Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]
Catatan Ukhty: Patung Dan Konflik Manusia Dalam Kisah Kenabian
Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]

Breaking News

Minggu, 27 Agustus 2017

Patung Dan Konflik Manusia Dalam Kisah Kenabian

Patung Dan Konflik Manusia Dalam Kisah Kenabian
An 18th century Turkish steel armor for horse and rider at Museum of Islamic Art Doha Qatar. Photo: amuslimtraveler
An 18th century Turkish steel armor for horse and rider at Museum of Islamic Art Doha Qatar. Photo: amuslimtraveler

Oleh: Ubaidillah Achmad

WAWASAN, ARRAHMAH.CO.ID - Kisah patung yang dibuat dan dihancurkan dalam kisah kenabian akan selalu terkait dengan latar belakang sosial politik masyarakat zamannya. Karenanya, banyak kisah patung yang diceritakan, bahwa ada patung yang menjadi kenangan kisah manusia, media riset kesejarahan dan ilmu pengetahuan. Ada pula, patung yang dapat menjadi media pembodohan dan menutupi kekejaman kaum fasis dan kapitalis.

Dalam perspektif budaya, patung merupakan karya seni yang memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Karenanya, bangunan kuno tidak lepas dari ornamen patung, yang sewaktu waktu menjadi tempat mengasah memori kesejarahan umat manusia. Dalam kisah agama kuno, patung memiliki peran penting untuk instrumen meditasi dan pembelajaran bagi kaumnya.

Sehubungan dengan arti penting patung dalam sejarah umat manusia, maka kitab suci kenabian merespon sangat serius. Teks suci kenabian ini merespon fenomena patung dengan memberikan respon secara berbeda sesuai dengan kegunaan patung bagi masyarakat zaman kenabian. Karenanya, dalam kisah kenabian, ada patung yang dibuat untuk mengikuti kehendak Nabi, namun ada pula patung yang dihancurkan karena merusak risalah kenabian dalam membangun relasi suci kosmologis antara manusia dengan Allah dan manusia dengan lingkungan lestari.

Banyak perspektif dalam mengkaji persoalan patung. Dalam konteks ini, penulis telah membahasnya besama pematung dan seniman beken, bernama MA Sutikno (seniman dan pematung) dan aktivis muda berbakat Khoirul Anwar. Diskusi ini dipandu oleh Shary Pattipeilohy (dosen Undip dan peneliti di Institute of Peace and Security Studies), pada Pk 18.30 - 21.00, tanggal 22 Agustus 2017, di rumah sahabat saya, Mas Damar, wartawan senior, Jl. Ayodyapala 44, Semarang,

Acara ini, karena ada fenomena kelompok kecil masyarakat yang bersuara lantang, yang ingin merusak patung tanpa latar belakang yang jelas: apakah patung membahayakan bagi kemanusiaan? atau apakah patung mengganggu lingkungan hidup?

Jika membaca kisah pada masa Nabi Ibrahim, patung menjadi legitimasi kekejaman namrud. Sedangkan, jika membaca pada masa kisah Nabi Muhammad, patung menjadi intrumen keserakahan kapitalis Qurays. Berbicara pada konteks masa kemerdekaan bangsa Indonesia hingga sekarang ini, patung menjadi alat kekejaman siapa? atau sebaliknya, manusia yang merusak patung yang lebih kejam? Sehubungan dengan pertanyaan ini, penulis akan secara spesifik membahasnya relevansinya dengan judul di atas.

Fenomena pengrusakan patung yang terjadi sekarang ini, adalah bentuk upaya merusak patung yang menghiasi sejarah Nusantara, bangsa Indonesia. Tentu saja, upaya pengrusakan ini merupakan bentuk tidak adanya penghargaan pelaku pengrusakan terhadap kearifan lokal. Yang menarik dari para pelaku pengrusakan ini, ada yang dari oknum umat Islam yang berdalil atas nama perintah agama yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad.

Sehubungan dengan penggunaan hadis tentang larangan pembuatan patung, maka penulis tidak menolaknya, karena penulis mengakui arti penting hadis dalam menentukan hukum Islam. Namun demikian, perlu kajian teks hadis sesuai dengan konteks upaya pengembangan hukum Islam. Sebagai catatan penting dalam tulisan ini, tidak mudah bagi masyarakat umum memahami hadis, baik secara tekstual maupun kontekstual.

Hadis merupakan bentuk teks rujukan yang disandarkan pada Nabi Muhammad, baik berupa sabda, perbuatan dan ketetapan Nabi. Teks hadis ditemukan melalui riset para ahli hadis sesudah sekian qurun generasi dari Nabi Muhammad. Dari segi kalimat sejumlah hadis yang dikumpulkan para Ulama pun, masih belum mewakili sebagai catatan yang representatif dari keseluruhan pesan Nabi Muhammad, yang sudah tebukukan dalam bentuk hadis.

Dalam penyusunan hadis, juga sangat serat dengan latar belakang sosio historis para Ulama saat melakukan riset. Misalnya riset hadis yang tidak memberikan ruang perawian yang bersumber dari mereka yang dekat dengan Nabi, seperti Khadijah RA. Hal ini menunjukkan, masih banyak hadis yang belum terbukukan pasca wafat Nabi. Dalam sirah nabawi, Nabi Muhammad sendiri, pernah melarang para sahabat menyusun Hadis. Hal ini menunjukkan, hasil penyusunan Hadis adalah bentuk ijtihad melalui riset para Ulama (ahl al hadis) pasca Nabi Muhammad wafat.

Patung: Antara Keindahan dan Kealaman

Dalam sejarah lama, manusia telah mengenal patung. Patung tidak hanya menandai berbagai jenis seni rupa yang digemari banyak orang, namun juga menandai perkembangan sejarah umat manusia. Karena itu, patung banyak dibuat untuk memenuhi kebutuhan seni dan menandai sejarah manusia. Contoh patung yang sering kita temui, patung manusia maupun hewan. Jenis patung ini digunakan untuk keperluan situs sejarah manusia, cendera mata dan alat bermain anak anak.

Selain itu, patung merupakan hasil karya seni yang dapat dijadikan instrumen keindahan dan instrumen memadukan gambaran relasi kealaman individu dengan Tuhannya. Patung merupakan tekstur yang menerjemahkan unsur kealaman dan mencatat kenangan indah karya besar Allah yang melewati sejarah manusia. Keberadaan patung ini, sewaktu waktu dapat dikaji kembali dan dikenang kembali untuk menandai sejarah manusia.

Sehubungan dengan filosofi seni patung tersebut, banyak manusia yang memaknai secara berbeda beda. Fenomena ini sudah berlangsung dalam sejarah kenabian dan sejarah manusia. Patung dibuat dari barang, hewan, batu, kayu, dan bahan lainnya. Pada masa Walisongo dan Sunan Bonang, patung yang terbuat dari kayu digunakan untuk proses pribumisasi Islam. Kisah patung pada masa walisongo yang digunakan untuk wayang kulit berkembang sampai masa Kiai Cebolek. Patung pada masa Kiai Cebolek digunakan untuk ornamen pada masjid lasem. Pada sejarah lama, patung yang berkualitas tinggi dibuat dari batu pegunungan yang berkualitas.

Berbeda dengan sejarah lama, sekarang ini patung dibuat dari batu yang sudah diproses melalui sistem pertambangan. Dalam ‘Mu’jam al-Wasith’ patung berasal dari kata مثل-يمثل-تمثيلا  yang artinyaمثل التمثال: membuat suatu gambar sampai terlihat wujudnya (Anis Ibrahi: p. 554). Sebagaimana yang sudah dipahami secara umum, patung dibuat dengan memahat batu atau tembaga atau yang sejenisnya yang menggambarkan rupa mahkluk hidup.

Konflik Manusia Dalam Kisah Kenabian

Dalam sejarah kenabian, keberadaan patung mengalami dua perlakuan; pada masa Nabi Sulaiman yang menjadikan patung sebagai karya seni yang indah. Kedua, patung pada masa Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad yang sengaja dihancurkan, karena digunakan dua fungsi yang sama sama salah. Fungsi pertama, patung pada zaman Nabi Ibrahim untuk legitimasi kekuasaan raja Namrud. Pada masa ini, Raja Namrud memanfaatkan patung untuk mengelabuhi masyarakat mempertahankan kekuasaan dengan kedok kesalehannya.

Raja Namrud berharap dengan kedekatannya pada sesembahan masyarakat, maka masyarakat tidak akan ada yang berani melawan hegemoni raja Namrud. Artinya, melalui patung ini, Ramrud bisa mengendalikan kekuasaan dan sistem permodalan di tengah lingkungan masyarakat zamannya. Fenomena ini menunjukkan, fungsi patung sebagai sesembahan buta masyarakat tanpa memperhatikan kejahatan Namrud yang berkedok pada kesakralan patung untuk mendukung kekuasaan.

Hal yang sama, juga terjadi pada zaman Nabi Muhammad, patung dalam kejayaan dagang masyarakat Qurays, telah menjadi media perjanjian kapitalisme. Patung sebagai media perjanjian dagang ini, telah diletakkan di atas ka'bah dan memenuhi hiasan rumah Allah, baitullah. Di tengah kerjasama para kapitalis ini, telah mengorbankan masyarakat Arab dan masyarakat miskin kota qurays. Kondisi masyarakat korban materialis kapitalis ini digambarkan dengan indah di Al Qur'an surat Al Qurays, yaitu masyarakat yang bekerja namun tidak mendapatkan hasil dari pekerjaannya.
Dalam kondisi tersebut, Nabi Muhammad mengajak para masyarakat korban kapitalis Qurays untuk menyembah Tuhan Ka'bah, yaitu Tuhan yang memeri makan dari rasa lapar dan memberikan rasa aman dari ketakutan dihadapan fasisme politik dan para kapitalis Qurays. Model perlawanan Nabi Muhammad dan masyarakat miskin qurays tehadap kaum fasis dan kapitalis ini diwujudkan dalam bentuk menghancurkan patung patung yang ada di Ka'bah. Masyarakat arab pada masa ini, telah meyakini keberhalaan patung yang harus disucikan dan disembah melalui mengorbankan anak setiap terlahir perempuan. Artinya, setiap anak perempuan disembelih sebagai bentuk persembahan terhadap patung yang sedang di letakkan di ka'bah,

Patung di kab'bah ini hanya menjadi sesembahan buta masyarakat qurays yang sudah dimanfaatkan para fasis dan kapitalis terlalu jauh. Kondisi kesejarahan patung pada zaman Nabi Muhammad ini, membuat sikap tegas Nabi Muhammad menolak patung yang diabadikan dalam hadisnya. Jadi, kisah Nabi Muhammad menghancurkan patung, karena alasan asas kegunaan patung yang dijadikan sebagai instrumen kaum fasis dan kapitalis Arab. Pada masa ini, Kaum kapitalis arab suka menyebut nama patung yang menjadi legitimasi sikap kapitalismenya.

Hal yang sama, juga terjadi pada kaum fasis, seperti Abu Sufyan pada perang Uhud, berteriak: “U’lu hubal, u’lu hubal (Maha Tinggi berhala Hubal, Maha Tinggi berhala Hubal). Hal ini dapat dibaca pada tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, cet. I, 1419, vol. VII, hal. 288.

Sebagai bentuk pengalaman Nabi Muhammad di tengah masa jahiliyah, beliau pernah menceritakan tentang kisanya relasinya dengan salah satu berhala masa pra Islam, bernama ‘Uzza. Dalam cerita ini, Nabi Muhammad mengatakan: “Laqad ahdaitu lil ‘uzza syatan ‘afra`, wa ana ‘ala dini qaumi (Sungguh aku pernah memberi hadiah kepada ‘Uzza, berupa kambing putih, aku sedang berada di tengah suasana agama kaumku).” Hal ini dapat dibaca pada sumber kitab, karya Abu al-Mundzir Hisyam al-Kalbi, Kitab al-Ashnam, Kairo: Darul Kutub al-Mishriyyah, cet. IV, 2000, p. 11. Selain 'Uzza, patung yang paling populer ialah al-Lata dan Manah (QS. An-Najm:19-20).

Patung Menurut Hukum Islam

Bagaimana hukum Islam terhadap patung? Sebelum berbicara tentang hukum Islam terhadap patung, umat Islam perlu memahami hukum Islam yang bersifat teosentris, yaitu hukum Islam sebagai hukum yang dianggap bersifat religius, sakral, dan abadi.

Hal ini berbeda dengan kondisi realitas sosial, yang menuntut perubahan epistemologi, baik secara rekonstruktif dan dekonstruktif. Bagaimana jika hukum Islam dikaitkan dengan kondisi realitas sosial yang dipandang sakral? Jika hukum Islam dikaitkan dengan realitas sosial, maka akan menunjukkan wajah yang berbeda dengan aslinya. Contoh, perbuatan mencuri yang seharusnya mendapatkan hukuman "potong tangan", telah diputuskan oleh Umar melalui ijtihad kemanusiannya. Misalnya, seorang pencuri tidak harus potong tangan. Contoh kedua, penggunaan media patung yang pernah dilarang Nabi karena telah dikenal menjadi instrumen kaum fasis dan kapitalis, dalam perkembangan berikutnya berubah menjadi instrumen dakwah sunan kalijaga.

Kedua contoh ini menunjukkan kesakralan dan keabadian hukum Islam memiliki kontekstualisasi yang berbeda dengan wajah aslinya. Hal ini sesuai dengan kondisi dan situasi kesejarahan masyarakat.

Jadi, para ahli hukum islam mempunyai landasan wahyu Al-Quran dan Hadits, namun hal ini bukan berarti mengabaikan kontekstualisasi pemaknaan, seperti hasil ijtihad para ulama fiqh pada abad pertengahan. Kontekstualisasi hukum Islam  bersifat religius dan memiliki prinsip yang universal. Karenanya, hukum islam menunjukkan adanya perubahan yang terjadi dan dihadapi oleh manusia di tengah perubahan sosial. Kontekstualisasi hukum Islam ini menjadi penting, karena hukum Islam muncul sebagai tanggapan terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial, baik yang bersifat tetap dan yang bersifat berubah. Istilah hukum Islam sebagai pergantian kosa kata dari istilah hukum Allah (QS. Al-Mumtahanah (60):10).

Dalam kontekstualisasi hukum Islam (Islamic Law), perlu memahami dua istilah: syariah dan fiqh. Syariat adalah landasan fiqih sedangkan fiqih merupakan pemahaman tentang syariat, yaitu Al-Qur’an dan al-Hadits yang bersifat “qathi” atau jelas nashnya.

Secara harfiyah fiqih bermakna “faham” atau “tahu secara mendalam”. Secara terminologi pengertian fiqih merupakan pemahaman tentang hukum syari’at yang berhubungan dengan manusia mukallaf yang diperoleh melalui ijtihad dari dalil-dalil syar’i yang terperinci. Hal ini, pernah dicontohkan Muadz bin Jabal, yang dibenarkan pandangannya oleh Gus Dur. Alasan menjadikan model Muadz bin Jabal, karena tidak saja hanya karena tidak ditemukannnya teks kewahyuan, namun juga karena kesulitan menemukan teks terhadap konteks yang relevan terhadap perkembangan hukum Islam.
Khalifah Ali RA, juga pernah melakukan ijtihad hukum Islam, misalnya dengan cara ijtihad seperti yang dilakukan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib dalam menetapkan hukum cambuk, sebanyak 80 kali terhadap peminum khamar. Analogi yang digunakan, adalah setiap peminum khamr akan mabuk, setiap orang yang sedang mabuk akan menuduh orang berbuat zina tanpa dasar, maka bagi peminum khamr perlu diberi sanksi tuduhan berbuat zina.

Dasar analogis tersebut di atas, karena menggunakan kaidah: menutup pintu kejahatan yang akan timbul (sad al-dzari’ah). Teori analogis ini berlangsung hingga masa tabi’in hingga Imam Syafi’i. Selain metode sad al dzari'ah, telah berkembang metode metode fiqh sejak abad pertengahan, misalnya, metode mashlahah mursalah, istihsan, urf, istishab.

Sehubungan dengan perkembangan hukum Islam di atas, dapat dijadikan pijakan: untuk melakukan kontekstualisasi hukum Islam dan menjadikan semangat nilai kewahyuan dan karasulan sebagai dasar untuk menentukan hukum Islam. Sebagai contoh pada kasus memaknai keberadaan patung. Patung dapat dipahami dari sisi keindahan, namun juga dapat dipahami dari sisi sosial politik dan agama. Lalu, bagaimana pandangan hukum Islam terhadap patung?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu memahami latar belakang pelarangan Nabi terhadap umat Islam yang membuat patung dan perintah Nabi Muhammad kepada umat Islam untuk menghancurkan patung. Alasan yang sangat mendasar, karena patung telah dijadikan berhala yang mendorong sikap kekerasan umat manusia untuk melakukan kekerasan dan kekejaman terhadap perempuan. Patung hanya dijadikan kedok fasisme politik dan keserakahan kapitalis Arab pada zaman Nabi. Pada masa pelarangan dan penghancuran ini, telah terjadi tradisi arab jahiliyah yang melakukan ritual mempersembahkan para anak peremouan untuk patung.

Sehubungan dengan tradisi jahiliyah ini, maka Nabi melakukan upaya membebaskan umat dan mencerahkan umat dari trauma fasisme politik dan keserakahan kapitalis.
Sehubungan adanya studi kasus tentang patung ini, maka dapat dihukumi menjadi tiga pendekatan hukum Islam: patung yang dihancurkan, berupa patung yang dijadikan berhala yang menjadikan seseorang menjadi jahiliyah. Jahiliyah, bermakna ketidaktahuan dan tidak mau tahu tentang keutamaan dan kebaikan hidup yang berimplikasi pada sikap perbuatan yang keji dan tidak manusiawi.

Hal yang ironis, keberadaan patung justru digunakan untuk memperbodoh manusia dan menguatkan kebodohan dengan terus melakukan penyembahan kepada patung. Spesifikasi hukum tentang membuat patung seperti ini, adalah haram. Sedangkan, menyembahnya menjadi syirik. Dampak dari hukum Islam seperti ini, maka semua yang mendukung pembuatan patung untuk keperluan yang seperti ini menjadi turut merasakan dosanya.

Adapun upaya membuat patung yang tidak disembah, maka boleh dilakukan para ahli pematung. Hal ini sesuai dengan kaidah: Hukum asal segala sesuatu itu diperbolehkan (Al-ashlu fî al-asyyâ` al-ibâhah). Hukum asal membuat patung diperbolehkan (ibâhah), namun hukum ini bisa berubah menjadi dilarang dengan status haram bagi manusia yang melakukannya.

Dalam konteks pembelajaran, membuat patung dapat menjadi wajib. Sesuai dengan klasifikasi hukum ini, dalam melakukan ijtihad membuat hukum terhadap pembuat patung, akan tergantung pada tujuan dan manfaat penggunaannya. Misalnya, patung untuk pembelajaran dunia kedokteran, yang apabila menggunakan praktik bedah terhadap makhluk hidup yang masih bernyawa haram, maka menggunakan media yang dibuat para pematung menjadi wajib.

Hal di atas bertujuan untuk menghindari kerusakan terhadap yang lain. Contoh lain membuat patung untuk prakten shalat janazah menjadi wajib, karena jika tidak membuat patung dikhawatirkan akan ada kesalahan praktek ibadah yang menjadi wajib. Membuat patung yang berguna untuk situs sejarah, juga diperbolehkan atau bahkan dianjurkan, dengan bertujuan untuk mengambil pembelajaran sejarah yang dapat digunakan untuk membaca keagungan Allah terhadap fenomena dan peristiwa kealaman.
Patung yang diperbolehkan dibuat dan dijadikan instrumen untuk pendidikan, adalah patung boneka, Artinya, kebolehan pemanfaatan fungsi patung untuk keperluan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dapat dianalogkan dengan hukum diperbolehkannya boneka untuk instrumen pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Kebolehan pemanfaatan patung boneka ini, telah disepakati mayoritas Ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i. Hal ini didasarkan pada kisah Sayyidah Aisyah yang masyhur dikalangan muhaddisin, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Berbeda dengan ketiga Ulama tersebut di atas, sebagian ulama madzhab Hanbali mengharamkan boneka untuk instrumen bermain anak. Alasannya, hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah, telah dinaskh (dihapus hukumnya) oleh hadits yang melarang membuat patung. Jika dikaji dari kemunculan hadis, justru  hadits ‘Aisyah RA, disampaikan oleh Nabi Muhammad ketika akhir kenabian. Sedangkan, larangan membuat dan perintah menghancurkan patung tidak jelas kapan telah disampaikan oleh Nabi Muhammad. Selain berupa bonika, ada beberapa patung yang berstatus boleh menjadi instrumen bermain dan peningkatan data imajinasi otak anak, seperti patung pengantinan, kucing-kucingan, dan binatang-binatang yang lain.

Jadi, patung tidak hanya yang dipahat, yang terbuat dari batu, besi, tembaga, dan kayu, namun boneka yang dimainkan oleh anak juga dikategorikan sebagai patung. Dalam hukum Islam, patung diharamkan bagi mereka yang ingin menjadikannya sebagai media pembodohan, media "kedok" kehendak para fasis dan kapitalis. patung dibuat dari bahan bebatuan pegunungan yang berkualitas yang merusak ekologis.

Sedangkan, patung diperbolehkan pembuatannya untuk simbol yang menandai sejarah manusia, riset ilmu pengetahuan, dan instrumen pengembangan ilmu pengetahuan. Patung menjadi wajib dibuat, karena untuk kepentingan pembelajaran dunia kedokteran. Bidang kedokteran merupakan bidang yang wajib ada di tengah lingkungan masyarakat, karena jika mereka yang sakit ada di tangan para dukun mistis yang memainkan kesedihan masyarakat, justru akan lebih membahayakan bagi masyarakat. Penanganan media patung pentig bagi masa depan kemanusiaan dan diperlukan umat manusia.

Penanganan medis patung sebagai bentuk penanganan logis usaha manusia menerjemahkan rahasia Allah melalui ciptaannya. Karenanya, media patung sebagai media pembelajaran dunia kedokteran menjadi wajib tersedia. Bukankah lebih membahayakan, bagi mereka yang menjadikan media pembelajaran di dunia kedokteran dengan menggunakan makhluk hidup yang wajib mendapatkan hak kemanusuaannya.

Sebenarnya, bagi umat Islam yang berkeinginan mengikuti tafsir hitam putih tentang pelarangan menggambar dalam pelarangan membuat patung, mereka punya hak untuk tidak menggambar dan membuat patung. Yang perlu dipahami bukan berarti harus bersikap merusak gambar atau patung yang dibuat seseorang yang tidak mengganggu lingkungan hidup. Hal ini, berbeda dengan pada zaman nabi yang pernah melarang membuat-memasang gambar atau patung, karena telah menjadi intrumen fasisme dan keserakahan kapitalis.

Dalam konteks yang berbeda dari era pelarangan patung pada zaman Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad, telah berlangsung proses pribumisasi Islam di nusantara yang dikenalkan para Walisongo dan Sunan Kalijaga yang juga menggunakan media patung, seperti: patung wayang kulit. Hasilnya, adanya proses keberagamaan Islam Nusantara yang ramah terhadap kearifan lokal dan lingkungan sosial. Model pribumisasi Islam Walisongo ini, adalah model keberagamaan yang ramah yang hingga sekarang telah menjadikan Islam nusantara yang melindungi dan mengayomi semua keyakinan dan keragaman hidup. Sehubungan dengan keberadaan patung yang terus mengisi sejarah manusia ini, perlu kajian mendalam mengapa ada yang membuat patung dan mengapa ada yang melarangnya?

Ubaidillah Achmad, Dosen Filsafat Islam UIN Walisongo, Penulis Suluk Kiai Cebolek dan Islam Geger Kendeng, Khadim PP. Bait As Syuffah Sidorejo Pamotan Rembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By