Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]
Catatan Ukhty: Dakwah Melawan Fasisme Politik Dan Intoleransi
Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]

Breaking News

Senin, 21 Agustus 2017

Dakwah Melawan Fasisme Politik Dan Intoleransi

Dakwah Melawan Fasisme Politik Dan Intoleransi
Dakwah Melawan Fasisme Politik Dan Intoleransi
Ilustrasi  Dakwah Melawan Fasisme Politik Dan Intoleransi. Image courtesy Google
Oleh: Ubadillah Achmad

ARRAHMAH.CO.ID - Fenomena Konflik keberagamaan yang disebabkan oleh beberapa kelompok umat Islam dan kepentingan kehendak kuasa, adalah konflik yang tidak bisa di anggap persoalan sederhana. Mengapa fenomena konflik semacam ini merupakan persoalan yang harus direspon dengan serius? 

Karena telah memunculkan tiga dampak negatif terhadap umat Islam, pemerintah dan kerukunan antar umat beragama. Jika diidentifikasi, ada dua sumber konflik yang perlu segera mendapatkan penyelesaian: fasisme politik dan radikalisme yang bersumber dari kesalahpahaman menafsirkan teks kewahyuan.

Dalam realitas perkembangan umat manusia, telah mumcul paradog terhadapat kemajuan ilmu pengetahuan dan akses teknologi informasi. Misalnya, adanya oknum umat Islam yang terlibat dalam konflik keberagamaan dan kekerasan, adanya oknum pemerintah yang telah tergoda terhadap kelompok kepentingan sesaat yang ingin menghancurkan sistem pemerintahan untuk basis kekuatan gerakan sparatis.

Sehubungan dengan fenomena ini, telah dibuktikan dari hasil penelitian Yuliyatun, Dosen Psikologi Islam STAIN Kudus, yang menegaskan (2016), di beberapa negara mayoritas berpenduduk muslim, telah dihadapkan pada konflik keberagamaan, baik sesama umat Islam atau antar umat beragama yang secara langsung bergesekan dengan umat Islam. Dalam penelitian ini, peneliti mempertanyakan latar belakang konflik keberagamaan: apakah konflik ini murni disebabkan adanya radikalisme beberapa umat Islam? apakah konflik ini karena adanya konspirasi kepentingan kapitalime dunia? adakah kemungkinan fenomena ini dibuat oleh kelompok non muslim yang menginginkan kehancuran umat Islam?

Dakwah Humanis

Dari ketiga pertanyaan tersebut di atas, pembaca bisa membaca sendiri hasil penelitian tersebut, yang berikut ini akan penulis kembangkan dalam kajian dakwah humanis.
Sebelum berbicara dakwah humanis, mengutip dari pendapat Yuliyatun, dakwah merupakan cara dan upaya seseorang atau lembaga yang memiliki visi dan misi untuk meningkatkan pemahaman keagamaan dan mengubah pandangan hidup, membentuk keseimbangan psikis individu atau subjek dampingan. Cakupan makna dakwah, selain untuk membentuk sikap yang baik, juga untuk menguatkan prinsip ajaran agama Islam agar dapat membentuk umat yang berperilaku sesuai dengan tuntutan syariat untuk kemaslakhatan seluruh umat manusia dan untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Dari pandangan Yuliyatun di atas, dakwah dapat dipahami bukan hanya mencakup sisi materi dakwah, namun juga unsur yang terkait dengan dakwah. Misalnya, Da’i yang dianggap  sebagai orang yang mengajak pada jalan kebaikan, baik secara lisan maupun perbuatan. Karenanya, sebagai da'i (orang yang berdakwah), diharapkan dapat menjadi percontohan atau modeling bagi subjek dampingan dan masyarakat. Beberapa model yang harus dijaga, adalah bersikap terbuka, jujur dan mempertahankan keadilan, istiqamah menjaga keimanan, tidak merahasiakan kebenaran, menjaga perbuatan ajaran yang sudah disyariatkan untuk kemaslakhatan umat manusia, istiqamah menjaga komitmen pada prinsip etika universal sebagai pilihan hidup, memiliki keberanian moral berdakwah, terbuka, penuh toleransi, lapang dada dan tidak memaksa keyakinan dan keberagamaan pihak yang lain.

Sehubungan dari hasil penelitian di atas, setiap da'i selain menguatkan masalah keimanan dan ketauhidan, juga dapat menjaga prinsip kebenaran dan keadilan yang harus ditegakkan kepada seluruh umat manusia. Misalnya, masalah ekonomi yang disebabkan oleh dominasi kapitalisme. sosial budaya dan teknologi modern yang menggerus nilai sosial budaya. Karenanya, materi dakwah harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat lokal dan kearifan lokal.

Dari telaah penelitian Yuliyatun ini, dapat dipahami dari hakikat dakwah, yaitu mempotensikan makna kekhalifahan manusia di muka bumi. Jika manusia tidak mempotensikan kekhalifahannya, maka akan terlihat seperti makhluk yang lainnya. Karenanya, jika manusia secara terang terangan bersikap seperti hewan, maka dapat dikatakan lebih hina dalam konteks tidak ada batasan moral dan etika.

Dalam konteks ini, seorang da'i harus mampu mengintegrasikan keseluruhan hal yang relevan dengan dakwah dan pemberdayaan umat secara universal. Model integrasi dakwah ini dapat disesuaikan dengan dua pendekatan: pertama, persuasif (mengajak subjek dampingan yang berada pada kawasan dakwah dengan lemah lembut). Kedua, pendekatan konsultatif (berlangsung secara dinamis, kreatif, dan tanpa ada jarak antara subjek pendamping dengan subjek dampingan). Misalnya, dengan dakwah menggunakan cara Bi al Hikmah, Mau’izatul Hasannah, Mujadalah Billati Hiya Ahsan.


Melawan Fasisme Politik dan Intoleransi

Sehubungan dengan prinsip dakwah di atas, maka para juru dakwah harus secara tegas berani melawan fasisme politik dan intoleransi. Kedua sumber konflik sejarah manusia inilah yang apabila tidak dikendalikan, maka akan melemahkan visi dakwah tidak berfungsi dalam sistem kekhalifahan bumi. Karenanya, visi dakwah harus di jaga dengan tekad para aktivis dakwah agar tidak dimainkan oleh fasisme politik dan intoleransi. Visi dakwah harus tetap menjaga komitmen pada prinsip kebanaran, prinsip pembebasan dan prinsip pencerahan.

Model perlawanan yang paling sederhana terhadap sumber konflik ini, adalah untuk saling memahami tujuan beragama, sehingga tidak menjadikan agama yang diyakininya sebagai sumber konflik kesalahpahaman intern dan antar umat beragama. Selain itu, dakwah dapat membentuk pandangan dan sikap subjek dampingan yang memiliki sikap terbuka terhadap intern keberagamaan dan kelompok keyakinan agama yang lain.

Dalam penelitian Yuliyatun ditegaskan, bahwa Keimanan yang terbuka, adalah keimanan yang memberikan kesempatan pihak yang berbeda keimanan untuk berdialog dan bersama sama dalam mencerahkan umat manusia. Kesadaran keimanan seperti ini, tidak merasakan kecil hati dihadapan mereka yang berbeda keimanan. Selain itu, model iman yang terbuka akan membuktikan keyakinan iman seseorang benar benar terasa kokoh, karena tidak tergoyahkan oleh keimanan yang lain.

Berikut beberapa contoh Iman yang terbuka: menjawab persoalan keimanan yang sering dijadikan sumber konflik kebragamaan, menekankan sikap memanusiakan manusia, mengajarkan kebaikan dan keutamaan, memberikan kebahagiaan untuk semua umat manusia, memberikan pendidikan kepada umat manusia, membuka cara pandang yang lebih luas kepada subjek dampingan, mengajarkan sikap demokratis dan memiliki sikap toleransi terhadap perbedaan

Selain tema tentang Iman yang terbuka, sekarang ini perlu ada penjelasan tentang taqwa yang mencerahkan umat Islam. Meski sudah ada yang menjelaskan makna taqwa secara mencerahkan, namun seringkali masih banyak ditemukan interpretasi terhadap istilah taqwa, bermakna sikap pasif yang tidak memberikan kesempatan ruang diskursus antara manusia dan Allah. Perlu ditegaskan kepada para juru dakwah, bahwa istilah taqwa memiliki cakupan makna yang lebih progresif dan diskursif yang bisa diberlakukan oleh seorang manusia dihadapan Allah dan di tengah pergolakan hidup antar umat manusia.

Sebagai contoh, taqwa tidak dimaknai berhenti pada cakupan makna takut kepada Allah. Sebab jika dimaknai takut kepada Allah, seolah olah manusia dan Allah hanya bersifat relasional tanpa nilai pengikat yang dapat ditujukan kepada Allah. Nilai pengikat itu berupa prinsip kebenaran amal perbuatan yang diajarkan Allah kepada para khalifah bumi.

Dengan demikian, jika taqwa bermakna takut, maka harus dikaitkan dengan bentuk takut melakukan kemaksiyatan atau takut karena mengabaikan prinsip kebenaran yang ditetapkan Allah melalui para Utusan-Nya. Konteks takut yang bermakna takut mengabaikan kebenaran yang bersumber dari Allah ini, akan menjadi energi positif seseorang bersikap secara real dan empiris sesuai dengan arus larangan dan perintah dari Allah, baik kepada umat yang seagama maupun kepada mereka yang berbeda pandangan dan keyakinan. Misalnya, membangun hidup toleran dan ramah terhadap perbedaan.

Jika ada beberapa pihak memaknai taqwa menyimpang dari teks universalitas dan lokalitas jejak kenabian dari masing masing para Nabi, maka dapat ditolak dengan tegas. Misalnya, gerakan yang mengatasnamakan Islam untuk membangun gerakan komunal dan fasisme politik. Saya sependapat dengan pandangan beberapa cendekiawan muslim, yaitu perlu ada penjelasan filosofis perintah dan larangan yang bersumber dari Allah.

Sebagai contoh, yang penulis temukan dari penelitian Yuliyatun, berupa menjauhi larangan tidak boleh dimaknai sebagai bentuk menyerbu praktek keagamaan dan keyakinan yang berbeda dengan umat Islam. Dalam sejarah risalah Nabi Muhammad, tidak pernah ada kegiatan yang bersifat konfrontatif terhadap mereka yang berbeda keyakinan dan pandangan, baik dalam konteks agama maupun budaya. Jika dikaitkan dengan perintah Allah, kita selalu diperintahkan untuk selalu meningkatkan kebaikan dan ketaatannya kepada Allah SWT.

Taqwa Yang Mencerahkan

Beberapa catatan penting dari penelitian Yuliyatun ini, berupa ajaran ketaqwaan dalam Islam, setiap muslim yang bertaqwa berkewajiban untuk mengikuti arah atau tujuan perintah dan arah atau tujuan larangan. Istilah perintah dan larangan ini tidak bersifat searah dengan tanpa melihat situasi dan kondisi. Dengan kata lain, dalam ajaran ketaqwaan yang diberlakukan untuk umat Islam, masih menyediakan kesempatam bagi pihak yang berbeda keyakinan dan keberagamaan untuk bebas berekspresi. Dengan demikian, dalam ajaran ketakwaan mengajarkan sikap, agar memberikan kemerdekaan kepada pihak yang berbeda keyakinan dan pilihan gerakannya.

Secara kontekstual, umat Islam wajib mempertahankan kekhasannya sebagai umat Islam yang taat terhadap prinsip ritual agama Islam. Prinsip ritual ini berlaku untuk kalangan umat Islam sendiri, bukan untuk menekan pihak yang lain atau menakut nakuti dengan mengancam pihak yang lain. Islam melarang umat Islam menjadi ancaman bagi pihak yang lain dan tidak memberikan ketenangan kepda pihak pihak yang berbeda keyakinan dan pandangan.

Terjadinya peperangan dalam sejarah Islam tidak dimaksudkan untuk memperebutkan kepentingan politik kekuasaan atau fasisme, namun untuk mempertahankan hak kemanusiaan dan membela hak mereka yang lemah atau dilemahkan di tengah sistem perbudakaan jahiliyah. Islam datang dengan memberikan perhatian serius, bagaimana memberikan pencerahan dan pembebasan kepada umat Islam.

Oleh karena itu, pengakuan ketaqwaan seseorang harus terimplementasi dalam pandangan dan perilaku yang benar benar harmoni kepada Allah dan harmoni kepada umat manusia. Sebagai umat Islam dapat melaksanakan nilai ketaqwaan dengan mengikuti seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan tetap membangun harmoni kehidupan lingkungan hidup, baik sesama umat Islam, umat manusia dan lingkungan hidup lainnya.

Harmoni dengan sesama umat Islam, umat manusia dan lingkungan hidup lainnya dapat diwujudkan berupa: tidak membedakan model penghormatan dan penghargaan kepada sesama umat manusia. Karenanya, seseorang tidak perlu khawatir terhadap sikap harmonis dengan pihak yang berbeda pandangan dan keyakinan. Kekhawatiran terhadap pihak yang lain, hanya akan mengkerdilkan sikap sendiri di tengah realitas lingkungan hidup. Dari sini, jelas, perlu makna taqwa yang mencerahkan umat manusia!!!

Ubaidillah Achmad, Dosen Filsafat Islam UIN Walisongo, Penulis Suluk Kiai Cebolek dan Islam Geger Kendeng, Khadim PP. Bait As Syuffah Sidorejo Pamotan Rembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By