Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]
Catatan Ukhty: Bab Udhhiyyah (Qurban) - Makna dan Aturannya
Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]

Breaking News

Rabu, 30 Agustus 2017

Bab Udhhiyyah (Qurban) - Makna dan Aturannya

Bab Udhhiyyah (Qurban) - Makna dan Aturannya
Bab Udhhiyyah (Qurban) - Makna dan Aturannya
Bab Udhhiyyah (Qurban) - Makna dan Aturannya

FIQH, ARRAHMAH.CO.ID - Pembahasan mengenai qurban bisa dilihat di halaman 241 kitab At-Tadzhib. Fasal Tentang Udhhiyyah atau sembelihan.

DEFINISI

Udhhiyyah diartikan sebagai hewan yang disembelih, baik itu berupa unta, sapi, domba, maupun kambing di hari Idul Adha (dan hari Tasyriq), dengan tujuan mendekat kepada Allah SWT. Udhiyyah sendiri terambil dari kata adh-dhahwah, yang berarti waktu dhuha.

Karena itu, hewan yang diperbolehkan untuk qurban adalah dari binatang ternak yang disembelih. Termasuk, yang kemudian disamakan di sini adalah kerbau dengan sapi.

Dalam Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyyah, juz 8, h. 158, menyebutkan baqarun atau sapi digunakan untuk menyebut hewan jenis ini, baik yang jinak maupun liar, baik yang jantan maupun betina, dengan bentuk jamak baqaraatun. Dan di sini ulama fiqh menyamakan antara baqarun dengan jaamus atau kerbau dari sisi hukumnya. Artinya, kerbau dianggap sejenis sapi oleh ulama, karena itu hukum qurban dengan kerbau dibolehkan, di mana nilainya sama dengan sapi. Hal ini sama dengan ghanam (domba), yang umum di kalangan Arab, dan dianggap sejenis ma'az (kambing bandot) di luar Arab.       

Karena itu, tak heran jika Para Wali dulu, khususnya di Jawa Tengah, ketika dakwah memilih dan menganjurkan qurban dengan kerbau dibanding sapi, karena untuk menjaga ketersinggungan dengan umat Hindu yang sangat menghormati sapi.  

HUKUM UDHIYAH

Adapun hukum udhiyyah atau qurban itu sunnah muakkadah, atau sunnah yang sangat dianjurkan. Dalilnya adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Kautsar ayat 2,

  فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ 


"Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah."

Demikian pula dalam satu hadist Bukhari Muslim diriwayatkan dari Anas, "“Bahwa Nabi berqurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu.”                        

Selain dari Al-Qur'an ini, qurban juga ditetapkan hukumnya oleh Ijma' shahabat dan ulama akan pensyariatannya, meskipun pada masa Abu Bakar dan Umar, mereka tidak melaksanakannya karena khawatir dianggap sebagai kewajiban (Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 3, 597).

Keterangan lain disebutkan dari madzhab Hanafi, bahwa hukum qurban adalah sunnah 'ain muakkadah, yang artinya orang yang meninggalkannya atau tidak melakukannya tidak disiksa di neraka, tetapi tidak akan mendapat syafa'at dari Nabi Muhammad SAW, karena itulah Abu Hanifah sendiri mengatakan bahwa qurban wajib hukumnya.

Namun, pengertian wajib bagi madzhab Hanafi sebetulnya agak berbeda dengan yang digunakan oleh ulama lain. Di mana kalau ulama lain menyamakan pengertian wajib dengan fardlu, sedangkan madzhab Hanafi membedakannya.

Madzhab Hanafi mengartikan wajib dengan perbuatan yang dituntut secara tegas oleh syara’ untuk dilakukan, namun berlandaskan dalil yang dhanni, yang masih mengandung syubhat. Sedangkan fardlu adalah perbuatan yang dituntut oleh syara’ secara tegas untuk dilakukan atas dasar dalil yang qath’I (pasti), yang tidak ada syubhat.

Kembali pada hukum qurban. Madzhab Syafi'i sendiri mendetailkan bahwa hukum qurban itu sunnah 'ain bagi setiap muslim, artinya sunnah bagi setiap individu. Namun, bagi keluarga, maka hukumnya sunnah kifayah, artinya jika ada salah satu sudah melakukannya, maka yang lain gugur dari kesunnahan tersebut pada waktu itu. Tetapi pada waktu berikutnya kesunnahan tetap ada bagi setiap anggota keluarga lainnya. (Al-Fiqh 'ala Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 643)                        

Adapun waktu pertama kali disyariatkan adalah pada tahun kedua hijriyah, sama dengan disyariatkannya shalat 2 'Id, zakat mal, dan zakat fitrah. (Al-Fiqh 'ala Madzahibil 'Arba'ah, juz 1, h. 643)

Oleh: Ustadz Fathuri Ahza Mumtaza

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By