanusiaannya, baik masih hidup maupun telah wafat, walau mereka durhaka. Karena itu: Siapa yang membunuh seseorang tanpa alasan yang benar, maka dia bagaikan membunuh semua manusia dan siapa yang memberi kesempatan hidup bagi seseorang maka dia bagaikan telah menghidupkan semua manusia.“ [Q.S. al-Maidah ayat 32]

Memang jika ada yang manusia yang menyebarkan teror, mencegah tegaknya keadilan, menempuh jalan yang bukan jalan kedamaian, maka kemanusiaan harus mencegahnya. Hal ini dikarenakan, menurut Q.S. Al-Hajj ayat 40: Seandainya Allah tidak mengizinkan manusia mencegah yang lain melakukan penganiayaan niscaya akan diruntuhkan biara-biara, gereja-gereja, sinagog-sinagog, dan masjid-masjid, yang merupakan tempat-tempat yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Tetapi Allah tidak menghendaki roboh-robohnya tempat-tempat peribadatan itu. Karena itu pula kemanusiaan harus bersifat adil dan beradab.

Ketiga, di pusat tauhid beredar juga kesatuan bangsa. Kendati mereka berbeda agama, dan suku, berbeda kepercayaan atau pandangan politik, mereka semua bersaudara, dan berkedudukan sama dari kebangsaan. Karena itu sejak zaman Nabi Muhammad SAW., beliau telah memperkenalkan istilah “Lahum Ma Lanaa Wa ‘Alaihim Maa ‘Alaina”. Mereka yang tidak seagama dengan kita mempunyai hak kewargaan sebagaimana hak kita kaum muslimin dan mereka juga mempunyai kewajiban kewargaan sebagaimana kewajiban kita.

Dan karena itu pula, pemimpin tertinggi Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad At-Thayyib, berkata: “Dalam tinjauan kebangsaan dan kewargaannegaraan, tidak wajar ada istilah mayoritas dan minoritas karena semua telah sama dalam kewargaan negara dan lebur dalam kebangsaan yang sama." 

Kesadaran tentang kesatuan dan persatuan itulah yang mengharuskan kita duduk bersama bermusyawarah demi kemaslahatan dan itulah makna “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawatan perwakilan”. ْ

Saudara, kesadaran tentang kesamaan dan kebersamaan itu merupakan salah satu sebab mengapa dalam rangkaian idul fithri, setiap muslim berkewajiban menunaikan zakat fitrah yang merupakan simbol kepedulian sosial serta upaya kecil dalam menyebarkan keadilan sosial. Selain kesatuan-kesatuan di atas, masih banyak yang lain, seperti: kesatuan suami isteri, yakni kendati mereka berbeda jenis kelamin namun mereka harus menyatu. Tidak ada lagi yang berkata “saya” tetapi “kita”, karena mereka sama-sama hidup, sama-sama cinta serta sama-sama menuju tujuan yang sama.

Akhirnya, walau bukan yang terakhir, perlu juga disebut kesatuan jati diri manusia yang terdiri dari ruh dan jasad. Penyatuan jiwa dan raga, mengantar “binatang cerdas yang menyusui” ini menjadi manusia utuh sehingga tidak terjadi pemisahan antara keimanan dan pengamalan, tidak juga antara perasaan dan perilaku, perbuatan dengan moral, idealitas dengan realitas. Akan tetapi, masing-masing merupakan bagian yang saling melengkapi. Jasad tidak mengalahkan ruh dan ruh pun tidak merintangi kebutuhan jasad.

Kecenderungan individu memperkukuh keutuhan kolektif dan kesatuan kolektif mendukung kepentingan individu. Pandangan tidak hanya terpaku di bumi dan tidak juga hanya mengawang-awang di angkasa. Demikian itulah manusia yang ber-‘idul fithri, yang kembali ke asal kejadiannya.

Anda menemukan dia teguh dalam keyakinan. Teguh tetapi bijaksana, senantiasa bersih walau miskin, hemat dan sederhana walau kaya, murah hati dan murah tangan, tidak menghina dan tidak mengejek, tidak menyebar fitnah tidak menuntut yang bukan haknya dan tidak menahan hak orang lain.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa lillahil Hamd.

Saudara, kitab suci Al-Qur’an menguraikan bahwa sebelum manusia ditugaskan ke bumi, Allah memerintahkannya transit terlebih dahulu di surga. Itu dimaksudkan agar Adam dan ibu kita Hawa memperoleh pelajaran berharga di sana. Di surga, hidup bersifat sejahtera. Di sana, menurut Al-Qur’an Surah Thaha ayat 118-119, "tersedia sandang, papan dan pangan yang merupakan tiga kebutuhan pokok manusia. Di sana juga tidak terdengar, jangankan ujaran kebencian, ucapan yang tidak bermanfaat pun tidak ada wujudnya. Yang ada hanya damai… damai dan damai. 

Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula yang menimbulkan dosa, akan tetapi ucapan salam lagi sejahtera. (Q.S. Al-Waqiaah ayat 25-26).

Situasi demikian, dialami oleh manusia modern pertama itu, bukan saja agar jika mereka tiba di pentas bumi mereka rindu kepada surga sehingga berusaha kembali ke sana, tetapi juga agar berusaha mewujudkan bayang-bayang surga itu dalam kehidupan di bumi ini, yakni hidup sejahtera, terpenuhi kebutuhan pokok setiap individu, dalam suasana damai, bebas dari rasa takut yang mencekam, bebas juga dari kesedihan yang berlarut. ْ

Saudara! Di surga juga keduanya menghadapi tipu daya iblis dan mengalami kepahitan akibat memperturutkannya. Sementara pakar berkata bahwa kata “iblis” terambil dari bahasa Yunani Kuno yakni Diabolos, yang berarti "sosok yang memfitnah, yang memecah belah". Iblis memfitnah Tuhan dengan berkata bahwa Allah tidak melarang Adam dan pasangannya mencicipi buah terlarang, kecuali karena Allah enggan keduanya menjadi malaikat atau hidup kekal (Q.S. Al-’Araf ayat 20). Iblis memfitnah, memecah belah, dan menanamkan prasangka buruk.

Dengan beridul fitri, kita hendaknya sadar tentang peranan Iblis dan pengikut-pengikutnya dalam menyebar luaskan fitnah dan hoax serta menanamkan prilaku buruk serta untuk memecah belah persatuan dan kesatuan.

Saudara, Al-Qur’an melukiskan bahwa mempercayai ujaran Iblis, mengakibatkan tanggalnya pakaian Adam dan Hawa. (Q.S. Al-araf ayat 27). Pakaian adalah hiasan, pakaian juga menandai identitas dan melindungi manusia dari sengatan panas dan dingin sambil menutupi bagian yang enggan diperlihatkan. Selama bulan puasa ini, kita menenun pakaian takwa dengan nilai-nilai luhur.

Nilai yang telah disepakati oleh bangsa kita adalah nilai-nilai yang bersumber dari agama dan budaya bangsa yang tersimpul dalam Pancasila. Itulah pakaian kita sebagai bangsa. Itulah yang membedakan kita dari bangsa-bangsa lain. Itulah hiasan kita dan itu pula yang dengan menghayatinya kita dapat terlindungi -- atas bantuan Allah -- dari aneka sengatan panas dan dingin, dari aneka bahaya yang mengganggu eksistensi kita sebagai bangsa.

Allah berpesan: Jangan menjadi seperti seorang perempuan gila dalam cerita lama yang merombak kembali tenunannya sehelai benang demi sehelai setelah ditenunkannya (Q.S. An Nahl ayat 92). 

Saudara-saudara, para ‘Â’idîn dan ‘Â’idât, yakinlah bahwa kita memiliki nilai-nilai luhur yang dapat mengantarkan kita ke cita-cita proklamasi. Tetapi agaknya kita kurang mampu merekat nilai-nilai itu dalam diri dan kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai inilah yang membentuk kepribadian anggota masyarakat; semakin matang dan dewasa masyarakat, semakin mantap pula pengejawantahan nilai-nilai tersebut. Masyarakat yang sakit adalah yang mengabaikan nilai-nilai tersebut.

Ada orang atau masyarakat yang sakit tapi tidak menyadari bahwa dia sakit. Sayyidina Ali pernah berucap melukiskan keadaan seseorang atau masyarakat: “Penyakitmu disebabkan oleh ulahmu tapi engkau tidak lihat obatnya ada di tanganmu tapi engkau tak sadar.”

Keadaan yang lebih parah adalah tahu dirinya sakit, obat pun telah dimilikinya, tapi obatnya dia buang jauh-jauh. Semoga bukan kita yang demikian.

Akhirnya, mari kita jadikan ‘idul fithri, sebagai momentum untuk membina dan memperkukuh ikatan kesatuan dan persatuan kita, menyatupadukan hubungan kasih sayang antara kita semua, sebangsa dan setanah air.

Marilah dengan hati terbuka, dengan dada yang lapang, dan dengan muka yang jernih, serta dengan tangan terulurkan, kita saling memaafkan, sambil mengibarkan bendera as-Salâm, bendera kedamaian di tanah air tercinta, bahkan di seluruh penjuru dunia.

“Ya Allah, Engkaulah as-Salâm (kedamaian), dari-Mu bersumber as-Salâm, dan kepada-Mu pula kembalinya. Hidupkanlah kami, Ya Allah, di dunia ini dengan as-Salâm, dengan aman dan damai, dan masukkanlah kami kelak di negeri as-Salâm (surga) yang penuh kedamaian. Maha Suci Engkau, Maha Mulia Engkau,  Dzal Jalâli wal Ikrâm

Sumber: Tirto.id

Read more ...

Fitrah

Fitrah

Oleh: Ubaidillah Achmad

di hari fitri
melewati jalan lurus
menahan kehendak fisik
melepas rahasia jiwa
pada altar arsy Al Khaliq

sajakku,
untuk anak anakku
Salamah, Najah dan Shofia

matahari mengganti bulan
siang membuka malam
langit menguji bumi
gunung menjaga kelestarian
: mengapa semua membisu sunyi selalu

anak zaman
: terpana geliat unsur alam kian redup
saling berbeda keluh
berbilang keyakinan
bersajak ingatan
bersusah selalu
berbahagia senang
resah tajuk pagi
kisah perumpamaan manusia
tertikam kehendak diri

zaman kian asing dan berbeda
karena diskursus kian berjarak lemah
menyatukan serpihan yang sulit
memasuki kebun rumah
anggur berubah rasa
pisang menguning
pepaya memanjang
mangga setiap musim
searah perubahan zaman

detik zaman terus menguji nyali
    : pada setiap berganti musim
elok menghadiri musim
pagi menyambut senja
senja menutup usia tak berbilang
kesadaran kian tumbuh
pada anak manusia
bersemi tengkai menjulang angkasa raya

harapan mengisi ruang kosong
berembunyi rahasia rindu
cinta berpacu setiap nafas
pada altar nafas rahmani
melewati alam raya yang kian resah
jejak perjalanan itu indah:
meski tidak berpihak
pada pejalan seribu zaman
atau seribu anak zaman

karenanya, janganlah ragu
untuk saling memberikan maaf
meski saling memberikan kisah
dua zaman yang berbeda jarak
harapan
cita cita
kepastian

bersemayan pada fitrah
memastikan jalan hidup
bersama kekasih suci
: sudah pantaskah kita kembali

Ubaidillah Achmad, Khadim As Syuffah, Penulis Sukuk Kiai Cebolek dan Islam Geger Kendeng

Read more ...

Ucapan Selamat Hari Raya dalam Perspektif 4 Empat Madzhab

Ucapan Selamat Hari Raya dalam Perspektif 4 Empat Madzhab

Oleh: Moh Nasirul Haq LC.

Moment hari raya merupakan moment istimewa Bagi Ummat beragama. Ummat Islam dalam merayakan Hari raya Idul Fitri memiliki ciri khas bertukar doa dan ucapan.
Biasanya kata yang sering kita dengar seperti : "Minal Aidzin wal Faizin", "Taqobbalallahu Minna wa Minkum", "Kullu Amm Wantum bi khoir", dan lain sebagainya.

Sebenarnya setelah saya coba perhatikan, dalam mas'alah ini merupakan mas'alah yang Unik, karena disaat hampir semua orang mengucapkan selamat dan doa ini pada Hari Raya idul fitri, Sementara banyak orang bertanya tanya perihal hukum nya secara fiqh, Oleh karena itu kami mencoba mencarikan referensi dari kitab Fiqh Empat Madzhab.

Pertama kita perlu tahu apa makna dibalik Kalimat "Minal Aidzin Wal Faizin". kalimat ini dimaksudkan sebagai doa agar dikembalikan kepada Ied yang akan datang, boleh dibilang juga doa agar dipanjangkan umur dan berjumpa dengan hari raya berikutnya.

Adapun makna "Minal Faizin" dimaksudkan agar kita termasuk orang yang mendapatkan kemenangan di dunia dan akhirat.

Kedua kalinya kita perlu melihat apakah ada tendensi Hadits atau Ijma Sahabat perihal Ucapan ini.

Dalam Kitab Fathul Bari 2/446 Dan kitab Muntaqo 1/322 dijelaskan :
عن جبير بن نفير قال : كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض : تقبل الله منا ومنكم . وسئل مالك رحمه الله : أيكره للرجل أن يقول لأخيه إذا انصرف من العيد : تقبل الله منا ومنك ، وغفر الله لنا ولك ، ويرد عليه أخوه مثل ذلك ؟ قال : لايكره . اه_
Diriwayatkan dari jubair bin nafir ia berkata: Para Sahabat rosulullah S.A.W ketika berjumpa satu sama lain saat hati raya mereka berkata "Taqobbalallah Minna Waminkum".

dan diriwayatkan bahwa imam malik ditanya : Apakah dimakruhkan saat seseorang berkata pada saudaranya seusai Ied "taqobbalallahu minna wa minka, wa ghofarallahu lana wa laka" kemudian saudaranya membalasnya sedemikian???. Imam malik menjawab : tidak makruh!.

Ketiga Kita perlu meninjau dari perspektif Fiqh.

Ternyata menurut Fuqoha tidak ada larangan sama sekali perihal ucapan ini dalam perspeksif Fiqh. Berikut perinciannya;

- Menurut Madhab Hanafi dalam kitab Roddul mukhtar dan Hasyiyah ibnu abidin dikatakan: tidak dilarang bahkan sunnah. Doa dengan Hal yang baik dan mengandung berkah termasuk anjuran (lihat Roddul Mukhtar 1/557).

- Menurut Madzhab Maliki dalam kitab   dikatakan: bahkan menurut syeikh syabibi wajib mengucapkannya guna menghindari perpektif negatif memutus silaturahmi dan menampakkan cinta kasih dan kasih sayang diantara sesama muslim. (Lihat kitab Fawakihud dawani 1/322).

- Menurut Madhab Syafi'ie dikatakan Pendapat Imam Romli dari Imam Qomuli pada perkataan "Aku tidak melihat komentar para sahabat dalam perspektif ucapan selamat hari raya, ucapan bulan dan tahun tertentu seperti yang dilakukan orang. Masih saja terjadi pertentangan didalamnya dan aku memandang itu mubah tidak sunnah dan tidak bid'ah.

Kemudian imam romli melanjutkan bahwa imam Ibnu Hajar al Atsqolani berkata : Ucapan hari raya itu disunnahkan, bertendensi bahwa imam baihaki membuat bab khusus tentang hal itu.
Hingga sampai perkataan bahwa, dikatakan oleh Imam Qolyubi dari ibnu hajar bahwa;
  أن التهنئة بالأعياد والشهور والأعوام مندوبة. قال البيجوري: وهو المعتمد
Ucapan Peringatan Hari Raya, Bulan, dan Tahun adalah Sunnah. Berkata imam bajuri bahwa inilah pendapat yang muktamad (disepakati)."
Lihat Kitab Nihayatul muhtaj 2/391, Mughni Muhtaj 1/360, Qolyubi Umairoh (1/310), Baijuri (1/233).

- Menurut madzhab Hanbali sebagaimana dalam Kitab Mughni Ibin Qudamah dikatakan : tidak dilarang mengucapkan ucapan selamat hari raya bagi segenap orang pada saudaranya. Dengan ucapan "Taqobbalallah minna waminkum".
Lihat Kitab Mughni Ibin Qudamah (2/399), Kashful Qinna' (2/60).

Dengan demikian Kesimpulannya bahwa ucapan Selamat Hari Raya tidak dilarang oleh mayoritas Ulama, bahkan ada yang mengatakan sunnah bertendensi hadits Imam Baihaqi dan Amaliyah para sahabat saat Hari Ied.

Mari tebarkan doa dan Selamat kepada saudara muslim disekitar kita.

Read more ...

Jumat, 23 Juni 2017

Shalat-Shalat Sunnah

Shalat-Shalat Sunnah
Shalat-Shalat Sunnah
SHALAT-SHALAT SUNNAH

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

A. Keutamaannya

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ، فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَـابَ وَخَسِرَ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيْضَةٍ شَيْئًا، قَـالَ الرَّبُّ تَبَـارَكَ وَتَعَالَى: اُنْظُرُوْا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ، فَيُكَمَّلُ بِهِ مَا انْتَقَصَ مِنَ الْفَرِيْضَةِ ثُمَّ يَكُوْنُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى نَحْوِ ذَلِكَ.

“Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari Kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka beruntung dan selamatlah dia. Namun, jika rusak, maka merugi dan celakalah dia. Jika dalam shalat wajibnya ada yang kurang, maka Rabb Yang Mahasuci dan Mahamulia berkata, ‘Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Jika ia memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya disempurnakan oleh shalat sunnah tadi. Kemudian dihisablah seluruh amalan wajibnya sebagaimana tadi.” [1]

B. Disunnahkan Mengerjakannya di Rumah

Dari Jabir, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا قَضَى أَحَدُكُمُ الصَّلاَةَ فِـي مَسْجِدِهِ فَلْيَجْعَلْ لِبَيْتِهِ نَصِيْباً مِنْ صَلاَتِهِ، فَإِنَّ اللهَ جَاعِلٌ فِي بَيْتِهِ مِنْ صَلاَتِهِ نُوْرًا

“Jika salah seorang di antara kalian telah menunaikan shalat di masjidnya, maka hendaklah ia memberi jatah shalat bagi rumahnya. Karena sesungguhnya Allah menjadikan cahaya dalam rumahnya melalui shalatnya.” [2]

Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالصَّلاَةِ فِي بُيُوْتِكُمْ، فَإِنَّ خَيْرَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ الصَّلاَةِ الْمَكْتُوْبَةِ.

“Kerjakanlah shalat (sunnah) di rumah kalian. Karena sebaik-baik shalat seseorang adalah yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat wajib.” [3]

C. Macam-Macamnya

Shalat sunnah ada dua bagian: Muthlaqah dan Muqayyadah

Muthlaqah adalah yang dikenal dengan sunnah rawatib, yaitu yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat wajib. Ia terdiri dari dua bagian: muakkadah (yang ditekankan) dan ghairu muakkadah (tidak ditekankan).

1. Shalat sunnah muakkadah ada sepuluh raka’at

Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Aku ingat sepuluh raka’at dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : dua raka’at sebelum Zhuhur dan dua raka’at sesudahnya. Dua raka’at sesudah Maghrib, dua raka’at sesudah ‘Isya', serta dua raka’at sebelum shalat Shubuh. Pada saat itulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm tidak mau ditemui. Hafshah Radhiyallahu anhuma menceritakan padaku bahwa jika mu-adzin mengumandangkan adzan dan fajar (yang kedua) telah terbit, beliau shalat dua raka’at." [4]

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat raka’at sebelum shalat Zhuhur, dan dua raka’at sebelum shalat Shubuh.” [5]

2. Shalat sunnah ghairu muakkadah: Dua raka’at sebelum shalat ‘Ashar, Maghrib, dan 'Isya'.

Dari ‘Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، ثُمَّ قَـالَ فِي الثَّالِثَةِ: لِمَنْ شَاءَ.

“Di antara dua adzan (antara adzan dan iqamat-ed.) ada shalat, di antara dua adzan ada shalat.” Kemudian beliau berkata pada kali yang ketiga, “Bagi siapa saja yang menghendakinya.”[6]

Disunnahkan untuk menjaga empat raka’at sebelum shalat ‘Ashar

Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat empat raka’at sebelum shalat ‘Ashar. Beliau memisahkan antara raka’at-raka’at tadi dengan mengucapkan salam pada para Malaikat muqarrabiin (yang didekatkan kepada Allah), dan yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan muslimin dan mukminin.” [7]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

رَحِمَ اللهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا.

“Semoga Allah merahmati orang yang shalat empat raka’at sebelum ‘Ashar.” [8]

Riwayat yang mengabarkan bacaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebagian shalat tersebut

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

نِعْمَتِ السُّوْرَتَانِ يُقْرَأُ بِهِمَا فِي رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ، قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَقُلْ يَآ أَيُّهَا اْلكَافِرُوْنَ.

“Dua surat yang paling baik dibaca pada dua raka’at sebelum Shubuh adalah qul huwallaahu ahad (al-Ikhlash) dan qul yaa ayyuhal kaafiruun (al-Kaafiruun). [9]

Dari Abu Hurairah Radhiyalllahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca qul yaa ayyuhal kaafiruun (al-Kaafiruun) dan qul huwallaahu ahad (al-Ikhlash) pada dua raka’at sebelum Shubuh.” [10]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, “Pada dua raka’at shalat sunnah fajar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah membaca: quuluu aamannaa billaahi wa maa unzila ilainaa, yaitu ayat dalam surat al-Baqarah pada raka’at pertama. Dan pada raka’at terakhir: aamannaa billaahi wasyhad bi annaa muslimuun." [11] (Ali ‘Imran: 52).

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku tidak bisa menghitung berapa kali aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca: qul yaa ayyuhal kaafiruun (al-Kaafiruun) dan qul huwallaahu ahad (al-Ikhlash) pada dua raka’at sesudah Maghrib dan dua raka’at sebelum shalat Shubuh." [12]

[http://ift.tt/2dG9IYK, Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]

Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 451, 452)], Sunan at-Tirmidzi (I/258 no. 411), Sunan an-Nasa-i (I/232).
[2]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 375)], Shahiih Muslim (I/239 no. 778).
[3]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/517 no. 6113)], Shahiih Muslim (I/539 no. 781), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/321 no. 1434) dan Sunan an-Nasa-i (III/198).
[4]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 440)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/58/ no. 1180, 1180), ini adalah lafazhnya, Sunan at-Tirmidzi (I/271 no. 431), dengan lafazh hampir serupa.
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1658)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/58 no. 1182), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/134 no. 1240) dan Sunan an-Nasa-i (III/251).
[6]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/110 no. 627)], Shahiih Muslim (I/573 no. 838), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/162 no. 1269), Sunan at-Tirmidzi (I/120 no. 185), Sunan an-Nasa-i (II/28), Sunan Ibni Majah (I/368 no. 1162).
[7]. Hasan: Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 353)], Sunan at-Tirmidzi (I/269 no. 427).
[8]. Hasan: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 354)], Sunan at-Tirmidzi (I/270 no. 428), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/149 no. 1257).
[9]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 944)], Shahiih Ibni Khuzaimah (II/163 no. 1114), Ahmad (al-Fat-hur Rabbani) (IV/225 no. 987), Sunan Ibni Majah (I/363 no. 1150).
[10]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 360)], Shahiih Muslim (I/502 no. 726), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/135 no. 1243), Sunan an-Nasa-i (II/156), Sunan Ibni Majah (I/363 no. 1148).
[11]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 905)], Shahiih Muslim (I/502 no. 727), Sunan an-Nasa-i (II/155), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/137 no. 1246).
[12]. Hasan shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 355)], Sunan at-Tirmidzi (I/ 270 no. 429).
Read more ...

Shalat Sunnah Witir

Shalat Sunnah Witir
Shalat Sunnah Witir
SHALAT SUNNAH WITIR

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

A. Hukum dan Keutamaannya

Shalat sunnah Witir termasuk sunnah muakkadah. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menganjurkannya

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ.

“Sesungguhnya Allah itu ganjil (tunggal) dan menyukai orang yang shalat Witir.” [1]

Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Sesungguhnya shalat witir itu tidak wajib. Dan tidak sebagaimana shalat kalian yang wajib. Namun, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Witir kemudian berkata:

يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ أَوْتِرُوْا، فَإِنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ.

“Wahai ahlul Qur-an, shalat witirlah. Karena sesungguhnya Allah itu ganjil (tunggal) dan menyukai orang yang shalat Witir.” [2]

B. Waktunya

Boleh mengerjakan shalat Witir setelah shalat 'Isya' hingga terbit fajar. Sedangkan pada sepertiga malam terakhir adalah waktu yang paling utama.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat witir pada setiap bagian malam, baik di awal waktu, pertengahan, ataupun akhir malam. Shalat Witir beliau selesai di waktu sahur.” [3]

Disunnahkan menyegerakan shalat witir pada awal malam bagi yang takut tidak bisa bangun pada akhir malam. Sebagaimana disunnahkan mengakhirkannya pada akhir malam bagi yang merasa yakin akan bangun di akhir malam.

Dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Abu Bakar, ‘Kapan engkau shalat Witir?’ Dia menjawab: ‘Aku shalat Witir sebelum tidur.’ Beliau lalu bertanya pada ‘Umar, ‘Kapan engkau shalat Witir?’ Dia menjawab, ‘Aku tidur kemudian shalat Witir.’” Dia (Abu Qatadah) berkata, “Beliau berkata kepada Abu Bakar: ‘Engkau telah mengambilnya dengan hati-hati.’ Dan berkata kepada ‘Umar: ‘Engkau telah mengambilnya dengan kekuatan.’ [4]

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan shalat, sedangkan aku tengah tidur terlentang di atas ranjang. Jika ingin shalat Witir, beliau membangunkan aku, dan aku pun shalat Witir.” [5]

C. Bilangan Raka’at dan Tata Cara Shalat Witir
Jumlah raka’at shalat witir paling sedikit adalah satu raka’at.

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَـى، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوْتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى.

“Shalat malam itu dikerjakan dua raka’at dua raka’at. Jika salah seorang di antara kalian khawatir akan masuk waktu Shubuh, maka hendaklah ia berwitir dengan satu raka’at sebagai penutup bagi shalat yang telah dikerjakan.”[6]

Boleh berwitir dengan tiga, lima, tujuh, atau sembilan raka’at.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat lebih dari sebelas raka’at, baik pada bulan Ramadhan ataupun di luar Ramadhan. Beliau shalat empat raka’at. Janganlah engkau tanyakan tentang baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat raka’at lagi. Dan jangan engkau tanyakan tentang baik dan panjangnya. Setelah itu beliau Shallallahu 'alaihi wa salalm shalat tiga raka’at.” [7]

Juga dari ‘Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat malam sebanyak tiga belas raka’at. Beliau berwitir dengan lima raka’at dan tidak duduk kecuali pada raka’at terakhir.” [8]

Darinya juga, ia berkata, “Kami biasa menyiapkan siwak dan air wudhu' untuk beliau. Lalu Allah membangunkan beliau pada malam hari sesuai dengan kehendak-Nya. Lalu beliau bersiwak dan berwudhu'. Kemudian beliau shalat sembilan raka’at. Beliau tidak duduk kecuali pada raka’at kedelapan. Beliau berdzikir kepada Allah, memuji, dan berdo’a kepada-Nya. Setelah itu bangkit dan tidak salam. Lalu beliau berdiri dan mengerjakan raka’at yang kesembilan. Kemudian beliau duduk sambil berdzikir kepada Allah, memuji, dan berdo’a kepada-Nya. Lantas beliau mengucap salam dan memperdengarkannya kepada kami. Setelah itu beliau shalat dua raka’at sesudah salam sambil duduk. Itulah berjumlah sebelas raka’at, wahai anakku. Tatkala Nabiyyullah Shallallahu 'alaihi wa sallam semakin tua dan gemuk, beliau berwitir dengan tujuh raka’at. Lalu beliau mengerjakan shalat dua raka’at sebagaimana yang pertama. Itu semua berjumlah sembilan raka’at, wahai anakku.” [9]

Jika berwitir dengan tiga raka’at, maka membaca surat yang disebutkan dalam hadits berikut ini

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca pada shalat witir: Sabbihisma Rabbikal A’laa (Al-A'laa), Qul yaa ayuhal kaafiruun (Al-Kaafiruun), dan Qul huwallaahu Ahad (Al-Ikhlash), masing-masing untuk setiap raka’at.”[10]

D. Qunut Dalam Witir

Dari al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu ahuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajariku bacaan yang kuucapkan pada shalat Witir:

اَللّهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِـيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ.

“Ya Allah, tunjukilah aku sebagaimana Engkau menunjuki orang yang mendapat petunjuk-Mu. Jagalah aku sebagaimana Engkau menjaga orang yang mendapat penjagaan-Mu. Peliharalah aku sebagaimana orang yang mendapat pemeliharaan-Mu. Berkahilah apa yang Engkau berikan kepadaku. Lindungilah aku dari keburukan apa yang Engkau tetapkan. Karena sesungguhnya Engkaulah yang menetapkan, dan tidak ada sesuatu yang (dapat) mengatur-Mu. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang mentaati-Mu. Mahasuci dan Mahatinggi Engkau, ya Allah.” [11]

Menurut Sunnah, qunut ini dilakukan sebelum ruku’.

Berdasarkan hadits Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan Qunut dalam shalat Witir sebelum ruku’.” [12]

Tidak disyari'atkan qunut dalam shalat wajib kecuali jika terjadi musibah dan bencana. Ketika itu, Qunut dilakukan setelah ruku’, dan tidak dikhususkan untuk shalat wajib tertentu.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, “Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hendak mendo’akan keburukan atau kebaikan bagi seseorang, maka beliau melaksanakan qunut setelah ruku’.” [13]

Adapun qunut yang dilakukan pada shalat Shubuh secara terus menerus, maka itu adalah bid'ah

Sebagaimana dijelaskan oleh para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari Abu Malik al-Asyja’i dari Sa’ad bin Thariq, ia berkata, “Aku berkata pada ayahku, ‘Wahai ayah, engkau pernah shalat di belakang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali di Kufah ini kira-kira selama lima tahun. Apakah mereka melakukan qunut pada shalat Shubuh?” Dia berkata: “Wahai anakku, itu adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah).” [14]

Mustahil Rasulullah Shallallahu mengucapkan:

اَللّهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ.

Pada setiap Shubuh setelah bangkit dari ruku' sambil mengeraskan suaranya, lalu para Sahabat mengamininya, secara terus-menerus hingga beliau wafat. Lantas hal ini tidak diketahui umat sesudah beliau. Bahkan ditinggalkan oleh mayoritas umatnya, jumhur Sahabat, bahkan oleh mereka semua. Sampai-sampai seseorang dari kalangan Sahabat berkata, ‘Sesungguhnya itu adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah).’ Sebagaimana yang dikatakan oleh Sa’ad bin Thariq al-Asyja’i.” [15]

[http://ift.tt/2dG9IYK, Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]

Footnote
[1]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/214 no. 6410)], Shahiih Muslim (IV/2062 no. 2677).
[2]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 959)], Sunan Ibni Majah (I/370 no. 1169), Sunan at-Tirmidzi (I/282 no. 452), Sunan an-Nasa-i (III/229, 228), dalam dua hadits. Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/291 no. 1403) secara marfu'.
[3]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/512 no. 745)], ini adalah lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/486 no. 996), secara ringkas, Sunan an-Nasa-i (III/230), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/312 no. 1422) dan Sunan at-Tirmidzi (I/284 no. 456), dengan tambahan “di akhirnya.” Begitupula pada riwayat Abu Dawud.
[4]. Hasan Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 988)], Shahiih Ibni Khuzaimah (II/145 no. 1084), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/311 no. 1421), Sunan Ibni Majah (I/379 no. 1202).
[5]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/487 no. 997)], Shahiih Muslim (I/511 no. 744).
[6]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/477 no. 990)], Shahiih Muslim (I/516 no. 749), Sunan an-Nasa-i (III/227), Sunan at-Tirmidzi (I/273 no. 435), dengan lafazh serupa dan di dalamnya terdapat tambahan.
[7]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/33 no. 1147)], Shahiih Muslim (I/509 no. 738), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/218 no. 1327), Sunan at-Tirmidzi (I/274 no. 437).
[8]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 382)], Shahiih Muslim (I/508 no. 737), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/216 no. 1324), Sunan at-Tir-midzi (I/285 no. 457), dengan tambahan: "pada raka'at terakhir."
[9]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1510)], Shahiih Muslim (I/512 no. 746), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/219 no. 1328), Sunan an-Nasa-i (III/199).
[10]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1607)], Sunan at-Tirmidzi (I/288 no. 461), Sunan an-Nasa-i (III/236) dengan tambahan di awalnya.
[11]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1647)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’-buud) (IV/300 no. 1412), Sunan at-Tirmidzi (I/289 no. 463), Sunan Ibni Majah (I/372 no. 1178) dan Sunan an-Nasa-i (III/248).
[12]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1266)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/352 no. 1414).
[13]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 4655)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (VIII/226 no. 4560).
[14]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 435)], Ahmad (al-Fat-hur Rabbani) (III/472 dan VI/394), Sunan Ibni Majah (I/393/1241).
[15]. Zaadul Ma'aad (I/271).
Read more ...

Qiyamul Lail (Shalat Malam)

Qiyamul Lail (Shalat Malam)
 Qiyamul Lail (Shalat Malam)
QIYAMUL LAIL (SHALAT MALAM)

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Shalat malam termasuk sunnah yang sangat dianjurkan. Ia termasuk ciri-ciri orang-orang yang bertaqwa. Allah berfirman:

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍآخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَٰلِكَ مُحْسِنِينَ كَانُوا قَلِيلًا مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada di dalam taman-taman (Surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” [Adz-Dzaariyaat: 15-19]

Dari Abu Malik al-Asy'ari Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرْفًا يُرَى ظَاهِرُهَـا مِنْ بَاطِنِهَا وَبَاطِنِهَا مِنْ ظَاهِرِهَا، أَعَدَّهَا اللهُ تَعَالَى لِمَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ، وَأَلاَنَ الْكَلاَمَ، وَأَدَامَ الصِّيَامَ، وَصَلَّى بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ.

“Sesungguhnya di dalam Surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya terlihat dari dalam dan bagian dalamnya terlihat dari luar. Allah Ta’ala menyediakannya bagi orang yang suka memberi makan, melunakkan perkataan, senantiasa berpuasa, dan shalat malam pada saat manusia tidur." [1]

A. Semakin Dianjurkan Pada Bulan Ramadhan

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan shalat malam pada bulan Ramadhan tanpa memberi perintah yang mewajibkan. Lalu beliau bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa shalat malam pada bulan Ramadhan dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, niscaya diampunilah dosa-dosanya yang telah lampau.” [2]

B. Bilangan Raka’atnya

Paling sedikit satu raka’at. Dan paling banyak sebelas raka’at. Sebagaimana telah disebutkan dalam perkataan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat lebih dari sebelas raka’at, baik pada bulan Ramadhan ataupun di luar Ramadhan.”

C. Disyari'atkan Melakukannya Secara Berjama'ah Pada Bulan Ramadhan

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Pada suatu malam, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di masjid. Lalu orang-orang shalat dengan shalat beliau. Pada malam berikutnya beliau shalat lagi dan orang-orang kian bertambah banyak. Mereka kemudian berkumpul pada malam ketiga atau keempat, namun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar menemui mereka. Ketika pagi tiba, beliau bersabda:

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ.

‘Aku melihat apa yang kalian perbuat. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian. Hanya saja aku takut jika shalat tersebut diwajibkan atas kalian.’

Saat itu pada bulan Ramadhan.” [3]

Dari ‘Abdurrahman al-Qari, ia berkata, “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menuju masjid. Ternyata orang-orang terpecah menjadi beberapa kelompok. Ada seorang laki-laki yang shalat sendirian, dan ada pula yang shalat dengan diikuti oleh beberapa orang. Lalu ‘Umar berkata, “Aku berpendapat, seandainya kukumpulkan mereka di bawah satu qari' (imam), tentulah akan lebih baik. Kemudian dia membulatkan tekadnya dan mengumpulkan mereka di bawah Ubay bin Ka'b. Pada suatu malam yang lain aku keluar bersamanya sedangkan orang-orang tengah shalat bersama imam mereka. ‘Umar berkata, ‘Ini adalah sebaik-baik bid’ah (perkara yang baru). Namun, orang-orang yang tidur pada saat ini lebih baik daripada yang sedang shalat’ -maksudnya, melaksanakan shalat di akhir malam lebih baik- karena saat itu orang-orang mengerjakannya di awal malam." [4]

D. Disunnahkan Agar Seseorang Shalat dengan Isterinya (Keluarga) di Luar Bulan Ramadhan

Dari Abu Sa’id, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَيْقَظَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّيَـا -أَوْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا- كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ.

“Jika seorang laki-laki membangunkan isterinya di malam hari, lalu keduanya shalat -atau shalat dua raka’at secara berjama’ah-, niscaya Allah mencatat keduanya sebagai para hamba laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah." [5]

E. Mengqadha Shalat Malam

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu, jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat malam karena sakit atau sebab lain, maka beliau shalat dua belas raka’at pada siang harinya.” [6]

Dari ‘Umar bin al-Khaththab, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ نَـامَ عَنْ حِزْبِهِ مِنَ اللَّيْلِ أَوْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ فَقَرَأَهُ مَا بَيْنَ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الظُّهْرِ كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنَ اللَّيْلِ.

“Barangsiapa tertidur sehingga tidak membaca wirid (shalat)nya di malam hari atau sebagian darinya, lalu membaca (melaksanakan)nya pada waktu antara shalat Shubuh dan shalat Zhuhur, maka dicatat sebagaimana ia membacanya di malam hari." [7]

F. Dimakruhkan Meninggalkan Shalat Malam Bagi yang Telah Terbiasa Mengerjakannya

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku:

يَا عَبْدَ اللهِ لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ، كَانَ يَقُوْمُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ.

"Wahai 'Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, sekarang dia meninggal-kan shalat malam." [8]

[http://ift.tt/2dG9IYK, Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]

Footnote
[1]. Hasan: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 2123)].
[2]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/523 no. 759 (174))], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/250 no. 2009), secara marfu'. Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/245 no. 1358), Sunan at-Tirmidzi (II/151 no. 805), Sunan an-Nasa-i (IV/156).
[3]. Muttafaq 'alaihi: [ Shahiih Muslim (I/524 no. 761)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/10 no. 1129), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/247 no. 1360).
[4]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 986)], Muwaththa' al-Imam Malik (hal. 85 no. 247), Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (IV/250 no. 2010).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1098)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/194 no. 1295), Sunan Ibni Majah (I/423 no. 1335).
[6]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 4756)], Shahiih Muslim (I/515 no. 746 (140)).
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1104)], Shahiih Muslim (I/515 no. 747), Sunan at-Tirmidzi (II/47 no. 578), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/197 no. 1299), Sunan an-Nasa-i (III/259), Sunan Ibni Majah (I/426 no. 1343).
[8]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/37 no. 1152)], Shahiih Muslim (II/814 no. 1159 (185)).
Read more ...

Banser dan Komitmen Kemanusiaan - #PoskoMudikBanser

Banser dan Komitmen Kemanusiaan - #PoskoMudikBanser
Banser dan Komitmen Kemanusiaan - #PoskoMudikBanser
Banser dan Komitmen Kemanusiaan - #PoskoMudikBanser
#PoskoMudikBanser

BANSER DAN KOMITMEN KEMANUSIAAN

Oleh: Ruchman Basori
Ketua Bidang Kaderisasi Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor 2015-2020.


ARRAHMAH.CO.ID - Masih ada saja orang yang sensi terhadap Barisan Ansor Serbaguna (Banser) sayap organisasi Gerakan Pemuda Ansor anak Nahdlatul Ulama. Pada saat Natal dan Tahun Baru mereka bertanya, kenapa Banser menjaga gereja? Pun tempat ibadah agama lain pada setiap hari-hari besar umat beragama? Lalu Banser ngapain pada saat menyambut Hari Raya Idul Fitri dan hajat umat Islam lainnya?

Keluarga Besar Ansor dan Banser tidak pernah marah dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, yang bernaga sinis dan mengecilkan perhatian Banser pada sesama muslim. Namun Banser menjawab dengan kerja nyata, bukan dengan kata-kata dan tentu komitmennya telah dicatat dalam sejarah bangsa dalam peran sosial kemasyarakatan, kebangsaan dan kemanusiaan.

Di akhir Ramadlon ini menjelang Hari Raya Idul Fitri, Banser Ansor kembali menunjukan komitmennya terlibat pengamanan mudik Lebaran. Tidak tanggung-tanggung sebagaimana dituturkan oleh Yaqut Cholil Qaumas (Gus Yaqut) Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor membuka 604 Posko Mudik Lebaran di seluruh Indonesia dengan menurunkan ribuan anggota Banser Lalu Lintas (Balantas). (www.tribunnews,com).

Anggota Balantas diturunkan untuk bertugas membantu aparat keamanan melakukan pengamanan dan kelancaran arus mudik Lebaran mulai H-5 dan H+7 Lebaran. Gus Yaqut memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada sahabat-sahabat Ansor dan Banser yang bersedia mewakafkan waktu Lebarannya untuk masyarakat guna membantu pengamanan mudik. Apa yang dilakukan Banser merupakan dharma bakti kepada bumi pertiwi, negara atas nama kemanusiaan. 

Kepala Satuan Koordinasi Nasional (Kasatkornas) Banser Alfa Isnaeni Posko menyebutkan Mudik Banser 2017 dengan jargon "Istirahat untuk Selamat" didirikan di 604 titik di seluruh Indonesia. Ratusan Posko tersebut tersebar di Sumatera (50 titik); Kalimantan, Papua, Sulawesi, Bali, NTT dan NTB (41 titik); Jakarta (6); Jabar (83); Jateng (201); Jatim (201); Yogyakarta (12), dan Banten (10 titik).

Tujuan pendirian posko mudik Banser kata Alfa Isnaini adalah untuk memberikan pelayanan mudik pada masyarakat, membantu berjalannya mudik yang lebih aman dan nyaman, sehingga proses mudik berjalan efektif, efisien, serta mengurangi risiko kecelakaan dan korban jiwa. Selain itu untuk mengetahui akar permasalahan yang terjadi seputar mudik Lebaran, sehingga dapat memberi masukan pemerintah untuk melakukan perbaikan kualitas pelayanan public di masa yang akan datang.

Pengamanan Mudik Lebaran adalah satu diantara kiprah Banser dalam khidmahnya menolong sesama, mempererat kebangsaan dan kemanusiaan. Para ulama telah mengajarkan kepada kami Ansor dan Banser tentang ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah basyariyah. Nilai-nilai demikian diajarkan secara sistematis dalam setiap kaderisasi Ansor. Di samping secara sunnatullah Ansor dibentuk untuk menolong sesama sebagaimana mengikuti (tafaulan) Sahabat Ansor membantu sahabat Muhajirin di Madinah.

Mengamankan Gereja
Sikap organisasi Banser menjaga rumah ibadah agama lain adalah implementasi dari kecintaannya terhadap NKRI (hubbul wathan minal iman). Komitmen kebangsaan yang diajarkan oleh Islam dan para ulama. Bagaimana menjaga dan membuat NKRI dengan 245 juta penduduk ini hidup rukun, aman dan damai. Jangan sampai ada warga negara tidak tenang menjalankan agama dan keyakinanya. Hakikatnya, yang dijaga adalah negeri tempat dimana kita makan, minum, hidup dan berjuang bersama dari gangguan manapun.

Kita tahu semua, menjaga keamanan dan kesefahaman sebagai sebuah bangsa (nation state) amat sulit di negara besar dan sangat plural seperti Indonesia ini. Makanya kita harus saling merekatkan tangan dalam menciptakan NKRI sebagai rumah bersama. Oleh karenanya Banser NU bersama Polri dan TNI ikut mengamankan rumah ibadah, perayaan-perayaan dan ritus-ritus keagamaan baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.

Banser mempunyai protap yang jelas, dalam melakukan pengamanan. bertindak atas bimbingan para ulama. Umat agama lain yang ingin Banser terlibat pengamanan, mengajukan permohonan ke Ansor Banser. Bahwa kemudian ternyata lebih banyak Gereja yang diamankan, karena surat yang masuk lebih banyak dari kalangan saudara-saudara kita Kristen dan Katolik. Saudara kita Muhammadiyah sudah mempunyai pasukan sendiri, apalagi FPI dan mereka tidak pernah mengajukan permohonan untuk dilakukan pengamanan.

Keterlibatan Ansor Banser dalam pengamanan dan partisipasi kegiatan sosial keagamaan lainnya bukan dalam dua tiga tahun ini saja, namun sudah puluhan tahun sejak sebelum organisasi keagamaan baru yang sering mengkafir-kafirkan saudara muslim itu berdiri. Bagi kami itu adalah tantangan dalam berbangsa dan bernegara. Bagaimana menjalankan agama di tengah pluralitas. Santai saja saudaraku, keterlibatan Ansor dan Banser dalam pengamanan rumah ibadah, tidak akan mengganggu anda, tetapi malah sebaliknya, anda akan lebih nyaman melihat umat bangsa ini hudup rukun dan merasa di rumahnya sendiri. 

Ada yang bertanya, bukankah masalah pengamanan itu domain dan tugasnya Polri dan TNI? Ya betul sekali. Banser Ansor hanya ikut membantu dan berpartisipasi sebagai bagian dari anak bangsa yang terpanggil hati nuraninya. Dan kami tidak akan melampaui kewenangan Polri dan TNI. 

Urusan pendidikan dan segala masalah yang melingkupinya itu juga domain pemerntah, utamanya Kemdikbud, Kemenag dan Kemristek Dikti, namun NU, Muhammadiyah, Al Wasliyah, Nahdlatul Wathan, Al-Irsyad, Al-Khairat dan lain-lain ikut mengurusi pendidikan. Apa itu salah, lagi-lagi itu sifatnya membantu pemerintah sebagai bentuk partisipasi masyarakat. Untuk membuat jutaan anak bangsa menjadi melek huruf, menjadi santun, taat pada agama dan negaranya tidak bisa kalau hanya diserahkan kepada negara, namun harus melibatkan masyarakat.

Hajat hidup masyarakat lainnya seperti kesehatan dan kesejahteraan sosial adalah menjadi domain pemerintah utamnya Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial, tetapi Muhammadiyah membangun RS Muhammadiyah dan PKU, NU mendirikan Rumah Sakit NU dan Pesantren Ramah Anak, di berbagai pondok pesantren menjamur berdiri Pos Kesehatan Pondok Pesantren (Poskestren). Lihat juga peran Pamswakarsa, FPI, Pemuda Muhammadiyah juga dalam rangka membantu pemerintah, karena menyadari pemerintah mempunyai segudang keterbatasan.

Kenapa juga ormas-ormas termasuk Ansor melakukan kegiatan peduli bencana? Bukankah sudah ada Kementerian Sosial dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)? Ini adalah wujud civic society agar negara dan rakyat sama-sama membangun dan bersinergi secara kuat. Bagi Ansor dan Banser ini adalah panggilan kemanusiaan karena agama kita adalah agama kasih sayang. 

Semoga yang masih salah paham dengan wadah Ansor dan Banser bisa menjadi jawaban walau tentu keputusan ada ditangan Anda. Lagi pula komitmen kebangsaan dan kemanusiaan Ansor tidak hanya pada penjagaan rumah ibadah, namun pada dihampir berbagai kegiatan keagamaan, social kemasyarakatan dan kemanusiaan. Untuk melakukan aksi social dan kemanusiaan kami tidak memerlukan persetujuan anda, tapi kami mengajak kepada anak bangsa ini yang masih mempunyai kepedulian.

Brebes, 23 Juni 2017
-------------------------------------
Ayo Sahabat yg sedang mudik, sedang bertugas diposko mudik, atau gak bisa mudik, UPLOAD serba serbi mudik di Facebook Twitter Instagram dengan meggunakan :
(hastag)
#PoskoMudikBanser
#PoskoMudikBanser
uplod foto/video/tulisan sebanyak2nya di facebook, twitter, IG dan jangan ketinggalan meyertakan (hastag)
#PoskoMudikBanser
#PoskoMudikBanser
#PoskoMudikBanser
#PoskoMudikBanser
#PoskoMudikBanser
#PoskoMudikBanser
#PoskoMudikBanser
#PoskoMudikBanser
#PoskoMudikBanser
#PoskoMudikBanser
#PoskoMudikBanser
#PoskoMudikBanser

Undangan ngetwitt bersama :
Jumat 28 Juni 2019/28 Ramadhan 1438 H
Pukul. 15.30 - 18.00 WIB
Pukul. 18.30 - 21.00 WIB
Read more ...

Bolehkan Saling Mengucapkan Minal Aidin wal Faizin Saat Idul Fitri?

Bolehkan Saling Mengucapkan Minal Aidin wal Faizin Saat Idul Fitri?
Bolehkan Saling Mengucapkan Minal Aidin wal Faizin Saat Idul Fitri?
Bolehkan Saling Mengucapkan Minal Aidin wal Faizin Saat Idul Fitri?
ARRAHMAH.CO.ID - Ucapan selamat hari raya banyak difatwakan oleh para ulama bahwa hukumnya adalah boleh. Dan redaksi antar negara Muslim berbeda-beda. Kesemuanya bertujuan saling hormat dan doa.

َنَقَلَ فِي الْمَوْسُوْعَةِ عَنِ ابْنِ أَمِيْرِ حَاجٍ قَوْلُهُ: الْأَشْبَهُ أَنَّهَا -يَعْنِي التَّهْنِئَةَ بِاْلعِيْدِ- جَائِزَةٌ مُسْتَحَبَّةٌ فِي الْجُمْلَةِ ثُمَّ سَاقَ آثَاراً عَنِ الصَّحَابَةِ... إِلَى أَنْ قَالَ: وَالْمُتَعَامَلُ فِي الْبِلَادِ الشَّامِيَةِ وَالْمِصْرِيَّةِ عِيْدٌ مُبَارَكٌ عَلَيْكَ وَنَحْوُهُ، وَقَالَ: يُمْكِنُ أَنْ يُلْحَقَ بِذَلِكَ فِي الْمَشْرُوْعِيَّةِ وَالْاِسْتِحْبَابُ لِمَا بَيْنَهُمَا مِنَ التَّلاَزُمِ.

Disebutkan dalam kitab al-Mausuah yang mengutip dari Ibnu Amir Haj, bahwa: “Pendapat yang kuat bahwa ucapan selamat hari raya adalah boleh dan dianjurkan secara umum. Kemudian Ibnu Amir Haj menampilkan beberapa riwayat sahabat.... Dan yang berlaku di Syam dan Mesir adalah ‘Hari Raya yang berkah bagi anda’, dan sebagainya. Ia berkata: “Dimungkinkan untuk disamakan dengan kalimat diatas di dalam anjuran dan disyariatkan mengucapkan hari raya, karena keduanya saling berkaitan”

وَعَلَى هَذَا، فَلَا مَانِعَ مِنَ التَّهْنِئَةِ عِنْدَ سَبَبِهَا بِمَا يَدُلُّ عَلَى الْمُرَادِ بِأَيِّ لَفْظٍ مِنَ الْأَلْفَاظِ الْوَارِدَةِ فِي السُّؤَالِ وَغَيْرِهَا مِنَ الْأَلْفَاظِ الْمُشَابِهَةِ، سَوَاءٌ قِيْلَ كُلَّ سَنَةٍ وَأَنْتَ بِخَيْرٍ، أَوْ كُلَّ عَامٍ وَأَنْتَ طَيِّبٌ، لَا فَرْقَ بَيْنَ هَذَيْنِ اللَّفْظَيْنِ (فتاوى الشبكة الإسلامية معدلة - ج 5 / ص 2912)

Dengan demikian, tidak ada larangan mengucapkan hari raya dengan ucapan yang mengarah kepada tujuan dengan berbagai redaksi yang terdapat dalam pertanyaan atau yang lain, yang terdiri dari kalimat-kalimat serupa. Baik berupa ‘Setiap tahun semoga anda dalam kebaikan’ dan sebagainya” (Fatawa Asy-Syabkah Al-Islamiyah 5/2192)

Lihat: Video Ustadz Menjawab - Nggak Perlu Ragu Ucapkan Minal Aidin wal Faizin





Di Indonesia, redaksi yang sudah lazim dan mentradisi adalah Minal Aidin wal Faizin. Ucapan seperti ini diperbolehkan oleh Mufti Wahabi Syekh Bin Baz:

ﺑﺸﺄﻥ ﻣﺎ ﺗﻌﺎﺭﻑ اﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻰ ﺫﺑﺤﻪ ﻣﻦ اﻟﻤﻮاﺷﻲ ﻓﻲ ﻋﻴﺪ اﻟﻔﻄﺮ؛ ﺇﻇﻬﺎﺭا ﻟﻠﻔﺮﺡ، ﻭﺗﻜﺮﻳﻤﺎ ﻟﻀﻴﻮﻓﻬﻢ اﻟﺬﻳﻦ ﻳﺮﺩﻭﻥ ﻋﻠﻴﻬﻢ، ﻭﻛﺬا ﺗﺰاﻭﺭﻫﻢ ﻓﻲ اﻟﻌﻴﺪ؛ ﺻﻠﺔ ﻷﺭﺣﺎﻣﻬﻢ، ﻭﺇﺩﺧﺎﻻ ﻟﻠﺴﺮﻭﺭ ﻋﻠﻰ ﺟﻴﺮاﻧﻬﻢ ﻭﺇﺧﻮاﻧﻬﻢ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ، ﻭﺗﻬﻨﺌﺘﻬﻢ ﺑﻌﻀﻬﻢ اﻟﺒﻌﺾ ﺑﻬﺬﻩ اﻟﻤﻨﺎﺳﺒﺔ ﺑﻘﻮﻟﻬﻢ: (ﺗﻘﺒﻞ اﻟﻠﻪ ﻣﻨﺎ ﻭﻣﻨﻜﻢ) ﻭ (ﻣﻦ اﻟﻌﺎﻳﺪﻳﻦ ﻭاﻟﻔﺎﺋﺰﻳﻦ) ﻭ (ﻋﻴﺪﻛﻢ ﻣﺒﺎﺭﻙ) ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﻋﺒﺎﺭاﺕ اﻟﺘﻬﻨﺌﺔ؛ ﻷﻧﻪ ﻇﻬﺮ ﻣﻦ ﻳﻘﻮﻝ: ﺇﻥ ﻫﺬا ﻛﻠﻪ ﻣﻦ اﻟﺒﺪﻉ، ﺑﻞ ﺇﻧﻪ ﻳﻤﺘﻨﻊ ﻋﻦ ﺯﻳﺎﺭﺓ ﺃﻗﺎﺭﺑﻪ ﻭﻣﻌﺎﺭﻓﻪ ﻭاﺳﺘﻘﺒﺎﻟﻬﻢ ﻓﻲ اﻟﻌﻴﺪ؛ ﻷﻧﻪ ﻳﺮﻯ ﺃﻥ ﻛﻞ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ اﻟﺒﺪﻉ

(Pertanyaan) Kebiasaan umat Islam menyembelih hewan pada Idul Fitri sebagai bentuk menampakkan suka cita dan memuliakan tamu yang datang. Juga silaturahmi diantara mereka, membahagiakan tetangga dan saudara sesama Muslim, saling mengucapkan selamat hari raya seperti "Semoga Allah menerima amal kita dan anda", "Berkah hari raya Anda", Minal Aidin wal Faizin dan sebagainya. Ada yang mengatakan bahwa semua itu adalah bidah...

ﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﺬﺑﺢ ﺑﻌﺾ اﻟﺬﺑﺎﺋﺢ ﻓﻲ ﻋﻴﺪ اﻟﻔﻄﺮ ﺇﻛﺮاﻣﺎ ﻟﻠﻀﻴﻮﻑ اﻟﺬﻳﻦ ﻳﺰﻭﺭﻭﻥ ﻣﻦ ﻳﺬﺑﺢ ﺗﻠﻚ اﻟﺬﺑﺎﺋﺢ، ﻟﻜﻦ ﺑﻘﺪﺭ ﻣﺎ ﻳﻜﻔﻲ ﻟﻠﺰاﺋﺮ ﻣﻊ ﻋﺪﻡ اﻹﺳﺮاﻑ ﻭاﻟﻔﺨﺮ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ، ﻭﺃﻣﺎ ﺗﻬﻨﺌﺔ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺑﺒﻌﺾ ﺑﺎﻟﻌﻴﺪ ﺑﻤﺜﻞ اﻟﻌﺒﺎﺭاﺕ اﻟﻤﺬﻛﻮﺭﺓ ﻓﻲ اﻟﺴﺆاﻝ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻬﺎ؛ ﻟﻤﺎ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﺩﻋﺎء اﻷﺥ اﻟﻤﺴﻠﻢ ﻷﺧﻴﻪ ﺑﻘﺒﻮﻝ اﻟﻌﻤﻞ ﻭﻃﻮﻝ اﻟﻌﻤﺮ ﻭاﻟﺴﻌﺎﺩﺓ ﻭﻻ ﻣﺤﺬﻭﺭ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ.

(Jawaban Syekh Bin Baz) Boleh menyembelih hewan di hari raya Idul Fitri untuk memuliakan tamu yang datang berkunjung kepada mereka namun sekedar makanan yang mencukupi bagi tamu tanpa berlebihan dan sombong. Sedangkan ucapan selamat di antara sesama umat Islam di hari raya dengan redaksi diatas yang terdapat dalam pertanyaan adalah boleh, karena didalamnya termasuk mendoakan terhadap sesama muslim agar amalnya diterima, panjang umur, hidup bahagia dan sebagainya dan hal itu tidaklah dilarang (Fatawa Lajnah Daimah 7/155-156)

Oleh: Ma'ruf Khozin, Aswaja Center PWNU Jatim
Read more ...

Kumpulan Download Ceramah KH. Jujun Junaedi

Kumpulan Download Ceramah KH. Jujun Junaedi

Sedikit tentang profil KH. Jujun Junaedi

KH. Jujun Junaedi adalah seorang da’i kondang asal Sukawening - Garut, Jawa Barat. Sejak usianya baru empat tahun, Jujun telah mulai menapaki karirnya sebagai seorang ‘Ajengan Cilik’. Bahkan cerita tentang lahirnya mubalig cilik, sempat menggegerkan tatar Pasundan. Sekitar tahun 1970-an, nama Jujun telah menarik perhatian umat Islam. Gebrakannya cukup berhasil. Sehingga pada waktu itu, banyak masyarakat yang membicarakan Jujun sebagai ‘anak ajaib’. Dakwah-dakwah KH. Jujun Junaedi yang unik sangat digemari masyarakat, terutama orang Sunda. Ciri khas-nya tidak banyak dimiliki oleh kebanyakan mubalig lainnya. Selain ceramahnya yang selalu menggunakan media bahasa Sunda, Jujun pun sangat pandai membuat guyonan yang menyegarkan.

Silahkan download Ceramah Beliau di bawah ini.

Demikianlah Ceramah Lucu Kh Jujun Junaedi Mp3 semoga bermanfat. Jangan lupa share kepada teman - teaman dan saudara kita. Sekian Ceramah Lucu Kh Jujun Junaedi Mp3.

Sumber : http://ift.tt/2rXCo5R


Read more ...

Kamis, 22 Juni 2017

Rekap Hisab 1 Syawal 1438H, Lembaga Falakiyah: Insyaallah NU dan Muhammadiyah Idul Fitri Bareng

Rekap Hisab 1 Syawal 1438H, Lembaga Falakiyah: Insyaallah NU dan Muhammadiyah Idul Fitri Bareng

Insya Allah tahun 2017 ini NU dan Muhammadiyah akan merayakan bersama Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1438 H. pada hari Ahad Legi, 25 Juni 2017 M. dengan hasil rekap hisab sebagai berikut:

REKAP HISAB AWAL SYAWAL 1438 H. / 2017 M. DENGAN OBSERVASI BULAN DI PELABUHANRATU, SUKABUMI, JABAR - INDONESIA
(RU’YATUL HILAL: SABTU KLIWON, 24 JUNII 2017 M) MENURUT SISTEM HISAB KONTEMPORER “NAUTICAL ALMANAC”

Al-Hasib: M. Thobary Syadzily
(Ketua Kajian Lembaga Dakwah PBNU & Ketua Lembaga Falakiyah PWNU Provinsi Banten)

=====================================================================

Pusat Observasi Bulan (POB) : Pelabuhanratu, Sukabumi - Indonesia
Lintang Tempat (Ø ) : -7o 1' 44,6'' Lintang Selatan
Bujur Tempat ( λ ) : 106o 33' 27,8'' Bujur Timur
Tinggi Tempat/ Elevasi ( EL ) : 52,865 meter di atas Permukaan Laut

======================================================================

1. Ijtima’ ( اجتماع / Konjungsi / New Moon ) akhir bulan Ramadhan 1438 H. terjadi pada hari Sabtu Kliwon, 24 Juni 2017 M. pada pukul 09 : 31 : 00 WIB (Pagi hari)

2. Matahari Terbenam ( غروب الشمس/ Sunset ) di Pelabuhanratu, Sukabumi Jum'at Legi, 24 Juni 2017 pada pukul 17 : 48 : 00 WIB

3. Hilal Terbenam ( غروب الهلال / Moonset ) pada pukul 18 : 04 : 00 WIB

4. Umur Hilal (عمر الهلال / Age of the Crescent Moon ) = 8 jam 17 menit

5. Greenwich Hour Angle (GHA) Bulan pada tgl 24 Juni 2017 pukul 10:48  GMT = 336 o 17 ' 13,2 ''

6. Deklanasi Bulan tgl 24 Juni 2017 pukul 10:48 GMT = 19 o 26 ' 4,8 ''

7. Horizontal Parallax Bulan 24 Junk 2017 pukul 10:48 GMT = 1 o 1 ' 6 ''

8. Semi Diameter Bulan tgl 24 Juni 2017 pukul 10:48 GMT = 0 o 16 ' 36 "

9. Tinggi Hakiki / Geosentris Hilal ارتفاع الهلال الحقيقي ) / True or Geocentric Altitude of the Crescent Moon) = 4 o 21 '  2,61 '' = 4,35 derajat ( di atas ufuk / above horizon )

10. Tinggi Lihat / Toposentris Hilal ( ارتفاع الهلال المرئي/ Apparent or Topocentric Altitude of the Crescent Moon ) = 4o 0' 4,29 '' = 4 derajat ( di atas ufuk / above horizon )

11. Lama Hilal di atas ufuk ( الهلال فوق الأفق مكث / Long of the Crescent ) = 16 menit 0 detik

12. Azimuth Matahari ( سمت الشمس / Azimuth of the Sun ) = 293 o 26' 15,9 '' atau 293,4 derajat

13. Azimuth Hilal ( سمث الهلال / Azimuth of the Crescent ) = 290 o 13 ' 6,56 o atau 290,2 derajat

14. Posisi Hilal 3 o 13 ' 9,34 '' atau 3,2 derajat di sebelah Selatan Matahari Terbenam dalam keadaan miring ke Utara sebesar 38 o 49 ' 9,5'' atau 38,8 derajat

15. Lebar Nurul Hilal (سمك الهلال / Crescent Widht) = 0 o 3 ' 13,1 '' = 0,053638372 jari

16. Berdasarkan Ilmu Astronomi: Ketinggian Hilal Toposentris / Mar’i tersebut di atas sebesar 4 o 0 ' 4,29 '' atau 4 derajat ( di atas ufuk ) sudah "Imkan ar-Rukyat" sehingga hilal kemungkinan bisa dilihat atau dirukyat dengan menggunakan teropong atau teleskop. Dengan demikian: Awal bulan Syawal 1438 H. di Indonesia jatuh pada hari Ahad Legi, 25 Juni 2017 M.

CATATAN:
***********
1. Perhitungan diambil  berdasarkan pada data Bulan (Moon) dan Matahari (Sun) dari "The Nautical Almanac for the Year 2017", di mana data Bulan dan Matahari tersebut merupakan hasil pantauan satelit ruang angkasa, NASA (National Aeronautics Space and Administration).

2. Keputusan selanjutnya menunggu pengumuman hasil "Sidang Itsbat" Kementerian Agama RI di Jakarta pada Sabtu malam Ahad, 24 Juni 2017 M.

3. Selamat Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1438 H. / 2017 M. Mohon maaf lahir dan bathin. Semoga amal ibadah puasa Ramadhan kita dan ibadah-ibadah lainnya diterima Allah SWT !!!
Amiin yaa rabbal 'alamiin.

Kota Tangerang, 22 Juni 2017

Wassalam
Thobary Syadzily

Image: Okezone

Read more ...

Sanad Fiqih Syafi’i KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah)

Sanad Fiqih Syafi’i KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah)

WAWASAN ISLAM, ARRAHMAH.CO.ID - Jika kita membaca Kitab Fiqih Muhammadiyah (jilid 3, 1343/1924 M), niscaya kta akan menemukan beberapa amaliah dalam menjalankan syariat Islam yang tidak jauh beda dengan apa yang dilaksanakan oleh mayoritas umat Islam di Indonesia, kaum nahdliyyin seperti halnya membaca doa Qunut, penggunanaan lafadz sayyidina, mengucapkan niat (sebagaimana pendapat gurunya, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang tidak membid’ahkan talaffud niat), salat Tarawih 20 yang setiap dua rekaat harus salam,  jumlat mendirikan shalat jumlah minimal 40 orang (yang sudah memenuhi kriteria salat Jum’at). Khutbah dibaca dalam bahasa Arab, membaca surat al-Kahfi di malam Jum’at, menjalankan salat ‘Id di Masjid, dan lain-lain.

Amalan-amalan di atas tidaklah asing bagi kalangan nahdliyyin. Melihat adanya kemiripan yang sedemikian itu, hal tersebut merupakan sebuah kuwajaran, sebab guru pendiri Muhammadiyah (dalam hal ini diwaliki oleh Kiai Ahmad Dahlan) dengan pendiri Nahdlatul Ulama (dalam hal ini diwakili Kiai Hasyim Asy’ari) adalah sama, dalam arti keduanya berguru kepada ulama yang sama, yang Madzhabnya Syafi’i seperti halnya Kiai Sholeh Darat al-Samarani dan Sayyid Abu Bakar Syatha (pengarang kitab I’anatu al-Thalibin). Berikut al-Faqir tuliskan sanad Kiai Ahmad Dahlan melalui kedua guru mulia tadi, dalam madzhab Syafi’i yang berujung sampai kepada Nabi Muhammad SAW.

1. Sanad Fiqih Syafi’i dari Kiai Ahmad Dahlan melalui jalur Kiai Sholeh Darat al-Samarani

Kiai Ahmad Dahlan meriwayatkan dari Kiai Sholeh Darat dari Syaikh Abdus Shomad al-Palimbani dari Syaikh Aqib ibn Hasanudin al-Palimbani dari Syaikh Thayyib ibn Ja’far al-Palimbani  dari Syaikh Ja’far ibn Muhammad al-Palimbani dari al-Syam Muhammad ibn ‘Alau al-Babili dari Syaikh Abdurrauf al-Munawi al-Qahiri dari al-Syam Muhammad ibn Ahmad al-Ramli dari Syaikh Zakaria ibn Muhammad al-Anshari dari al-Taqi Muhammad ibn Najm Muhammad ibn Fahd dari Abi Rabi’ Sulaiman ibn Khalid al-Askandari dari Abil Hasan ali ibn Muhammad (ibn al-Bukhari) dari Abil Makarimi al-Lubbani dari Abi Bakar Abdul Ghaffar ibn Muhammad al-Syairawi dari al-Qadhi Abi Bakar Ahmad ibn Hasan al-Hairi dari Abil Abbas Muhammad ibn Ya’qub al-‘Ashammi dari al-Rabi’ ibn Sulaiman al-Muradi dari Imam Abi Abdillah Muhammad ibn Idris al-Syafi’i.

2. Sanad Fiqih Syafi’I dari Kiai Ahmad Dahlan melalui jalur Sayyid Abu Bakar Syatha

Kiai Ahmad Dahlan meriwayatkan dari Sayyid Abi Bakar ibn Muhammad Syatho al-Makki meriwayatkan dari Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan meriwayatkan dari Syaikh Ustman ibn Hasan ad-Dimyati meriwayatkan dari Syaikh Abdullah ibn Hejazi asy-Syarqowi meriwayatkan dari Syaikh Muhammad bin Salim al-Hafni meriwayatkan dari Syaikh Ahmad al-Khulaifi meriwayatkan dari Syaikh Ahmad al-Bisybisyi meriwayatkan dari Syaikh Sulthan ibn Ahmad al-Mazzahi meriwayatkan dari Syaikh Ali az-Ziyadi meriwayatkan dari Al-Muhaqqiq Syaikh Ahmad ibn Hajar al-Haitami meriwayatkan dari Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari meriwayatkan dari Syaikh Jalaludin al-Mahalli meriwayatkan dari Syaikh Al-Wali Ahmad ibn Abdurrahim al-‘Iraqi meriwayatkan dari Syaikh Abdurrahim ibn Husain al-‘Iraqi meriwayatkan dari Syaikh Sirajuddin al-Bulqini meriwayatkan dari Syaikh ‘Alauddin ibn al-‘Atthar meriwayatkan dari Al-Imam Yahya an-Nawawi (Muharrar al-Madzhab) meriwayatkan dari Syaikh Abi Hafsh, (Umar bin As’ad az-Zai’i) meriwayatkan dari Syaikh Abi Umar (Ustman bin Abdurrahman/Ibnu Shalah asy-Syahruzuri) meriwayatkan dari Syaikh Abdurrahman (ayah Ibnu Shalah) meriwayatkan dari Syaikh Abi Sa’ad (Abdullah ibn Abi ‘Ashrun) meriwayatkan dari Syaikh Abi Ali al-Fariqi meriwayatkan dari Syaikh Abi Ishaq (Ibrahim Syaerozi) meriwayatkan dari Syaikh al-Qodhi Abi al-Thayyib (Thahir bin Abdullah al-Thabri) meriwayatkan dari Syaikh Abil Hasan (Muhammad ibn Ali al-Masirji) meriwayatkan dari Syaikh Abi Ishaq (Ibrahim bin Ahmad al-Marwazi) meriwayatkan dari Syaikh Abil Abbas (Ahmad bin Syuraij al-Bagdadi) meriwayatkan dari Syaikh Abil Qosim (Ustman bin Sa’id bin Yastar al-Anmathi) meriwayatkan dari Syaikh Ismail bin Yahya al-Muzani meriwayatkan dari Imam asy-Syafi’i (Abu Abdillah Muhammad ibn Idris) meriwayatkan dari Imam Maliki (Malik ibn Anas) meriwayatkan dari Nafi’ meriwayatkan dari Abdullah ibn Umar meriwayatkan dari Rasulullah SAW.

Berangkangkat dari guru yang sama, maka tidak mengherankan jika amaliah dalam beragamanya juga banyak yang sama. Semoga dengan adanya kesamaan ini, akan membuat Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama semakin berangkulan untuk memajukan bangsa Indonesia menuju yang lebih maju. Seperti halnya persatuan keduanya ketika mengusir penjajah. Yang ada dalam benak fikiran bagaimana bangsa ini dapat merdeka.
Selamat bersatu menuju hari kemanangan, umat islam, bangsa Indonesia. Selamat Hari Raya Idul Fitri, Syawal 1438 H

Jambi, 22 Juni 2017 / 27 Ramadhan 1438 H.

Amirul Ulum
Penulis buku-buku Tokoh-tokoh Islam

Read more ...

Begini Para Tokoh Agama Lawan Upaya 'Jahat' Melemahkan KPK

Begini Para Tokoh Agama Lawan Upaya 'Jahat' Melemahkan KPK

NEWS, ARRAHMAH.CO.ID - Segenap tokoh lintas agama melakukan aksi doa bersama menolak korupsi dalam bentuk apa pun serta pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kelima tokoh dari lintas agama menghaturkan doa bergiliran sesuai kepercayaanya masing-masing. Dari Katolik, Islam, Buddha, Kristen, dan Hindu untuk sepakat memerangi korupsi.

Aksi itu dilakukan bersama Koalisi Masyarakat Antikorupsi Jawa Tengah serta banyak elemen dari penggiat antikorupsi, Rabu (21/6) sore jelang waktu buka puasa di depan bundaran air mancur Jalan Pahlawan Semarang. Aksi ini menarik perhatian masyarakat yang melintas.

Tokoh Katolik, Romo Aloysius Budi menyampaikan, koruptor merupakan musuh semua orang dan semua agama. Maka gerakan moral apa pun harus didukung.

”Semua harus memberantas korupsi karena merusak peradaban kasih dan membuat rakyat tidak sejahtera,” katanya.

Sebab kata Romo Budi, koruptor telah mencuri uang rakyat dan membuat negeri semakin hancur. Oleh karena itu mencegah dan memberantas korupsi menjadi tugas bersama. Pihaknya menyatakan perang terhadap korupsi.

Senada, Wahyudi AR Ketua PC Magabudhi Semarang menyatakan korupsi adalah pembunuhan dengan penistaan hak seseorang secara perlahan.

”Maka kami menolak upaya-upaya pelemahan terhadap KPK, dengan demikian kita tengah melaksanakan tugas berbangsa. Warga Buddha mendukung pergerakan atau upaya-upaya menguatkan KPK,” tandasnya.

Dalam aksi itu, penggiat antikorupsi dan tokoh lintas agama menyatakan sikap. Antara lain, mendukung penuh KPK dalam pemberantasan korupsi, mengecam segala tindakan yang dimaksudkan untuk melemahkan KPK.

Selain itu mendesak DPR RI untuk membatalkan dan membubarkan Pansus Hak Angket terhadap KPK, serta mengajak seluruh masyarakat berdoa agar dijauhkan dari tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merusak bangsa dan negara.

Kepada Bergelora.com dilaporkan, mereka juga mengajak masyarakat untuk tidak memilih kembali para legislatif yang bergabung dalam pansus Hak Angket DPR RI dari 7 parpol. Antara lain 6 legislatif dari PDI-P, 4 dari Gerindra, 2 dari Nasdem, 2 dari PPP, 5 dari Golkar, 3 dari PAN, dan seorang dari Hanura.

Pada aksi di tugu Diponoro itu, Ubaidillah Achmad Khadim as Syuffah dan penulis Suluk Cebolek membacakan doa dan puisi dibawah ini :

PENYAMUN

penyamun:

tahukah kalian

siapakah penyamun itu

perampas dan perampok

melewati pesta rakyat

negeri berubah gelap

masyarakat dibuat kebingungan

lingkungan lestari dihancurkan

keadilan dibelokkan

kemunafikan dihidupkan

korupsi menjadi hidangan keseharian

pornografi diundangkan di tengah seks dan kekuasaan

bagi mereka dari mereka untuk mereka sendiri

pagi buta:

anak lahir

istri kesakitan

orang tua menjerit

menistai diri

sisa usia senja

sia sia

bohong

keringat pagi pun

masih berbau busuk

siang bolong:

hayal harapan kosong

tertikam kuasa keserakahan

meniti hiasan harta jarahan

ada benci dan kekhawatiran

hangat hembusan nafas

di hari besar agama

duduk di baris depan

di beberapa tempat ibadah

senyum kepalsuan

candu jiwa anak bangsa

selimut kelicikan dan syahwat

atas nama harga diri bangsa

terasing dari ideologi sendiri

dan agama suci

pedagang kambing hitam

mencari dan melepas

sewaktu datang lirih seruling

dari semak reformasi

bahagia dan derita: hanya

kesengsaraan dari semak lembaga negara: hanya

dasi, baju, dan jas

adalah pakaian kebesaran

untuk memastikan mereka bukan pencuri ayam

perampok bayaran

kejahatan recehan

semua bisa menjadi penyamun

tanpa kecuali

silahkan memilih:

penyamun atau menegakkan kemanusiaan dan keadilan

penyamun atau demokrasi yang memerdekakan

mencerahkan untuk semua

bukan mengadili penyelamat negara

hak rakyat dan cita bangsa:

negeri yang bersih dari korupsi

rakyat yang bebas dari belenggu kemerdekaan

hukum yang tegak untuk semu tanpa kecuali

Kebhinnekaan yang tidak kan pernah ternodai

(bergelora.com/noor)

Read more ...

Dimakruhkan Dalam Shalat, Diperbolehkan Dalam Shalat Dan Yang Membatalkan Shalat

Dimakruhkan Dalam Shalat, Diperbolehkan Dalam Shalat Dan Yang Membatalkan Shalat
Dimakruhkan Dalam Shalat, Diperbolehkan Dalam Shalat Dan Yang Membatalkan Shalat (13)
TATA CARA SHALAT

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

F. Hal-Hal Yang Dimakruhkan Dalam Shalat

1. Bermain-main dengan pakaian atau anggota badan tanpa keperluan

Dari Mu'aiqib Radhiyallahu anhu : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada orang yang mengusap debu ketika sujud, ‘Jika engkau melakukannya, maka cukup sekali saja.’" [1]

2. Berkacak pinggang

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata:

نُهِيَ أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ مُخْتَصَرًا.

"Dilarang shalat sambil berkacak pinggang." [2]

3. Mengangkat pandangan ke langit

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ عِنْدَ الدُّعَاءِ فِي الصَّلاَةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ.

"Hendaklah orang-orang berhenti mengangkat pandangan mereka ke langit ketika berdo’a dalam shalat atau mata mereka akan tersambar." [3]

4. Menoleh tanpa keperluan

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang menoleh dalam shalat. Lalu beliau bersabda:

هُوَ اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ الْعَبْدِ.

"Ia merupakan sebuah curian yang dilakukan syaitan terhadap shalat seorang hamba." [4]

5. Memandang pada sesuatu yang memalingkan

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dengan mengenakan pakaian yang ada tandanya. Kemudian beliau bersabda:

شَغَلَتْنِيْ أَعْلاَمُ هذِهِ، اِذْهَبُوْا بِهَـا إِلَى أَبِيْ جَهْمٍ، وَأْتُوْنِـيْ بِأَنْبِجَانِيَّةِ.

"Tanda pada pakaian ini telah menyibukkanku. Bawalah ia ke Abu Jahm dan bawakan aku anbijaniyyah (pakaian tebal dari wol yang tidak ada tandanya)."[5]

6. Sadl dan menutup mulut

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:

أَنَّ رَسُـوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلاَةِ وَأَنْ يَغْطِيَ الرَّجُلُ فَاهُ.

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang sadl dan menutup mulut ketika shalat."[6]

Syamsul Haq berkata dalam 'Aunul Ma'buud (II/347): Al-Khaththabi berkata: As-sadl adalah menjulurkan pakaian hingga menyentuh tanah.

Disebutkan dalam an-Nailul Authaar: Abu 'Ubaidah berkata tentang makna as-sadl adalah menjulurkan pakaian tanpa menyatukan kedua sisinya ke depan. Jika disatukan ke depan, maka tidak dinamakan sadl. Pengarang kitab an-Nihaayah berkata: Maknanya adalah berkemul dengan pakaiannya dan memasukkan kedua tangan dari dalam lalu ruku' dan sujud dalam keadaan seperti itu. Ini berlaku pada gamis dan jenis pakaian yang lain. Ada pula yang mengatakan: meletakkan bagian tengah sarung di atas kepala dan menjulurkan kedua tepiannya ke kanan dan ke kiri tanpa meletakkannya di atas kedua bahu. Al-Jauhari berkata: sadala tsaubahu yasduluhu sadlan, dengan dhammah artinya arkhahu (menjulurkannya). Tidak masalah mengartikan hadits pada semua arti ini, karena sadl mengandung banyak arti. Membawa kalimat yang mengandung banyak arti pada semua maknanya adalah madzhab yang kuat.

7. Menguap

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلتَّثَـاؤُبُ فِي الصَّلاَةِ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَإِذَا تَثَـاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَكْظِمْ مَا اسْتَطَاعَ.

"Menguap dalam shalat adalah dari syaitan. Jika salah seorang dari kalian menguap, maka tahanlah sebisa mungkin." [7]

8. Meludah ke arah kiblat atau ke kanan

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ يُصَلِّي فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قِبَلَ وَجْهِهِ، فَلاَ يَبْصُقَنَّ قِبَلَ وَجْهِهِ وَلاَ عَنْ يَمِيْنِهِ. وَلِيَبْصُقْ عَنْ يَسَـارِهِ تَحْتَ رِجْلِهِ الْيُسْرَى، فَإِنْ عَجِلَتْ بِهِ بَادِرَةٌ فَلْيَقُلْ بِثَوْبِهِ هكَذَا. ثُمَّ طَوَى ثَوْبَهُ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ.

"Sesungguhnya jika salah seorang dari kalian berdiri untuk shalat, maka sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta'ala berada di hadapannya. Maka janganlah ia meludah ke arah depan atau ke kanan. Hendaklah ia meludah ke sebelah kiri di bawah kaki kirinya. Dan jika terlanjur keluar, maka hendaklah ia tumpahkan ke pakaiannya." Beliau kemudian melipat bajunya satu sama lain.[8]

9. Menyilangkan jari-jemari

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فِيْ بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ كَانَ فِي صَلاَةٍ حَتَّى يَرْجِعَ، فَلاَ يَقُلْ هكَذَا، وَشَبَكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ.

"Jika salah seorang di antara kalian wudhu' di rumahnya kemudian mendatangi masjid, maka dia berada dalam sebuah shalat hingga pulang. Janganlah ia melakukan seperti ini." Beliau menyilangkan jari-jemarinya. [9]

10. Menggulung rambut dan pakaian

Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةٍ، لاَ أَكِفَّ شَعْرًا وَلاَ ثَوْبًا.

"Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh (anggota sujud) dan tidak menggulung rambut maupun pakaian."

11. Mendahulukan kedua lutut daripada kedua tangan ketika sujud

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيْرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ.

"Jika salah seorang di antara kalian hendak sujud, maka janganlah turun sebagaimana unta menderum. Hendaklah ia letakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya."

12. Membentangkan kedua tangan (menempel dengan lantai) ketika sujud

Dari Anas Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

اِعْتَدِلُوْا فِـي السُّجُوْدِ، وَلاَ يَبْسُطُ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ اِنْبِسَاطَ الْكَلْبِ.

"Bersikaplah pertengahan ketika sujud, dan janganlah salah seorang di antara kalian membentangkan tangannya sebagaimana anjing." [10]

13. Shalat ketikan hidangan sudah disajikan atau menahan buang air besar dan kecil

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Aku mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ، وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ اْلأَخْبَثَانِ.

"Tidak (sempurna) shalat ketika hidangan sudah disajikan, dan tidak (sempurna) pula shalat orang yang menahan buang air besar atau kecil." [11]

14. Mendahului imam

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

أَمَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ اْلإِمَامِ أَنْ يَجْعَلَ اللهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ، أَوْ يَجْعَلَ اللهُ صُوْرَتَهُ صُوْرَةَ حِمَارٍ.

"Tidakkah salah seorang di antara kalian takut, Allah menjadikan kepalanya seperti kepala keledai bila dia mengangkat kepalanya sebelum imam. Atau menjadikan rupanya seperti rupa keledai." [12]

G. Hal-Hal Yang Diperbolehkan Dalam Shalat

1. Berjalan untuk keperluan

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat di dalam rumah sedangkan pintunya tertutup. Lalu aku datang dan minta dibukakan. Kemudian beliau berjalan dan membukakan pintu untukku. Setelah itu beliau kembali ke tempat shalatnya. ‘Aisyah menyifatkan bahwa pintu tersebut berada di arah Kiblat." [13]

2. Menggendong anak kecil

Dari Abu Qatadah: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat sambil menggendong Umamah, puteri Zainab binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abu al-'Ash bin ar-Rabi'. Jika beliau berdiri, beliau menggendongnya. Namun jika sujud, beliau meletakkannya." [14]

3. Membunuh al-aswadain (kalajengking dan ular)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh agar membunuh dua binatang hitam dalam shalat, yaitu kalajengking dan ular." [15]

4. Menoleh dan memberi isyarat untuk keperluan

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menderita sakit. Lalu kami shalat di belakang beliau yang shalat dalam keadaan duduk. Kemudian beliau menoleh dan melihat kami berdiri. Ke-mudian beliau mengisyaratkan kepada kami (untuk duduk), lalu kami pun duduk."[16]

5. Meludah di baju atau mengeluarkan sapu tangan dari saku

Dalilnya telah disebutkan dalam hadits Jabir tentang larangan meludah ke arah kiblat.

6. Memberi isyarat untuk menjawab salam

Dari 'Abdullah bin 'Umar Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menuju Quba' untuk shalat di sana. Tak lama kemudian datanglah orang-orang Anshar dan mengucapkan salam kepada beliau yang sedang shalat. Lalu aku berkata pada Bilal, "Bagaimana engkau melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab salam ketika mereka memberi salam kepada beliau padahal beliau sedang shalat?" Dia berkata, "Beliau memberi isyarat seperti ini." Dia membuka telapak tangannya. Ja'far bin 'Aun (perawi hadits) pun membuka telapak tangannya. Ia jadikan bagian dalamnya menghadap ke bawah dan bagian luarnya ke atas."[17]

7. Mengucapkan tasbih bagi laki-laki dan bertepuk tangan bagi wanita jika terjadi sesuatu dalam shalat

Dari Sahl bin Sa'd Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ مَا لَكُمْ حِيْنَ نَابَكُمْ شَيْءٌ فِي الصَّلاَةِ أَخَذْتُمْ فِي التَّصْفِيْقِ، إِنَّمَا التَّصْفِيْقُ لِلنِّسَاءِ، مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلاَتِهِ فَلْيَقُلْ: سُبْحَانَ اللهِ، فَإِنَّهُ لاَ يَسْمَعُهُ أَحَدٌ حِيْنَ يَقُوْلُ سُبْحَانَ اللهِ إِلاَّ الْتَفَتْ...

"Wahai manusia, kenapa jika terjadi sesuatu dalam shalat kalian bertepuk tangan? Sesungguhnya bertepuk tangan adalah untuk wanita. Barangsiapa menemui kejadian dalam shalatnya, hendaklah ia mengucapkan: subhaanallah. Karena sesungguhnya tidaklah seseorang mendengarnya ketika ia mengucap: subhaanallah melainkan ia telah berpaling...[18]

8. Mengingatkan imam

Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan suatu shalat lalu membaca surat dan bacaannya tercampur (keliru). Ketika selesai beliau berkata pada Ubay, "Apakah engkau shalat bersama kami?" Dia berkata, "Ya." Beliau berkata, "Lalu, apakah yang menghalangimu (untuk membenarkan bacaanku tadi?" [19]

9. Mencolek kaki orang yang sedang tidur

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Aku menyelonjorkan kakiku pada kiblat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang shalat. Jika sujud, beliau mencolekku dan aku pun mengangkatnya. Jika beliau berdiri aku menyelonjorkannya lagi." [20]

10. Menahan orang yang ingin lewat di depannya

Dari Abu Sa'id Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Aku mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يُجْتَـازُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْ فِي نَحْرِهِ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ.

"Jika salah seorang di antara kalian shalat menghadap ke sesuatu yang menjadi pembatas baginya dari manusia, kemudian seseorang hendak lewat di depannya, maka doronglah pada lehernya. Jika dia menolak, maka perangilah (lawanlah) dia. Karena sesungguhnya dia adalah syaitan." [21]

11. Menangis

Dari 'Ali Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Tidak ada seorang penunggang kuda pun di antara kami pada hari perang Badar selain al-Miqdad. Aku tidak melihat seorang pun di antara kami melainkan sedang tidur (malam). Kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau shalat sambil menangis di bawah sebuah pohon hingga Shubuh." [22]

H. Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat

1. Yakin adanya hadats

Dari 'Abbad bin Tamim Radhiyallahu anhu, dari pamannya: “Ada seseorang yang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang sesuatu (hadats) yang seolah-olah terjadi dalam shalatnya. Lalu beliau bersabda:

لاَ يَنْفَتِلْ -أَوْ لاَ يَنْصَرِفْ- حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا.

"Janganlah ia membubarkan (membatalkan shalatnya) atau berpaling hingga dia mendengar suara atau mencium bau."[23]

2. Meninggalkan salah satu rukun atau syarat dengan sengaja atau tanpa alasan

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada orang yang buruk shalatnya:

اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ.

"Kembali dan shalatlah, karena engkau belum shalat." [24]

Juga perintah beliau terhadap orang yang pada punggung telapak kakinya terdapat sedikit bagian yang tidak terkena air wudhu’ agar mengulang wudhu' dan shalatnya.

3. Makan dan minum dengan sengaja

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, "Para ahlul ilmi sepakat bahwa orang yang makan atau minum dengan sengaja ketika shalat wajib, maka dia wajib mengulang shalatnya.[25] " Begitupula pada shalat sunnah menurut jumhur (mayoritas ulama. Karena apa yang membatalkan shalat wajib, juga membatalkan shalat sunnah.

4. Berbicara dengan sengaja bukan untuk kemaslahatan shalat

Dari Zaid bin Arqam, dia berkata, "Dulu kami berbicara dalam shalat. Seseorang di antara kami bercakap-cakap dengan kawan di sebelahnya yang sedang shalat. Hingga turunlah ayat:

.وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

‘... Dan berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.’ [Al-Baqarah: 238]. Kami pun diperintah diam dan dilarang berbicara." [26]

5. Tertawa

Ibnul Mundzir rahimahullah menukil ijma' bahwa tertawa membatalkan shalat.

6. Lewatnya perempuan baligh, keledai, atau anjing hitam di antara orang yang shalat dan tempat sujudnya

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

إِذَا قَـامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ. فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ اْلأَسْوَد.ُ

"Jika salah seorang dari kalian shalat, maka dia terbatasi jika di hadapannya terdapat (pembatas) seukuran pelana hewan tunggangan. Jika di hadapannya tidak terdapat (pembatas) seukuran pelana hewan tunggangan, maka shalatnya terputus oleh keledai, wanita, dan anjing hitam."

[http://ift.tt/2dG9IYK, Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]

Footnote
[1]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/79 no. 1207)], Shahiih Muslim (I/388 no. 546 (49)), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/223 no. 934), Sunan at-Tirmidzi (I/235 no. 377), Sunan Ibni Majah (I/327 no. 1026), dan Sunan an-Nasa-i (III/7).
[2]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/88 no. 1220)], Shahiih Muslim (I/387 no. 545), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/223 no. 94), Sunan at-Tirmidzi (I/237 no. 381), dan Sunan an-Nasa-i (II/127).
[3]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 343)], Shahiih Muslim (I/321 no. 429), dan Sunan an-Nasa-i (III/39).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 7047)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/234 no. 751), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/178 no. 897), dan Sunan an-Nasa-i (II/8).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2066)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/234 no. 752), Shahiih Muslim (I/391 no. 556), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/182 no. 901), Sunan an-Nasa-i (II/72), dan Sunan Ibni Majah (II/1176 no. 3550).
[6]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 966)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/347 no. 629), Sunan at-Tirmidzi (I/234 no. 376), pada kalimat pertama saja. Sunan Ibni Majah (I/310 no. 966), pada kalimat kedua saja.
[7]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 3013)], Sunan at-Tirmidzi (I/230 no. 368), dan Shahiih Ibni Khuzaimah (II/61 no. 920).
[8]. Shahih: [Shahiih Muslim (IV/2303 no. 3008)] dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/144 no. 477).
[9]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 445)] dan Shahiih Ibni Khuzaimah (I/206).
[10]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/301 no. 822)], Shahiih Muslim (I/355 no. 493), Sunan at-Tirmidzi (I/172 no. 275), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/166 no. 883), Sunan Ibni Majah (I/288/892), dan Sunan an-Nasa-i (II/212) dengan lafazh serupa.
[11]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 7509)], Shahiih Muslim (I/393 no. 560), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/160 no. 89).
[12]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/182 no. 691)], ini adalah lafazhnya. Shahiih Muslim (I/320 no. 427), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/330 no. 609), Sunan an-Nasa-i (II/69), dan Sunan Ibni Majah (I/308 no. 961).
[13]. Hasan: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1151)], Sunan at-Tirmidzi (II/56 no. 598), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/190 no. 910), dan Sunan an-Nasa-i (III/11).
[14]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/590 no. 516)], Shahiih Muslim (I/385 no. 543), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/185 no. 904), dan Sunan an-Nasa-i (II/45).
[15]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 1147)] dan Shahiih Ibni Khuzaimah (II/41 no. 869).
[16]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1145)], Shahiih Muslim (I/309 no. 413), Sunan an-Nasa-i (III/9), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/313 no. 588).
[17]. Hasan shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 820)] dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/195 no. 915).
[18]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/107 no. 1234)], Shahiih Muslim (I/316/421), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/216 no. 926).
[19]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 803)] dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/175 no. 894).
[20]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/80 no. 1209)], ini adalah lafazhnya, serta Shahiih Muslim (I/367 no. 512 (272)), dengan lafazh serupa.
[21]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 638)] dan Shahiih Muslim (I/362 no. 505 (259)).
[22]. Sanadnya shahih: [Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (XXI/36 no. 225)], dan Shahiih Ibni Khuzaimah (II/52 no. 899).
[23]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/237 no. 137)], Shahiih Muslim (I/272 no. 361), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/299 no. 174), Sunan Ibni Majah (I/171 no. 513), dan Sunan an-Nasa-i (I/99).
[24]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/267, 277 no. 793)], Shahiih Muslim (I/298 no. 397), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/96-93 no. 841), Sunan at-Tirmidzi (I/186-185 no. 301), Sunan an-Nasa-i (II/125).
[25]. Al-Ijma' hal. 40.
[26]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/383 no. 539)], Sunan at-Tirmidzi (I/252 no. 4003), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/227 no. 936), Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/72 no. 1200), dan Sunan an-Nasa-i (III/18), pada kedua riwayat terakhir ini tidak terdapat kalimat: "Dan kami dilarang ber-bicara."
Read more ...
Designed By