Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]
Catatan Ukhty: Refleksi Bernegara dalam Al Qur'an: Kembali Pada Al-Balad
Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]

Breaking News

Kamis, 15 Juni 2017

Refleksi Bernegara dalam Al Qur'an: Kembali Pada Al-Balad

Refleksi Bernegara dalam Al Qur'an: Kembali Pada Al-Balad
Refleksi Bernegara dalam Al Qur'an: Kembali Pada Al-Balad
Refleksi Bernegara dalam Al Qur'an: Kembali Pada Al-Balad
Oleh: Dr Abdul Jalil

RAMADHAN, ARRAHMAH.CO.ID - Malam ini, pas khataman al-Qur’an, otak saya dipaksa berhenti memikirkan ruwetnya wacana, analisis, skenario, rekayasa, dan komentar yang bertali-temali. Tiba-tiba saja lantunan  surat al-Balad [yang berarti negara] menyeruak masuk dalam otak dan membuat hati tergetar.
Setelah beberapa saat, tiba-tiba muncul pikiran ini. Sebutlah kita ini bernegara yang bernama Indonesia. Saya ‘makmunan’ aja,  dalam arti tidak mengggugat mengapa namanya indonesia yang warisan Belanda (kok bukan milih Nusantara, anatu mencari istilah lain warisan Majapahit atau warisan Walisongo), lambangnya burung garuda (kok bukan bulan sabit,  singa atau burung Ababil), dasarnya Pancasila (kok bukan Islam atau apalah namanya). Dalam sikap nrimo warisan leluhur secara apa adanya itu, ada beberapa kesadaran yang lahir dari literasi al-Balad.
Allah bersumpah dengan Negara [لَا أُقْسِمُ بِهَذَا الْبَلَدِ]. Negara yang dimaksud adalah Makkah, bukan Madinah. Makkah, walau masih memperlakukan Muhammad tidak adil, dibuat sumpah karena secara faktual kaum muslim  menempati wilayah tersebut [وَأَنْتَ حِلٌّ بِهَذَا الْبَلَدِ ], dan negara tersebut adalah  tempat tumpah darah antar generasi [وَوَالِدٍ وَمَا وَلَدَ ]. Jadi, dua hal yang esensial dalam bernegara,  yakni soal keabsahan menempati dan tempat melakukan regenerasi. 
Sebagai sebuah perjalanan, tentu kesulitan pasti muncul [لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ]. Namun kesulitan ini masih dalam batas-batas kemampuan, sehingga janganlah memutus sebuah cahaya asa dan memilih menyerah kalah  [أَيَحْسَبُ أَنْ لَنْ يَقْدِرَ عَلَيْهِ أَحَدٌ] atau memunculkan jemawa bahwa masalah kenegaraan bisa diselesaikan dengan pendekatan materi [ يَقُولُ أَهْلَكْتُ مَالًا لُبَدً]. Tumpukan modal tidak akan mampu menyelesaikan masalah kenegaraan, apalagi duit tersebut sumbernya tidak jelas [أَيَحْسَبُ أَنْ لَمْ يَرَهُ أَحَدٌ]. Yang harus dilakukan adalah kembali melihat secara jernih dengan dua mata [أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ] dan berkata jujur nan santun dengan dua bibir [وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ] untuk menapaki jalan ketuhanan dan menghindari lorong kehancuran [وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ]

Semua warga Negara mesti diarahkan untuk berkompetisi mendapatkan al-‘aqabah [فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ]. Apa itu al-‘Aqabah? [وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ], yakni membebaskan diri dari perbudakan. Sudah sekian lama kita diperbudak  analisis akademis, kebenaran wacana, hegemoni kultur, keangkuhan primordial, tarikan modal, jebakan politik dan seterusnya. 

Kita mengabaikan narasi hidayah, literasi kitab suci, ketulusan mata dan kejujuran bibir. Kita lalai tidak memberi kesempatan kepada saudara kita yang  terpental dalam  kepincangan  kompetisi [أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ]. Kita dibuat buta dan tuli dari tangisan anak yatim [يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ] dan derita kaum miskin [أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ].
Orang yang mendapatkan al-‘Aqabah [أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ] selalu konsisten menjadikan iman sebagai imam, bukan menjadikannya sebagai dagangan. Iman yang menjadi imam senantiasa menebar kearifan, mengingatkan yang alpa dengan sikap sabar dan welas asih [ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ].  Abai atau main-main dengan literasi ketuhanan  [وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِآَيَاتِنَا] akan menempatkan kita dalam situasi terkunci dalam panas membara [هُمْ أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ عَلَيْهِمْ نَارٌ مُؤْصَدَةٌ ]
Sebagai catatan akhir, saya percaya bahwa tata urutan surat dalam al-Qur’an ada campur tangan ‘yang di Atas’. Kalau toh ada yang berkesimpulan bahwa tata urutan itu bersifat ijtihady, saya berkeyakinan ada bisikan ‘langit’ yang menuntun ijtihad tersebut. Surat al-Balad ini didahului surat al-Fajr (Fajar), dan diteruskan dengan al-Syams (Matahari), Al-lail (Malam), al-Dluha (pagi), al-Insyiroh (Lapang dada) dan al-Tin (BuahTin). 

Lagi-lagi dengan aksioma diatas, dalam konteks bernegara, setelah fajar kemerdekaan, lalu datanglah matahari yang membuat kita gegap gempita membangun dan mereformasi, agaknya sekarang ini kita sedang berada di waktu malam, dimana sebagaian sedang istirahat, sebagian masih  lembur kerja, sebagian lagi berbisik menyiapkan aksi. 

Namun diluar itu masih ada hamba yang dengan welas asih menangis bersujud kepada Allah. Semoga, malam segera berlalu, pagi  menyambut dengan ceria, hati berlapang dada, kesulitan tertutup kemudahan, dedaunan menghijau penuh buah, dan hadir sebuah negara yang amin dan amanah [وَهَذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ].

Dr Abdul Jalil, Alumni Madrasah Qudsiyyah Kudus

Kudus, 17 Romadlan 1438

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By