Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]
Catatan Ukhty: Fikih I’tikaf
Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]

Breaking News

Kamis, 15 Juni 2017

Fikih I’tikaf

Fikih I’tikaf
Fikih I’tikaf (1)
》BAGIAN 1《

Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ mendefinisikan I’tikaf,

هُوَ لُزُومُ مَسْجِدٍ لِطَاعَةِ اللهِ تَعَالَى

“Yaitu menetap di masjid untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala”

Penjelasan :
Apakah maksud لُزُومُ (menetap) di sini? Syaikh Manshur bin Yunus Al-Bahuti rahimahullah ketika menjelaskan kata tersebut dalam kitabnya Ar-Raudhul Murbi’,

لزوم مسلم عاقل ولو مميزا لا غسل عليه مسجدا ولو ساعة

“Menetapnya seorang muslim yang berakal, walaupun seorang anak yang mumayyiz, yang tidak berkewajiban mandi, di dalam masjid walaupun sesaat saja”

Pada kalimat di atas, terdapat sebagian syarat-syarat sah I’tikaf, bahwa seseorang yang hendak beri’tikaf haruslah memiliki kriteria, di antaranya sebagai berikut,

1. Muslim

Di antara syarat sahnya I’tikaf adalah beragama Islam, hal ini disepakati oleh empat madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah,dan Hanabilah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala tentang orang-orang kafir

وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

“Dan Kami hadapi segala amal (jenis kebaikan) yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan” (Al-Furqaan: 23).

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa amal apa saja dari jenis amal kebaikan yang mereka kerjakan, maka akan tidak diterima, tidak diberi pahala dan sirna begitu saja karena tidak adanya keimanan dalam hati mereka. Dengan demikian orang yang kafir atau murtad sedangkan ia belum bertaubat, maka tidak sah I’tikafnya, karena I’tikaf adalah jenis amal shalih dan tidaklah diterima jika yang melakukannya adalah orang kafir.

2. Berakal

Syarat ini disepakati oleh empat madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Berdasarkan syarat ini, maka orang gila, idiot, pingsan dan mabuk, jika berdiam diri di dalam masjid, maka tidak sah disebut sebagai I’tikaf. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat” [1]

Hadits ini menunnjukkan bahwa setiap ibadah yang kita kerjakan haruslah didasari niat beribadah, sedangkan seorang yang gila, idiot, pingsan dan mabuk, tidak tergambar bisa berniat ibadah dalam beri’tikaf.

3. Mumayyiz

Seseorang yang beri’tikaf itu tidak disyaratkan harus baligh, mumayyiz pun sudah sah beri’tikaf, karena mumayyiz sudah bisa berniat. Jumhur Hanabilah mendefinisikan mumayyiz adalah anak yang sudah berumur tujuh tahun, namun pendapat yang kuat adalah ulama yang mendefinisikan mumayyiz sebagai anak yang sudah paham khithab (pembicaraan) dan bisa menjawab pertanyaan, namun pada umumnya ketika seseorang berumur tujuh tahun sudah mumayyiz.

Dengan demikian anak yang belum mumayyiz tidak sah I’tikaf nya karena tidak tergambar bisa menyengaja berniat untuk I’tikaf.

Inilah alasan Tamyiiz sebagai syarat sahnya I’tikaf, sehingga para ulama ketika membawakan dalil tentang syarat sahnya I’tikaf,mereka membawakan hadits tentang niat yang sudah disebutkan pada syarat yang kedua. Syarat ini disepakati oleh empat madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.

4. Berniat I’tikaf

Niat I’tikaf adalah syarat kesahan I’tikaf, dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat.” [2]

Ini adalah Ijma’ ulama, sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Rusyd rahimahullah dalam Bidayatul Mujtahid. [3] Alasan lain dari niat sebagai syarat sah I’tikaf adalah secara akal sehat, seseorang yang menetap di masjid itu, tujuannya bisa bermacam-macam, bisa untuk I’tikaf, namun bisa juga untuk selainnya. Maka haruslah ada niat yang membedakan antara kedua tujuan tersebut.

Juga niat dibutuhkan untuk membedakan antara I’tikaf yang hukumnya sunnah untuk dikerjakan, dengan nadzar I’tikaf yang wajib ditunaikan.

5. Suci dari Hadats Besar

Tidak sah seseorang memulai i’tikaf dalam keadaan berkewajiban mandi karena berhadats besar, seperti janabah, haidh atau nifas, Syarat ini disepakati oleh empat madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.

Jumhur ulama rahimahumullah memandang bahwa orang yang haidh, nifas, atau junub tidak sah melakukan I’tikaf, hal ini berbeda dengan pendapat Zhahiriyyah yang berpendapat bahwa I’tikaf mereka itu sah. Dan pendapat yang terkuat adalah pendapat jumhur Ulama, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kalian mandi” (An-Nisaa`: 43).

Dalam Ayat ini, Allah Ta’ala melarang orang yang junub mendekati tempat-tempat shalat, yaitu masjid, jika orang yang junub saja dilarang, maka lebih-lebih lagi wanita yang haidh dan nifas, karena hadats wanita yang haidh lebih kuat, oleh karena itu wanita yang haidh tidak boleh digauli oleh suaminya, tidak boleh shalat, tidak boleh puasa dan dalam hukum-hukum selainnya. [4]

6. Minimalnya Sehari atau Semalam

Masalah waktu minimal I’tikaf ini diperselisihkan ulama, sebagian mereka ada yang mengatakan sehari (seperti pendapat sebagian Malikiyyah, satu riwayat dari Hanafiyyah), adapun Malikiyyah berpendapat sehari dan semalam, ada satu riwayat dari Imam Malik yang menyatakan sepuluh hari dan Mayoritas ulama berpendapat cukup sesaat saja. Pendapat yang mendekati kebenaran-wallahu a’lam- yaitu bahwa waktu minimal I’tikaf adalah sehari atau semalam, alasannya adalah:

Alasan pertama
I’tikaf adalah Ibadah, maka batasan waktunya mencukupkan dengan apa yang telah ada dalam dalil.

Dalilnya adalah hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu dalam Ash-Shahihain,

كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ :فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ

“Aku pernah berrnadzar pada zaman jahiliyah untuk i’tikaf semalam di Masjidil Haram, maka Rasulullah berkata tunaikan nadzarmu”.

Dalam riwayat yang lain disebutkan,

أن عمر بن الخطاب سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهو بالجعرانة، بعد أن رجع من الطائف، فقال: يا رسول الله! إني نذرت في الجاهلية أن أعتكف يوما في المسجد الحرام. فكيف ترى؟ قال (اذهب فاعتكف يوما).

“Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang saat itu ia berada di Ji’raanah setelah kembali dari Thaaif. Ia berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pernah bernadzar di masa Jahiliyyah untuk ber-i’tikaf selama sehari di Al-Masjidil-Haram. Bagaimanakah pandangan Anda ? Beliau bersabda pergilah, beri’tikaflah sehari!” (HR. Muslim).

Dari kedua hadits tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa paling sedikitnya waktu I’tikaf yang ada dalam dalil adalah sehari atau semalam.

Alasan kedua
Kalau seandainya I’tikaf kurang dari sehari atau semalam itu disyari’atkan, maka tentulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi contoh langsung, atau memerintahkan para sahabatnya dan hal itu akan tersebar luas di tengah-tengah para sahabat, karena sering berulangnya mereka mendatangi masjid, dan para sahabat akan melakukan hal itu.

Mari kita perhatikan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum banyak keluar masuk masjid untuk melaksanakan shalat jamaah, shalat jumat, kajian dan yang lainnya, namun

●   Pernahkah dinukilkan bahwa Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaf kurang dari satu hari atau kurang dari satu malam? 
●   Pernahkah dikabarkan bahwa beliau pernah menyuruh para sahabatnya untuk melakukan perbuatan itu ?
●   Pernahkah ada riwayat yang menyebutkan bahwa para sahabat melakukan I’tikaf sesaat, karena jika seandainya hal itu disyari’atkan, tentulah mereka akan bersemangat melakukannya, mereka adalah orang-orang yang paling semangat melakukan kebaikan, apalagi I’tikaf sesaat itu mudah dilakukan dan mereka sering keluar masuk masjid. Sedangkan pendorong berupa semangat ingin mendapatkan pahala I’tikaf dalam jumlah yang banyak itu ada pada diri mereka. Itu memungkinkan, karena mereka sering keluar masuk Masjid. Seandainya ada, penghalang apakah gerangan yang menghalangi mereka, padahal itu adalah ibadah yang mudah dilakukan? [5]

Janganlah dipertentangkan dengan pertanyaan Adakah dalil yang melarang I’tikaf kurang dari sehari atau semalam? karena kaidah dalam masalah ibadah adalah Tauqifiyyah, hukum asal ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang menunjukkan pensyari’atannya, adapun dalam masalah dunia adalah hukum asal sesuatu (perkara dunia) adalah mubah, sampai ada dalil yang melarangnya.

Kesimpulan

Berkata DR. Khalid Al-Musyaiqih hafizhahullah dalam Fiqhul I’tikaf, hal.54:

لعل أقرب الأقوال – والله أعلم – أن أقل الاعتكاف يوم أو ليلة

“Barangkali pendapat yang paling mendekati kebenaran -wallahu a’lam- yaitu bahwa waktu minimal I’tikaf adalah sehari atau semalam.” Wallahu a’lam.

[http://ift.tt/2dG9IYK, Penulis: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah. Sumber: Di Sini]

Catatan Kaki :
1 . HR. Al-Bukhari dan Muslim.
2. HR. Al-Bukhari dan Muslim.
4. Fiqhul I’tikaf, hal. 72,(PDF) dengan sedikit perubahan dan tambahan.
5. Fiqhul I’tikaf, hal.55, DR. Khalid Al-Musyaiqih, (PDF) dan ceramah Syaikh DR. Sami Ash-Shuqoir , I’tikaf, kaset 1 ,di http://al-soger.com,dengan sedikit perubahan dan tambahan.

Fikih I’tikaf (2)
》BAGIAN 2《

Berdiam Di Masjid Syarat Sahnya I’tikaf

Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya: Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ mendefinisikan I’tikaf,

هُوَ لُزُومُ مَسْجِدٍ لِطَاعَةِ اللهِ تَعَالَى

Yaitu menetap di masjid untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Penjelasan :

Apakah maksud مَسْجِدٍ (masjid) di sini?

Secara bahasa adalah :

Berkata Ibnu Mandhur rahimahullah [1]:

المسجَد والمسجِد : الذي يسجد فيه

Al-Masjad dan Al-Masjid yaitu (Tempat) yang digunakan untuk bersujud. [2]

Berkata Sibawaih rahimahullah [3]:

أما المسجِد فإنهم جعلوه اسماً للبيت ولم يأتِ على فعل يفعُل

Adapun kata “Al-Masjid”, maka sesungguhnya mereka menjadikannya sebagai sebutan untuk sebuah rumah (baca: tempat), namun (kata tersebut) tidak sesuai dengan wazan (timbangan) “fa’ala-yaf’ulu [4]” [5]

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa Al-Masjad (dengan harakat fathah huruf ج nya) secara bahasa Arab adalah kata keterangan tempat dari sajada- yasjudu, namun karena dalam dalil disebutkan Masjid (dengan harakat kasrah huruf ج nya),maka digunakanlah kata Al-Masjid, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:

{لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ}

Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bersih.(At-Taubah:108).

Faedah Ilmiyyah : 

Berkata Az-Zakarsyi rahimahullah,

ولما كان السجود أشرف أفعال الصلاة لقرب العبد من ربه اشتق اسم المكان منه فقيل مسجد، ولم يقولوا مركع

Ketika sujud merupakan gerakan shalat yang termulia, karena (pada posisi sujud) hamba dekat dengan Rabbnya, maka diambillah kata keterangan tempat darinya, maka diungkapkan dengan: “masjid” dan mereka tidak menyebut “marki’”. [6]

Secara Istilah adalah :

Terdapat beberapa definisi Masjid secara istilah dari para Ulama rahimahumullah, namun definisi yang terpilih adalah

المكان الموقوف لأداء صلاة الجماعة

Tempat yang diwakafkan untuk menunaikan shalat berjama’ah (sholat lima waktu). [7]

,definisi ini adalah menurut ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah, dan definisi ini yang terpilih karena menggabungkan dua syarat suatu tempat dikatakan sebagai masjid, yaitu:

Pertama: Tempat yang diwakafkan Lillahi Ta’ala .

Kedua : Tempat itu digunakan untuk menunaikan shalat berjama’ah lima waktu.

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Masjid Adalah Syarat Sahnya I’tikaf.

Berdasarkan dalil Alquran, As-Sunnah dan Ijma’, salahsatunya adalah firman Allah Ta’ala :

{ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}

(Tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian sedang beri’tikaf dalam masjid. (Al-Baqarah: 187).

Sisi pendalilannya :

●  Karena Allah menjadikan tempat I’tikaf adalah masjid.

●  Dan karena : Kalau seandainya sah I’tikaf dilakukan di selain masjid, maka tidaklah dikhususkan pengharaman bersetubuh bagi orang yang sedang I’tikaf hanya di masjid saja, namun juga dilarang di tempat lainnya.

Pengkhususan tempat disini menunjukkan pada bahwa tempat I’tikaf hanya satu, yaitu masjid.

2. Tidak Boleh I’tikaf Di Seluruh Tempat Yang Tidak Memenuhi Definisi Masjid.

Seperti: kantor, kelas sekolahan, mushola (tempat sholat) kantor, mushola sekolah dan mushola pabrik. Mushola juga bukan termasuk masjid, karena:

●  Mushola kantor bisa saja tidak digunakan sholat atau hanya untuk sholat karyawan, sedang masjid untuk sholat setiap orang yang mengunjunginya. Atau digunakan untuk shalat, namun bukan lima waktu, hanya satu atau dua waktu saja.

●  Mushola tidak ada imam tetap sholat lima waktunya, adapun masjid ada.

●  Masjid tidak boleh dijual dan disewakan, karena telah diwakafkan, adapun mushola kantor, bisa dijual mengikuti dijualnya perusahaan oleh pemilik perusahaan.

●  Tidak berlaku pada mushola hukum-hukum masjid, seperti sholat Tahiyyatul Masjid, dilarang orang yang junub dan wanita haidh berdiam disitu, dilarang berdagang di dalamnya, semua itu tidak berlaku di mushola.

3. Mushola (tempat sholat) Untuk Menunaikan Sholat ‘Iid (atau yang disebut dengan lapangan sholat ‘Iid), Juga Bukan Masjid.

Menurut pendapat terkuat dan ini pendapat Jumhur Ulama rahimahumullah.

Berkata Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Al-Majmu’,

المصلى المتخذ للعيد وغيره، الذي ليس بمسجد لا يحرم المكث فيه على الجنب

والحائض على المذهب. وبه قطع الجمهور

Tempat sholat yang dipakai untuk shalat ‘Ied (tanah lapang) dan selainnya yang bukan termasuk masjid, tidaklah diharamkan bagi orang junub dan haidh berdiam padanya , ini menurut madzhab (Syafi’iyyah), dan dengan pendapat inilah Jumhur ulama berpendapat. [8]

Alasan tanah lapang untuk menunaikan sholat ‘Iid tidak termasuk masjid, diantaranya karena :

●  Tidak dilaksanakan sholat lima waktu di dalamnya.

●  Tidak ada imam tetap shalat lima waktu.

●  Tidak dilakukan shalat Tahiyyatul Masjid padanya.

●  Anak-anak kecil diperbolehkan bermain-main padanya, dan alasan-alasan yang lainnya.

Kesimpulan : Tanah lapang untuk shalat ‘Iid bukanlah termasuk masjid, sehingga tidak sah I’tikaf padanya, menurut pendapat yang terkuat. Wallahu a’lam.

Apakah Halaman Masjid Termasuk Masjid Sehingga Diperbolehkan I’tikaf Padanya?

Dalam kitab Fikih I’tikaf, yang ditulis oleh Syaikh Dr. Khalid bin Ali Al- Musyaiqih hafizhahullah , beliau menjelaskan perselisihan ulama dalam masalah ini, berikut intisari penjelasan beliau:

Istilah dan Definisi
Halaman masjid dalam istilah Fikih dinamakan dengan : Rahbatul Masjid. Ulama rahimahullah mendefinisikannya dengan definisi beraneka ragam.

Syaikh Dr. Khalid bin Ali Al- Musyaiqih hafizhahullah berkata,

الرحبة: بفتح الراء وسكون الحاء أو بفتحهما: الأرض الواسعة، ورحبة المكان: ساحته ومتسعه وجمعه: رحاب.
ورحبة المسجد: ساحته و صحنه

Rahbah adalah tanah yang luas. Rahbah suatu tempat adalah halaman yang luas dari tempat tersebut.

Adapun rahbah masjid adalah halaman masjid. [9]

Tiga pendapat ulama rahimahumullah

Ulama rahimahumullah berselisih pendapat tentang apakah halaman masjid itu termasuk bagian dari masjid atau tidak.

Syaikh Dr. Khalid bin Ali Al- Musyaiqih hafizhahullah menyebutkan ada tiga pendapat dalam maslah ini, berikut ringkasannya:

Pendapat pertama,
Jika halaman masjid tersebut bersambung dengan masjid dan berada di dalam pagar masjid, maka halaman masjid tersebut termasuk masjid.

Namun jika halaman tersebut tidak bersambung dengan masjid dan tidak berada di dalam pagar masjid, maka halaman tersebut bukan termasuk masjid.

Inilah pendapat para ulama bermazhab Syafi’i, salah satu pendapat Imam Ahmad dan pendapat yang dipilih oleh Qadhi Abu Ya’la salah seorang ulama bermazhab Hanbali.

Dalil pendapat ini adalah firman Allah,

{ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}

(Tetapi) janganlah kalian campuri istri-istri kalian, ketika kalian sedang beri’tikaf dalam masjid. (QS. Al-Baqarah:187).

Jika halaman tersebut dikelilingi pagar masjid dan bersambung dengan bangunan masjid sehingga dikategorikan menyatu dengan masjid, maka hakekatnya halaman tersebut termasuk masjid.

Pendapat kedua,
Halaman masjid itu bukan termasuk masjid, sehingga i’tikaf di halaman tersebut tidaklah sah.

Inilah pendapat yang terkenal di antara para ulama bermazhab Maliki [10] Ini juga merupakan pendapat yang paling tepat diantara para ulama bermazhab Hanbali [11]

Mereka berdalil dengan perkataan Aisyah,

“كنّ المعتكفات إذا حضنّ أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بإخراجهن من المسجد وأن يضربن الأخبية في رحبة المسجد حتى يطهرن“

“Para wanita yang sedang beri’tikaf, jika sedang haid, diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar keluar dari masjid dan memasang bilik-bilik i’tikaf mereka di halaman masjid sampai mereka suci dari haid” [12]

Bantahan: Dibawakan kepada kemungkinan bahwa halaman masjid tersebut tidak berada di dalam pagar masjid.

Pendapat ketiga,
Beri’tikaf di halaman masjid itu sah jika bilik i’tikaf dipasang di halaman masjid.

Inilah pendapat Imam Malik.

Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Seorang yang sedang beri’tikaf hanya boleh menginap di dalam masjid yang dia pergunakan untuk i’tikaf saja, kecuali jika bilik i’tikafnya berada di halaman masjid ” [13]

Mungkin dalil Imam Malik adalah perkataan Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas.

Pendapat yang terkuat
Pendapat yang terkuat adalah pendapat pertama, berdasarkan dalil yang telah disebutkan. Wallahu a’lam.

Kesimpulan

1.  Halaman masjid yang terletak di dalam pagar masjid adalah bagian dari masjid, sehingga berlaku semua hukum-hukum masjid.

2.  Konsekwensinya, halaman masjid yang terletak di dalam pagar masjid itu sah digunakan untuk tempat i’tikaf, sehingga orang yang sedang i’tikaf, jika keluar dari ruang utama masjid, kemudian berpindah ke halaman masjid yang terletak di dalam pagar masjid tersebut, maka tidak menyebabkan i’tikafnya batal.

[http://ift.tt/2dG9IYK, Penulis: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah. Sumber: Di Sini]

Catatan Kaki :

1 Beliau adalah Abul Fadhl Muhammad bin Mukrim bin Ali Al-Anshari Al-Ifriiqi, Imam Ahli bahasa Arab (w. 711 H), Ahkamu Rahbatil Masjid, hal. 4 (soft file word).

2. Lisanul Arab, juz 7 pada huruf سجد, (http://ift.tt/2trV1Lx)

3. ‘Amr bin Utsman Al-Haritsi, Imam Ahli Nahwu (w. 180 H), Ahkamu Rahbatil Masjid, hal. 4 (soft file word).

4. Maksudnya (harakat kata tersebut) tidak sesuai dengan perubahan timbangan (wazan)nya, seharusnya “Al-Masjad” dengan harakat fathah (huruf ج nya), Ahkamu Rahbatil Masjid, hal. 4 (soft file word).

5. Lisanul Arab, juz 7 pada huruf سجد, (http://ift.tt/2trV1Lx)

6. I’laamus Sajid bi Ahkaamil Masaajid, Az-Zarkasi, hal. 27, di http://ift.tt/2tsgKmI

7. Al-Bahrur Raaiq (5/268), Haasyiah Ibni Aabidin (4/356), Al-Haawi Al-Kabiir (3/485), Majmuu’ Fataawa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah , dinukil dari: Ahkamu Rahbatil Masjid, hal. 6 (soft file word).

8. http://ift.tt/2suegXT

9. Mishbahul Munir 1/222 dan Ikmal Ikmalil Mu’allim 3/288

10. Ikmal Ikmalil Mu’allim 3/288, Syarh Az- Zarqani 2/206, Mawahibul Jalil 2/455 dan Asy-Syarhul Kabir beserta penjelasan singkatnya 1/542.

11. Al-Mughni 4/487, Al-Mubdi’ 3/68 dan Al-Inshaf 3/364.

12. Penyususun belum mendapatkan derajat Haditsnya, jika seandainya riwayat ini shahihpun, maka bisa terbantah dengan bantahan di atas. Wallahu a’lam.

13. Al Mudawwanah yang disertai al Muqaddimat 2/203, Al-Muwaththa` yang disertai Al-Muntaqa 2/79 dan Ikmal Ikmil Mu’allim 3/288

Fikih I’tikaf (3)
》BAGIAN 3《

Hukum Beberapa Tempat Yang Berada Di Lingkungan Masjid

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :

Sebagaimana sudah diketahui pada artikel sebelumnya, bahwa definisi i’tikaf adalah

لُزُومُ مَسْجِدٍ لِطَاعَةِ اللهِ تَعَالَى

Menetap di masjid untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Dari definisi i’tikaf di atas, dapat disimpulkan bahwa tempat i’tikaf adalah di masjid dan menetap di masjid adalah syarat sahnya i’tikaf, halini berdasarkan dalil yang telah disebutkan pada artikel sebelumnya.

Oleh karena itu, dari sinilah pentingnya mengetahui tentang beberapa hal yang terkait dengan masjid, seperti:

1.   Definisi masjid dan hal ini sudah dijelaskan pada artikel sebelumnya.

2.   Hukum batasan masjid dan beberapa tempat yang berada di lingkungannya, seperti : halaman masjid (telah dijelaskan pada artikel sebelumnya), ruang takmir, ruang adzan, atap masjid, tempat wudhu`, kamar mandi, perpustakaan dan yang semisalnya.

Mengetahui batasan masjid dan hukum beberapa tempat yang berada di lingkungan masjid, merupakan pembahasan yang sangat penting, agar seseorang yang sedang i’tikaf mengetahui di tempat-tempat manakah ia boleh berada, sehingga ibadah i’tikaf yang ia lakukan bisa sah diterima oleh Allah Ta’ala.

Berikut ini, penulis nukilkan beberapa fatwa ulama rahimahullah tentang hal itu.

1. Fatwa Komite Fatwa Arab Saudi (Lajnah Daimah) tentang ruang satpam dan panitia zakat

س6: هل تعتبر غرفة الحارس وغرفة لجنة الزكاة في المسجد صالحة للاعتكاف فيها؟ علمًا بأن أبواب هذه الغرف في داخل المسجد.

Pertanyaan no. 6 :
Apakah ruang satpam dan ruang panitia zakat yang terletak di area masjid sah untuk i’tikaf? Perlu diketahui bahwa pintu ruang-ruang tersebut berada di dalam masjid.

ج6: الغرف التي داخل المسجد وأبوابها مشرعة على المسجد لها حكم المسجد، أما إن كانت خارج المسجد فليست من المسجد، وإن كانت أبوابها داخل المسجد.

اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

Jawab :
Ruang-ruang yang terletak di dalam areal masjid sedangkan pintunya masuk di masjid, maka hukumnya sebagaimana masjid, adapun jika ruangan tersebut terletak di luar areal masjid, maka bukanlah bagian masjid, walaupun pintunya terletak di masjid.

[Sumber: http://ift.tt/2su9LfK]


2. Fatwa Islamweb.net tentang ruang imam

ما قولكم في غرفة الإمام في المسجد هل يجوز البيع والشراء فيها؟

Pertanyaan :
Bagaimana pendapat Anda tentang kamar imam yang terletak di dalam masjid, apakah boleh melakukan jual beli di dalam kamar tersebut?

الإجابــة

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد: فإن غرفة الإمام إذا كانت مستقلة فحكمها حكم البيت وليس حكم المسجد، فقد كانت غرف أمهات المؤمنين وبيوت الصحابة مجاورة ومتلاصفة مع المسجد.. وكانوا يمارسون فيها الأعمال العادية المباحة وتكون عليهم الجنابة والحيض. وعلى هذا، فغرفة الإمام ليس حكمها حكم المسجد، فيجوز فيها البيع والشراء وممارسة الأعمال المباحة، وإن كان ينبغي أن تجتنب فيها بعض الأعمال التي لا تليق بحرمة المسجد، وألاّ تتخذ مكانا دائما للبيع وعقد الصفقات. والله أعلم.

Jawab :
Alhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Alihi wa sahbihi, amma ba’du,

Sesungguhnya kamar imam jika terpisah, maka hukum yang berlaku adalah hukum rumah dan bukan hukum masjid. Dahulu kamar-kamar para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan rumah-rumah para sahabat bertetangga dan menempel dengan masjid Nabawi.

Mereka dahulu terbiasa melakukan aktifitas sehari-hari yang mubah dan (suatu hal yang lumrah) diantara mereka ada yang mengalami junub ataupun haidh.

Karena inilah, maka kamar imam, hukumnya bukanlah sebagaimana masjid, sehingga boleh dilakukan aktifitas jual beli dan aktifitas keseharian yang mubah di dalamnya.

Walaupun selayaknya di kamar tersebut, dijauhi sebagian aktifitas yang tidak selaras dengan kehormatan masjid dan janganlah dijadikan sebagai tempat tetap untuk melakukan jual beli dan mengadakan akad jual beli. Wallahu a’lam.

[Sumber: http://ift.tt/2ts3Vsz]


3. Fatwa Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah tentang perpustakaan masjid

ما حكم تحية المسجد بالنسبة للداخل إلى مكتبة المسجد في الحالات التالية :
1. إذا كان باب المكتبة داخل المسجد .
2. إذا كان باب المكتبة خارج المسجد .
3. إذا كان للمكتبة بابان أحدهما داخله والآخر خارجه ؟ والله يحفظكم ويرعاكم ويمدكم بعونه وتوفيقه .

”Apa hukum shalat Tahiyatul Masjid bagi orang yang masuk kedalam perpustakaan masjid pada keadaan-keadaan berikut:

a. Jika pintu perpustakaan ada di dalam masjid?

b. Jika pintu perpustakaan ada di luar masjid?

c. Jika pintu perpustakaan memiliki dua pintu, salah satunya ada di dalam masjid dan yang lainnya di luarnya? Semoga Allah menjaga dan memelihara Anda serta memberi pertolongan dan taufik-Nya kepada Anda.

فأجاب فضيلته بقوله : بسم الله الرحمن الرحيم .
في الحال الأولى وهي : ما إذا كان باب المكتبة داخل المسجد , تكون المكتبة من المسجد فلها حكمه ، فتشرع تحية المسجد لمن دخلها ، ولا يحل للجنب المكث فيها إلا بوضوء ، ويصح الاعتكاف فيها ، ويحرم فيها البيع والشراء ، وهكذا بقية أحكام المسجد المعروفة .

Maka beliau menjawab:

Bismillahir Rahmanir Rahiim,

Pada keadaan yang pertama yaitu ketika pintu perpustakaan ada di dalam masjid, maka perpusatakaan tersebut termasuk masjid dan berlaku di dalamnya hukum masjid. Maka disyari’atkan bagi yang masuk ke dalamnya untuk shalat Tahiyatul Masjid, tidak boleh bagi orang yang junub untuk tinggal di dalamnya kecuali kalau ia berwudhu, sah melakukan i’tikaf dan haram berjual beli di situ, begitu itu pula untuk hukum-hukum masjid yang sudah dikenal yang lainnya.

وفي الحال الثانية وهي : ما إذا كان بابها خارج المسجد ، وليس لها باب على المسجد ، لا تكون من المسجد فلا يثبت لها أحكام المساجد ، فليس لها تحية مسجد ، ولا يصح الاعتكاف فيها ، ولا يحرم فيها البيع والشراء ، لأنها ليست من المسجد لانفصالها عنه .

Pada kondisi yang kedua, yaitu ketika pintu perpustakaan di luar masjid, dan ia tidak memiliki pintu ke arah masjid, maka ia bukan bagian dari masjid dan tidak berlaku hukum-hukum masjid. Tidak disyari’atkan shalat Tahiyatul Masjid, tidak sah i’tikaf di di dalamnya, dan tidak diharamkan jual beli, sebab ia bukan bagian dari masjid karena sudah terpisah darinya.

وفي الحال الثالثة وهي : ما إذا كان لها بابان ، أحدهما داخل المسجد , والثاني خارجه ، إن كان سور المسجد محيطاً بها فهي من المسجد , فتثبت لها أحكام المسجد ، وإن كان غير محيط بها بل لها سور مستقل فليس لها حكم المسجد فلا تثبت لها أحكامه , لأنها منفصلة عن المسجد ، ولهذا لم تكن بيوت النبي صلى الله عليه وسلم من مسجده ، مع أن لها أبواباً على المسجد , لأنها منفصلة عنه .

Dan pada kondisi yang ketiga, yaitu jika perpustakaan itu memiliki dua pintu, salah satunya di dalam masjid dan yang lainnya di luar masjid.

Jika pagar masjid mengelilinginya, maka ia termasuk masjid dan berlaku padanya hukum-hukum masjid.

Namun, jika pagar masjid tidak mengelilinginya, bahkan ia memiliki pagar terpisah, tidaklah dihukumi sebagai masjid dan tidak berlaku padanya hukum-hukum masjid, karena ia terpisah dari masjid. Oleh sebab itu, rumah-rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak termasuk bagian dari Masjid Nabawi, padahal ia memiliki pintu-pintu ke arah masjid, karena ia terpisah dari masjid.

[Sumber: Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatisy Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin, hal. 351-3512 (PDF)]


4. Fatwa Jumhur Ulama rahimahumullah tentang atap masjid

يصح الاعتكاف في سطح المسجد أو صعود المعتكف إليه، وهو قول جمهور العلماء من الحنفية ، والشافعية ، والحنابلة ، وحكى ابن قدامة الإجماع على ذلك ؛ وذلك لأنَّ السَّطح من جملة المسجد؛ فيأخذ أحكامه

I’tikaf sah dilakukan di atap masjid dan orang yang sedang i’tikaf sah pula naik ke atap masjid. Ini adalah pendapat jumhur Ulama, yaitu : dari kalangan ulama bermadzhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. Bahkan Ibnu Qudamah menukilkan terjadinya konsensus ulama (Ijma’) tentang hal ini, hal itu dikarenakan atap masjid termasuk bagian dari masjid, sehingga berlaku hukum-hukum masjid padanya.

http://ift.tt/2ts8T8R ]


5. Fatwa Ulama senior Madinah Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah tentang kamar mandi di halaman masjid

السؤال: ذكرتم حفظكم الله أن ساحة المسجد تعد من المسجد، ولكن الإشكال في وجود دورات المياه في هذه الساحة، والمسجد ينبغي أن ينزه عن ذلك؟

Pertanyaan :
Semoga Allah menjaga Anda. Anda telah menyebutkan bahwa halaman masjid merupakan bagian dari masjid, namun yang menjadi permasalahan, adanya beberapa kamar mandi/toilet di halaman masjid ini1, padahal selayaknya masjid dikosongkan darinya.

الجواب: دورات المياه خارجة عن المسجد، وما عداه يكون مسجداً، ودورات المياه ليست من المسجد، ولو كانت تحيط بها الساحات، وكما هو معلوم لها مكان معين في البدروم، والناس ينزلون إليها، ومن نزل إليها خرج من المسجد

Jawab :
Kamar mandi/toilet (di halaman tersebut) bukanlah termasuk masjid, namun tempat lainnya (dari halaman tersebut), termasuk bagian dari masjid.

Jadi, kamar mandi/toilet (di halaman tersebut) bukanlah termasuk masjid,walaupun diliputi oleh area halaman masjid. Sebagaimana sudah diketahui (bersama), kamar mandi/toilet (di halaman tersebut) berada di suatu tempat tertentu, (yaitu:) di ruang bawah tanah, orang-orangpun singgah padanya, sedangkan orang yang masuk ke tempat tersebut, berarti telah keluar dari masjid2.

[http://ift.tt/2susB6n].


6. Fatwa Komite Fatwa Arab Saudi (Lajnah Daimah) tentang kamar mandi/toilet di sekitar masjid

فتوى رقم 6857

دورات المياه حول المسجد

س: لاحظت عدة مساجد يوضع ملاصقا لها أو تحت مناراتها أماكن للوضوء وحمامات، وحيث إن من الأولى تكريم المأذنة وعدم وضعها سقفًا لذلك فإنني أرجو بحث هذه الظاهرة والإفادة لنا بالحكم، لإمكانية التنبيه، حفظكم الله.

Fatwa no. 6857

Kamar mandi/toilet di sekitar masjid

Pertanyaan :
Saya memperhatikan beberapa masjid, dibangun tempat wudhu` dan kamar mandi menempel (dinding) masjid atau dibawah menara masjid, padahal sikap yang lebih utama adalah memuliakan tempat adzan (menara) dan tidak membangunnya di atas tempat-tempat tersebut. Oleh karena itu, saya mengharap adanya pembahasan tentang fenomena ini dan penyebutan hukumnya kepada kami, karena fenomena ini masihmemungkinkan untuk diperingatkan. Semoga Allah menjaga Anda.

ج: إذا كان الواقع كما ذكرت من أن أماكن الوضوء والحمامات.. إلخ وضعت تحت المنارات وملاصقة لجدار المساجد فلا حرج في ذلك إذا لم يحصل على المساجد وأهلها أذى منها؛ لعدم وجود دليل شرعي يمنع من ذلك.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

Jawab :
Jika kenyataannya seperti yang Anda sebutkan, bahwa tempat wudhu` dan kamar mandi …dan seterusnya, dibangun dibawah menara dan menempel dinding masjid, maka hal ini tidaklah mengapa, jika tidak mencemari masjid dan tidak mengganggu jama’ah masjid, karena tidak ada dalil Syar’i yang melarangnya.

Wabillahit Taufik. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.

[Sumber: http://ift.tt/2stTPdp]

Kesimpulan
Kesimpulan dari beberapa fatwa ulama yang telah disebutkan tentang beberapa tempat yang berada di lingkungan masjid adalah seluruh tempat yang berada di dalam pagar masjid, maka termasuk bagian dari masjid, sehingga berlaku hukum-hukum untuk masjid di dalamnya, termasuk sah sebagai tempat i’tikaf, sehingga jika seseorang yang sedang i’tikaf keluar dari ruang utama masjid, kemudian berpindah ke tempat-tempat tersebut, tidaklah menyebabkan i’tikafnya batal.

Kesimpulan yang menunjukkan bahwa seluruh tempat yang berada di dalam pagar masjid adalah bagian dari masjid, nampak dalam fatwa berikut ini.


7. Fatwa Komite Fatwa Arab Saudi (Lajnah Daimah) tentang seluruh tempat di dalam pagar masjid

ما كان داخل سور المسجد فهو من المسجد، وله حكم المسجد، فرحبة المسجد من المسجد، ومكتبة المسجد من المسجد إذا كان كل منهما داخل سور المسجد

“Semua yang berada di dalam pagar masjid, maka termasuk bagian dari masjid, hukumnya sama dengan masjid, dengan demikian, halaman masjid juga termasuk masjid, perpustakaan masjidpun bagian dari masjid, jika semua tempat tersebut berada di dalam pagar masjid”.

[Sumber: http://ift.tt/2tsfSyp]

Jika kita perhatikan, sesungguhnya fatwa-fatwa di atas hakekatnya menerapkan kaidah fikih,

الحَرِيمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيمٌ لَهُ

‘Pada lingkungan suatu tempat berlaku ketentuan yang juga berlaku untuk tempat tersebut.’ (Al-Asybah wan Nazhair, karya As-Suyuthi, hlm. 125).

Dan kaedah tersebut diambil dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ

‘Ingatlah bahwa setiap raja itu memiliki daerah larangan dan ketahuilah bahwa daerah larangan Allah adalah hal-hal yang Allah haramkan.’ (HR. Bukhari dan Muslim)

[Disimpulkan dari http://ift.tt/2subvWp]

[http://ift.tt/2dG9IYK, Penulis: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah. Sumber: Di Sini]

Catatan Kaki
1. Nampaknya, masjid yang dimaksud oleh Penanya disini adalah Masjid Nabawi. Wallahu a’lam.

2. Nampaknya, masjid yang dimaksud oleh Syaikh disini adalah Masjid Nabawi. Wallahu a’lam.

Fikih I’tikaf (4)
》BAGIAN 4《

Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ mendefinisikan I’tikaf,

هُوَ لُزُومُ مَسْجِدٍ لِطَاعَةِ اللهِ تَعَالَى

Yaitu menetap di masjid untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Penjelasan :

Maksud perkataan penulis rahimahullah : لِطَاعَةِ اللهِ تَعَالَى (untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala) yaitu :

bahwa tujuan i’tikaf adalah konsentrasi penuh untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala, dikrullah, tilawah Alquran dan ibadah lain yang semisalnya serta memutuskan diri dari kesibukan duniawi. Inilah maksud i’tikaf yang disyari’atkan. Jadi, bukanlah tujuan i’tikaf itu untuk memisahkan diri dari manusia atau menetap di masjid agar bisa bertemu dengan teman sehingga bisa saling mengunjungi dan ngobrol kesana-kemari, bahkan Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang sedang beri’tikaf lalu dikunjungi oleh teman-temannya dan asyik ngobrol kesana-kemari, yang tidak ada faedahnya, maka hakekatnya ia tidak memenuhi ruh i’tikaf, karena ruh i’tikaf itu adalah menetap di masjid untuk melakukan ketaatan (baca: beribadah) kepada Allah Ta’ala.

Memang benar, seseorang yang sedang beri’tikaf dibolehkan berbicara dengan sebagian keluarganya untuk suatu keperluan, namun hal itu tidaklah pantas dilakukan secara berlebihan.

Berkata Syaikh Sholeh Al-Fauzan hafizhahullah,

و الاعتكاف لابد أن يتوفر فيه نية لطاعة الله ، بأن يكون المقصود منه طاعة الله سبحانه و تعالى. أما الاعتكاف الذي يقصد منه الرياء و السمعة أو يقصد منه الابتعاد عن الناس أو الانعزال عن الناس، وهو لم يقصد بذلك الطاعة و الأجر و الثواب، فهذا لا يسمى اعتكافا

“Ibadah i’tikaf haruslah terpenuhi niat untuk melakukan ketaatan kepada Allah, yaitu: tujuannya adalah beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun i’tikaf yang tujuannya pelakunya ingin dipuji dengan memperlihatkan atau memperdengarkan ibadah yang dilakukan kepada manusia ataupun tujuannya untuk menjauhi manusia (menyendiri), sedangkan ia tidak bertujuan melakukan ibadah dan mendapatkan pahala dalam aktifitas i’tikafnya, maka ini hakekatnya bukanlah ibadah i’tikaf!”

Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah ketika ditanya, “Apakah ketika seseorang yang sedang i’tikaf menyibukkan diri dengan aktifitas menuntut ilmu Syar’i (pengajian) itu berarti menghilangkan ruh i’tikaf?”

Beliau menjawab:

لا شك أن طلب العلم من طاعة الله، لكن الاعتكاف يكون للطاعات الخاصة، كالصلاة، والذكر، وقراءة القرآن، وما أشبه ذلك، ولا بأس أن يَحضر المعتكف درساً أو درسين في يوم أو ليلة؛ لأن هذا لا يؤثر على الاعتكاف، لكن مجالس العلم إن دامت، وصار يطالع دروسه، ويحضر الجلسات الكثيرة التي تشغله عن العبادة الخاصة، فهذا لا شك أن في اعتكافه نقصاً، ولا أقول إن هذا ينافي الاعتكاف.

“Tidak diragukan lagi bahwa menuntut ilmu Syar’i merupakan bentuk ketaatan kepada Allah, namun i’tikaf itu untuk ketaatan-ketaatan khusus, seperti shalat, dzikir, membaca Alquran dan ibadah lain yang semisalnya.

Namun, tidak mengapa seorang yang sedang i’tikaf (mu’takif) menghadiri pengajian dengan satu atau dua pelajaran dalam sehari atau semalam, karena hal ini tidak mengurangi kesempurnaan i’tikaf.

Akan tetapi jika majelis-majelis taklim (pengajian) tersebut terus-menerus (dihadiri), sehingga mu’takif itu sibuk membaca pelajaran-pelajarannya dan banyak pula menghadiri majelis-majelis taklim sehingga menyibukkannya dari melakukan ketaatan-ketaatan khusus (yang sudah disebutkan di atas), maka ini tidak diragukan lagi bahwa i’tikafnya menjadi berkurang kesempurnaannya, namun saya tidak mengatakan hal ini menghilangkan ruh i’tikaf (secara totalitas)”.

[http://ift.tt/2dG9IYK, Penulis: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah. Sumber: Di Sini]

Fikih I’tikaf (5)
》BAGIAN 5《

Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ mengatakan bahwa hukum i’tikaf adalah sunnah (مَسْنُونٌ).

Penjelasan

1. Fungsi dari matan (ucapan penulis) di atas


Jika pada matan sebelumnya:

هُوَ لُزُومُ مَسْجِدٍ لِطَاعَةِ اللهِ تَعَالَى

“Yaitu menetap di masjid untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala,” menunjukkan kepada definisi i’tikaf.

Adapun pada matan ini:

مَسْنُونٌ

“Hukumnya (i’tikaf) adalah sunnah,” menunjukkan kepada hukum i’tikaf.

2. Faedah penggabungan dua kalimat matan tersebut

Digabungkannya kedua kalimat tersebut dan didahulukannya penyebutan kalimat definisi mengandung mutiara faedah, yaitu agar nampak kesesuaian hukum yang disebutkan dengan hakikat i’tikaf yang telah didefinisikan. Para ulama rahimahumullah telah menyebutkan sebuah kaidah syari’at yang agung bahwa

الحكم على الشيء فرع عن تصوره

“Vonis hukum tentang sesuatu adalah bagian (hasil) dari pemahaman tentang hakikatnya”

Jadi, sebuah vonis hukum tentang suatu masalah barulah benar jika dibangun di atas definisi yang benar dan menggambarkan makna yang sebenarnya. Sebaliknya, jika salah dalam pendefinisian, maka akan salah pula dalam menentukan hukum.

3. Dasar disunnahkannya i’tikaf

Kata sunnah secara istilah adalah,

ما أثيب فاعله امتثالاً ولم يعاقب تاركه

“Sesuatu yang pelakunya mendapatkan pahala, sedangkan orang yang meninggalkannya tidak terancam disiksa.”

Tidaklah suatu amal disebut sebagai amal yang sunnah kecuali ada dasarnya (baca: dalil) dalam syari’at Islam ini. Oleh karena itu, ketika penulis rahimahullah menyebutkan bahwa hukum i’tikaf adalah sunnah, hakikatnya ini merupakan isyarat kepada dasar hukum i’tikaf dalam syari’at Islam.

Dasar disunnahkannya i’tikaf adalah Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’.

Dalil disyari’atkannya I’tikaf

I’tikaf disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Al-Ijma’

Dalil dari Alquran 

adalah firman Allah Ta’ala

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (Al-Baqarah: 187).

Dalil dari As-Sunnah

Dalil dari As-Sunnah meliputi Sunnah Qouliyyah, Fi’liyyah dan Taqririyyah (persetujuan).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada para sahabat,

إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْيَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ». فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

“Sesungguhnya saya beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dalam rangka mencari malam Lailatul Qadr. Kemudian saya beri’tikaf di sepuluh hari pada pertengahan Ramadhan, dan saya didatangi oleh (Jibril ‘alaihis salam) dan diberitahu bahwa malam tersebut terletak pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Oleh karena itu, barangsiapa diantara kalian yang ingin beri’tikaf, silahkan beri’tikaf. Maka para sahabat pun beri’tikaf bersama beliau.” [1]

Dalam satu riwayat lain,

مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِى فَلْيَعْتَكِفِ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ

“Barangsiapa yang (ingin) beri’tikaf, hendaknya beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” [2]

Dalil dari kesepakatan ulama

Ulama rahimahumullah telah bersepakat tentang disyari’atkannya I’tikaf sebagaimana dinukilkan oleh An-Nawawi, Ibnu Qudamah, Syaikhul Islam dan lainnya. Silahkan lihat Al-Majmu, 6/404. Al-Mughni, 4/456 dan Syarh Al-Umdah, 2/711. [3]

[http://ift.tt/2dG9IYK, Penulis: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah. Sumber: Di Sini]

Catatan Kaki :
[1]. HR. Muslim
[2]. HR. Al-Bukhari
[3]. http://ift.tt/2suzlRG

Fikih I’tikaf (6)
》BAGIAN 6《

Perkataan penulis rahimahullah مَسْنُونٌ “hukum i’tikaf adalah sunnah” memiliki faedah berikut.

4. Tidak disebutkan keterangan waktu dan tempat (masjid)

Penulis di matan ini tidak memberi keterangan waktu mupun masjid tertentu. Beliau rahimahullah tidak mengatakan bahwa i’tikaf disunnahkan pada bulan Ramadhan dan tidak pula mengatakan bahwa i’tikaf disunnahkan di tiga masjid yang mulia, masjidil Haram di Mekkah, masjid Nabawi, dan masjid Aqsha.

Dengan demikian, lahiriyah dari perkataan penulis مسنون “hukumnya adalah sunnah” maksudnya adalah disunnahkan i’tikaf di setiap waktu dan sah dilakukan di masjid manapun. Jadi, menurut secara tersurat, perkataan penulis مسنون “hukumnya adalah sunnah” dapat disimpulkan:

1. Tempat i’tikaf adalah setiap masjid.

Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala :

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(Tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, ketika kalian sedang beri’tikaf dalam masjid” (Al-Baqarah: 187).

Penjelasan :

Huruf alif lam di sini adalah alif lam lil’umum, yaitu alif lam yang menunjukkan makna umum karena seandainya i’tikaf tidaklah sah kecuali jika dilakukan pada masjid-masjid tertentu saja, maka tentulah huruf alif lam di sini adalah alif lam lil’ahdi, yaitu alif lam yang menunjukkan suatu masjid tertentu yang sudah dipahami sebelumnya dalam pikiran pembaca Ayat di atas.

Akan tetapi, hal ini tidaklah didukung dengan dalil. Oleh karena itu, hal ini harus dikembalikan kepada hukum asal alif lam dalam konteks, yaitu alif lam lil’umum,makna umum untuk seluruh masjid, sehingga menunjukkan bahwa i’tikaf itu sah dilakukan di masjid manapun juga.

Adapun riwayat berikut ini,

قَالَ حُذَيْفَةُ لِعَبْدِ اللَّهِ يَعْنِى ابْنَ مَسْعُودٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ : عَكُوفًا بَيْنَ دَارِكَ وَدَارِ أَبِى مُوسَى وَقَدْ عَلِمْتَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لاَ اعْتِكَافَ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَوْ قَالَ فِى الْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ . فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ : لَعَلَّكَ نَسِيتَ وَحَفِظُوا وَأَخْطَأْتَ وَأَصَابُوا

“Hudzaifah mengatakan kepada Abdullah, maksudnya Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, ‘(Suatu kaum) beri’tikaf (di masjid) yang terletak di antara rumah Anda dan rumah Abu Musa. Padahal Anda telah mengetahui bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak sah i’tikaf (kecuali) di Masjidil Haram atau mengatakan, di tiga masjid. Abdullah mengatakan, mungkin Anda lupa dan mereka masih hafal. Anda salah, dan mereka yang benar.”

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan riwayat ini sebagai berikut, “Semua masjid yang ada di dunia merupakan tempat yang sah untuk beri’tikaf. Tidak khusus di tiga masjid saja sebagaimana diriwayatkan dari Huzaifah bin Al-Yaman radhiyallaahu ‘anhu, bahwa sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah sah beri’tikaf kecuali di tiga masjid,” (tidaklah demikian) karena sesungguhnya hadits ini lemah.

Yang menunjukkan kelemahannya adalah bahwa Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu melemahkannya, (yaitu) saat Huzaifah radhiyallaahu ‘anhu menyebutkan kepadanya tentang suatu kaum yang beri’tikaf di sebuah masjid yang terletak diantara rumah Hudzaifah dan rumah Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu. Lalu berkunjunglah Hudzaifah kepada Ibnu Mas’ud dan berkata, “Ada suatu kaum yang beri’tikaf di masjid sana, padahal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda ‘Tidaklah sah i’tikaf kecuali di tiga masjid saja.’”

Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu pun berkata, “Mungkin mereka benar dan Anda salah. Mereka ingat dan anda lupa.” Jadi, Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu melemahkan hadits ini, secara hukum maupun riwayat.

Adapun dari sisi hukum, maka perkataan beliau “Mereka benar dan Anda salah”, sedangkan dari sisi periwayatan, maka terdapat dalam perkataan beliau “Mereka ingat dan Anda lupa”, seorang manusia mungkin saja mengalami lupa.

Kalaupun hadits ini shahih, maka maknanya adalah tidak ada i’tikaf yang sempurna, maksudnya i’tikaf di ketiga masjid tersebut lebih sempurna dan lebih utama daripada i’tikaf di masjid-masjid lainnya. Sebagaimana shalat di ketiga masjid tersebut juga lebih utama daripada shalat di masjid-masjid lainnya.”

Adapun dari akal, Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa bagaimana mungkin hukum i’tikaf yang disunnahkan bagi seluruh umat, namun hanya sah dilakukan di ketiga masjid saja?

Kesimpulan:

Pendapat yang benar adalah i’tikaf sah dilakukan di setiap masjid. Akan tetapi, i’tikaf yang dilakukan di ketiga masjid tersebut lebih utama, sebagaimana shalat yang dilakukan di ketiga masjid tersebut juga lebih utama.

2. Masa i’tikaf adalah setiap waktu.

Kesimpulan kedua ini adalah pendapat penulis rahimahullah dan ulama lainnya. Berdasarkan pendapat ini, jika kita mau i’tikaf walaupun di luar bulan Ramadhan, selama tidak meninggalkan sesuatu yang lebih penting, maka hal ini disunnahkan.

Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa pendapat ini perlu dikritisi, karena:

-   Hukum Syari’at itu (diantaranya) diambil dari perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah i’tikaf di luar bulan Ramadhan kecuali saat mengqadha’ i’tikaf.

-   Demikian pula, Syaikh Al-Utsaimin tidak pernah mengetahui ada seorangpun diantara para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang melakukan i’tikaf di luar bulan Ramadhan kecuali saat mengqadha’ i’tikaf.

-   Syaikh Al-Utsaimin tidak pernah mengetahui ada satu hadits pun dengan lafadz yang umum atau mutlaq (tidak ada keterangan pengikat) dalam pensyari’atan i’tikaf di setiap waktu.

-   Kalau seandainya i’tikaf di setiap waktu disyari’atkan, tentulah dalil tentang hal ini tersebar luas, karena Allah Ta’ala sudah memerintahkan Nabi-Nya dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu” (Al-Maidah: 67).

Terlebih lagi faktor pendorong untuk melakukan ibadah i’tikaf sangatlah kuat dan adanya kebutuhan untuk dinukilnya dalil tersebut.

Bagaimana Dengan Nadzar i’tikaf Umar radhiyallahu ‘anhu?

Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كنت نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام؟ قال: “فأؤف بنذرك

“Aku pernah bernazar di zaman jahiliyah (sebelum masuk Islam) utnuk melakukan i’tikaf semalam di masjidil Haram? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan penuhi nazarmu” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pemahaman terhadap hadits ini

1. Hukum yang ditunjukkannya

Hadits ini memang menunjukkan bolehnya i’tikaf di luar ramadhan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada Umar radhiyallahu ‘anhu untuk memenuhi nazarnya, kalau seandainya hal ini hukumnya makruh atau haram tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melarang Umar radhiyallahu ‘anhu memenuhi nazar tersebut.

Namun, i’tikaf diluar Ramadhan tersebut tidaklah disyari’atkan secara umum bagi umat ini, sehingga tidak kita katakan kepada orang-orang,“I’tikaflah Anda di masjid, baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, karena hal itu hukumnya sunnah!” Jadi kita tidak mendorong setiap orang untuk i’tikaf kapanpun ia suka. Hanya saja, jika ada yang beri’tikaf di luar ramadhan, maka tidaklah kita ingkari dan hukumnya mubah (boleh). Jadi, tidak kita katakan perbuatan orang itu sebagai hal yang baru dalam agama. Akan tetapi kita katakan bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Hadits lain yang semakna dengan hadits ini

Ada hadits lain semakna dengan hadits di atas yang menunjukkan bahwa ada suatu perkara yang mubah hukumnya, namun tidak disyari’atkan secara umum dan tidak pula dituntut bagi setiap orang untuk melakukannya. Hadits tersebut adalah:

1) Hadits tentang membiasakan mengakhiri bacaan Al-Qur’an dengan surat Al-Ikhlas di dalam shalat

Dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seorang lelaki dalam suatu pasukan perang. Laki-laki tersebut menjadi imam shalat bagi para sahabatnya dan selalu mengakhiri bacaan suratnya dengan surat Al-Ikhlas. Ketika mereka pulang, disampaikanlah oleh mereka berita tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda,

سَلُوهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ

“Tanyakanlah kepadanya mengapa ia melakukan hal itu?” Lalu mereka pun menanyakan kepadanya. Ia menjawab,’Karena di dalamnya terdapat sifat Ar-Rahman, dan akupun senang membacanya’ (Mendengar hal itu) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

أَخْبِرُوهُ أَنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ

“Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah Ta’ala mencintainya.” [1]

Ibnu Daqiq Al ’Ied menjelaskan,

هذا يدل على أنه كان يقرأ بغيرها ثم يقرأها في كل ركعة وهذا هو الظاهر، ويحتمل أن يكون المراد أنه يختم بها آخر قراءته فيختص بالركعة الأخيرة.

”Orang tersebut biasa membaca surat selain Al-Ikhlash, lalu setelah itu dia menutupnya dengan membaca surat Al-Ikhlash pada setiap raka’at. Kemungkinan pertama inilah makna yang nampak dari hadits di atas. Kemungkinan kedua, orang tadi menutup akhir bacaan Al-Qur’an dengan surat Al-Ikhlash (dalam shalat), sehingga surat Al-Ikhlas khusus dibaca di raka’at terakhir.”[2]

Berdasarkan hadits ini, jika ada yang melakukan perbuatan tersebut, maka boleh hukumnya, namun tidaklah disyari’atkan secara umum bagi umat ini untuk selalu menutup bacaan shalatnya dengan surat Al-Ikhlas.

2) Hadits tentang sedekah Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu

أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا

“Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di tempatnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di tempat beliau. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu atas namanya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi kepadamu bahwa kebunku yang berbuah ini aku sedekahkan atas namanya’.”[3]

Memang benar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui bahwa bersedekah atas nama ibu yang sudah meninggal itu bermanfaat bagi sang ibu, namun perbuatan ini tidaklah disyari’atkan secara umum bagi umat ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah bersabda kepada umat ini, “Wahai umatku, bersedekahlah atas nama ibu-ibu kalian setelah meninggalnya mereka!”

Demikianlah intisari dari pemahaman terhadap hadits tentang nazar i’tikaf Umar radhiyallahu ‘anhu yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah[4].

[http://ift.tt/2dG9IYK, Penulis: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah. Sumber: Di Sini]

Footnote :
[1] HR. Al-Bukhari 6940, dengan Al-Fath lihat : http://ift.tt/2ts9lUk

[2] Fathul Bari, lihat : http://ift.tt/2ts9lUk

[3] HR. Bukhari

[4] Diolah dari Asy-Syarhul Mumti‘ 6/505-506 (PDF).

Fikih I’tikaf (7)
》BAGIAN 7《

Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ mengatakan,

وَيَصِحُّ بِلاَ صَوْمٍ

“I’tikaf sah dilakukan tanpa berpuasa”

Penjelasan :

Matan ini menunjukkan bahwa i’tikaf itu sah dilakukan tanpa harus berpuasa. Inilah pendapat penulis rahimahullah dan ulama selainnya, namun sesungguhnya dalam masalah ini telah terjadi perselisihan pendapat di antara para ulama rahimahumullah.

Perbedaan pendapat ulama

Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan matan Zadul Mustaqni’ ini mengatakan,

وهذه المسألة فيها خلاف بين العلماء: القول الأول: أنه لا يصح الاعتكاف إلا بصوم. واستدلوا بأن النبي صلّى الله عليه وسلّم لم يعتكف إلا بصوم إلا ما كان قضاءً. القول الثاني: أنه لا يشترط له الصوم

“Tentang masalah ini, terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama. Pendapat yang pertama tidak sah i’tikaf kecuali dengan berpuasa. Mereka berdalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berpuasa saat beri’tikaf, kecuali ketika mengqadha` i’tikaf. Pendapat kedua bahwa tidak disyaratkan berpuasa untuk melakukan i’tikaf.” [1]

Pendapat yang kedua ini adalah pendapat ulama syafi’iyyah, pendapat yang masyhur di kalangan Hanabilah dan pendapat sekelompok ulama Salaf. Demikian pula Ibnu Hazm, Ibnu Daqiqil ‘Iid, Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin juga memilih pendapat ini. Inilah pendapat yang benar [2].

Dalil tentang kesahan i’tikaf tanpa puasa

1. Dari Nash

Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu pernah meminta fatwa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كنت نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، قَالَ: «فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ

“Aku pernah bernazar di zaman jahiliyah (sebelum masuk Islam) utnuk melakukan i’tikaf semalam di masjidil Haram? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab penuhi nadzarmu” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sisi pendalilan :
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Umar radhiyallahu ‘anhu untuk memenuhi nazarnya beri’tikaf di malam hari, sedangkan malam bukanlah waktu untuk berpuasa. Dengan demikian, puasa bukanlah syarat kesahan i’tikaf.

Dari logika
Adapun secara logika, maka Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

وبأنهما عبادتان منفصلتان، فلا يشترط للواحدة وجود الأخرى.

“I’tikaf dan puasa adalah dua ibadah yang berdiri sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lainnya, maka tidaklah dipersyaratkan bagi kesahan ibadah yang satu, adanya ibadah yang lainnya.”

Kesimpulan
I’tikaf yang dilakukan tanpa puasa sah adanya, sehingga puasa bukanlah syarat kesahan i’tikaf, karena memang tidak ada dalil yang mewajibkan orang yang melakukan i’tikaf harus dalam keadaan berpuasa. Dengan demikian, seseorang yang sakit, sehingga tidak bisa berpuasa pada bulan Ramadhan, namun ingin dan kuat beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan, maka sah i’tikafnya, walaupun tanpa berpuasa.

[http://ift.tt/2dG9IYK, Penulis: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah. Sumber: Di Sini]

Catatan Kaki :
[1] Asy-Syarhul Mumti’, hal. 506-507 (PDF).
[2] Mausu’ah Fiqhiyyah Durar As Saniyah, http://ift.tt/2subj9C
[3] Asy-Syarhul Mumti’, hal. 507 (PDF).

Fikih I’tikaf (8)
》BAGIAN 8《

Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ mengatakan,

وَيَلْزَمَانِ بِالنَّذْرِ

“Keduanya itu menjadi wajib karena nazar”

Penjelasan :

Perkataan penulis “Keduanya itu menjadi wajib karena nadzar” maksudnya adalahi’tikaf dan puasa menjadi wajib jika seseorang bernazar, sedangkan nazar adalah mengharuskan seorang mukallaf untuk melakukan sesuatu yang tidak wajib karena Allah.

Konsekuensi dari keterangan dalam matan

Pernyataan penulis di atas, berkonsekuensi hal-hal sebagai berikut:

1.    Barangsiapa yang bernazar untuk melakukan puasa sehari, maka wajib baginya berpuasa sehari. 
2.    Barangsiapa yang bernazar untuk i’tikaf sehari, maka wajib baginya beri’tikaf sehari. 
3.    Barangsiapa yang bernazar untuk berpuasa dalam keadaan sedang beri’tikaf, maka wajib baginya melakukannya dengan cara beri’tikaf mulai sebelum terbit fajar sampai terbenam matahari karena itulah waktu berpuasa, sedangkan isi nazarnya mengharuskan i’tikafnya mencakup waktu puasa. 
4.    Barangsiapa yang bernazar untuk beri’tikaf dalam keadaan berpuasa, maka wajib ia melakukan nazarnya. Nazar yang keempat ini bagi ulama yang berpendapat bahwa i’tikaf itu sah walaupun sesaat saja, maka nazar ini sudah dianggap tertunaikan jika i’tikaf dilakukan di siang hari saat berpuasa walaupun hanya sesaat saja. Namun, pendapat yang terkuat adalah waktu minimal i’tikaf adalah sehari atau semalam.

Dalil I’tikaf dan Puasa itu Menjadi Wajib Karena Nazar

Jika ada orang yang bertanya, “Apa dalil dari perkataan penulis dalam matan di atas?”

Maka jawablah,

Dalil bahwa i’tikaf dan puasa itu menjadi wajib karena nazar adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

من نذر أن يطيع الله فليطعه

Barangsiapa yang bernazar untuk mentaati Allah, maka wajib mentaati Allah (HR. Al-Bukhari:8/177).

Sisi pendalilan :

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang bernadzar untuk melakukan ketaatan, agar memenuhi nadzarnya, sedangkan puasa dan i’tikaf adalah ketaatan kepada Allah Ta’ala. Dan hukum asalnya, sebuah perintah dalam dalil itu bersifat wajib dilakukan, selama tidak ada dalil yang memalingkan dari hukum wajib. Adapun dalam konteks ini tidak terdapat dalil yang memalingkan dari hukum wajib.

Bukankah Nadzar itu Makruh?

Perlu diingat, bahwa nadzar adalah ibadah, karena Allah berfirman,

يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا

“Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana” (QS. Al Insan:7)

Dalam ayat ini, Allah memuji orang-orang yang menunaikan nazar. Tidaklah Allah memuji kecuali karena mereka melakukan sesuatu yang dicintai oleh Allah Ta’ala dan setiap yang dicintai oleh-Nya merupakan suatu ibadah.

Nazar itu ada dua, muthlaq dan muqoyyad.

Nazar mutlaq adalah mewajibkan diri untuk melakukan ketaatan tanpa syarat. Misalnya, “Saya bernadzar untuk i’tikaf 10 hari karena Allah,” sedangkan nadzar muqayyad adalah mewajibkan diri untuk melakukan ketaatan dengan syarat jika permintaannya dipenuhi oleh Allah. Misalnya, ucapan seseorang, “Saya bernazar akan beri’tikaf karena Allah jika saya sembuh.”

Nazar yang kedua inilah yang hukumnya makruh. Nazar ini menunjukkan kebakhilan seseorang dalam melakukan ketaatan karena seseorang yang bernazar muqayyad mensyaratkan keinginannya terpenuhi terlebih dahulu, barulah melakukan suatu ketaatan.

Renungan
Hendaknya seseorang mempertimbangkan dengan hati-hati sebelum bernazar dan tidak membiasakan diri bernadzar tanpa perhitungan, walaupun berbentuk mutlak, karena dikhawatirkan tidak bisa memenuhi atau ia melakukan pelanggaran dalam memenuhinya.

[http://ift.tt/2dG9IYK, Penulis: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah. Sumber: Di Sini]

 Fikih I’tikaf (9)
》BAGIAN 9《

Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya: Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :

وَلاَ يَصِحُّ إِلاَّ فِي مَسْجِدٍ يُجَمَّعُ فِيهِ، إِلاَّ المَرْأَةُ فَفِي كُلِّ مَسْجِدٍ، سِوَى مَسْجِدِ بَيْتِهَا……….

I’tikaf hanya sah dilakukan di masjid yang dilaksanakan shalat jama’ah di dalamnya, kecuali bagi seorang wanita, maka sah beri’tikaf di masjid manapun juga, selain mushalla (tempat shalat) di rumahnya.

Penjelasan :

Maksud perkataan penulis rahimahullah : “I’tikaf hanya sah dilakukan di masjid yang dilaksanakan shalat jama’ah di dalamnya…“ adalah bahwa syarat kesahan i’tikaf diantaranya adalah bertempat di masjid yang digunakan untuk menunaikan shalat berjama’ah, hal ini dikarenakan :

1. Masjid yang tidak digunakan untuk menunaikan shalat berjama’ah, hakekatnya bukanlah masjid dengan makna yang sebenarnya.

2. I’tikaf yang bertempat di masjid yang tidak digunakan untuk menunaikan shalat berjama’ah menyebabkan salah satu dari dua konsekuensi berikut, yaitu:

a. Orang yang sedang i’tikaf di dalam masjid tersebut, jika memilih tetap berada di masjid itu pada waktu-waktu shalat wajib, maka akan meninggalkan shalat berjama’ah.

Meninggalkan kewajiban shalat berjama’ah lima waktu dengan alasan untuk melakukan ibadah i’tikaf yang hukumnya sunnah adalah sesuatu yang diharamkan bagi laki-laki mukallaf,

b. Jika ia tetap beri’tikaf, namun ia keluar dari masjid tersebut untuk menunaikan shalat berjama’ah di masjid lain, setiap hari lima kali, maka hal ini bertentangan dengan ibadah i’tikaf, karena sering keluar dari tempat ia beri’tikaf.

Adapun maksud perkataan penulis rahimahullah :

“…kecuali bagi seorang wanita, maka sah beri’tikaf di masjid manapun juga…” adalah bahwa seorang wanita sah beri’tikaf di masjid manapun juga, baik yang digunakan untuk shalat berjama’ah maupun tidak. Hanya saja dikecualikan mushalla (tempat shalat) yang berada di dalam rumahnya, maka tidak sah ia beri’tikaf di dalamnya, karena tempat shalat di dalam rumah itu tidaklah bisa dinamakan masjid.

Apakah Wanita Disyari’atkan Beri’tikaf? [1]

Dibolehkan bagi wanita untuk melakukan i’tikaf sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, 2033 dan Muslim, 1173 dari Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ وَإِنَّهُ أَمَرَ بِخِبَائِهِ فَضُرِبَ أَرَادَ الاعْتِكَافَ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَأَمَرَتْ زَيْنَبُ بِخِبَائِهَا فَضُرِبَ وَأَمَرَ غَيْرُهَا مِنْ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخِبَائِهِ فَضُرِبَ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَجْرَ نَظَرَ فَإِذَا الأَخْبِيَةُ فَقَالَ آلْبِرَّ تُرِدْنَ فَأَمَرَ بِخِبَائِهِ فَقُوِّضَ وَتَرَكَ الاعْتِكَافَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى اعْتَكَفَ فِي الْعَشْرِ الأَوَّلِ مِنْ شَوَّالٍ .

وفي رواية للبخاري : ( فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَة فَأَذِنَ لَهَا , وَسَأَلَتْ حَفْصَة عَائِشَة أَنْ تَسْتَأْذِن لَهَا فَفَعَلَتْ ) .

“Biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin beri’tikaf, beliau shalat fajar kemudian masuk ke tempat i’tikafnya. Dan beliau memerintahkan untuk memasang tenda dan dipasangkan, beliau bermaksud i’tikaf di sepuluh malam akhir Ramadhan, lalu Zainabpun memerintahkan untuk memasang tenda dan dipasangkan.

Istri-istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selainnya pun memerintahkan untuk memasang tenda dan dipasangkan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah shalat fajar melihat banyak tenda, beliau bersabda, “Apakah ketaatan yang kalian inginkan? Kemudian beliau memerintahkan untuk membongkar tendanya dan beliau meninggalkan i’tikaf di bulan Ramadan sampai beliau beri’tikaf di sepuluh awal bulan Syawwal.” Dalam teks Bukhari, “Aisyah meminta izin dan beliau diberi izin. Dan Hafshoh meminta Aisyah untuk memintakan izin baginya dan beliau lakukan.”

Dalam hadits ini menunjukkan kesahan i’tikaf wanita. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkannya. Dan mereka dilarang setelah itu, karena ada alasan insidentil.

[http://ift.tt/2dG9IYK, Penulis: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah. Sumber: Di Sini]

Catatan Kaki :
1. Diringkas dari http://ift.tt/2ts8mU6

Fikih I’tikaf (10)
》BAGIAN 10《

Syarat Wanita Boleh Beri’tikaf

Wanita boleh beri’tikaf jika memenuhi dua syarat, yaitu:

1) Diizinkan oleh suami

Al-Hafidz Ibnu hajar rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya Fathul Bari,

وَقَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَغَيْرُهُ :فِي الْحَدِيث أَنَّ الْمَرْأَة لا تَعْتَكِف حَتَّى تَسْتَأْذِن زَوْجهَا وَأَنَّهَا إِذَا اِعْتَكَفَتْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ كَانَ لَهُ أَنْ يُخْرِجَهَا , وَإِنْ كَانَ بِإِذْنِهِ فَلَهُ أَنَّ يَرْجِعَ وَعَنْ أَهْل الرَّأْي إِذَا أَذِنَ لَهَا الزَّوْجُ ثُمَّ مَنَعَهَا أَثِمَ بِذَلِكَ وَامْتَنَعَتْ , وَعَنْ مَالِك لَيْسَ لَهُ ذَلِكَ , وَهَذَا الْحَدِيث حُجَّةٌ عَلَيْهِمْ

“Ibnu Mundzir dan yang lainnya mengatakan,Dalam hadits ini menunjukkan bahwa seorang wanita tidak boleh beri’tikaf sebelum minta izin kepada suaminya. Dan kalau wanita itu beri’tikaf tanpa seizinnya, maka dia (suaminya) berhak untuk mengeluarkannya. Kalau telah diberi izin, (suaminya pun) diperkenankan mencabut izinnya dan melarangnya.

Menurut Ahli Ra’yi, kalau sang suami telah memberi izin, kemudian melarangnya, maka dia berdosa dan boleh bagi istrinya untuk menolaknya. Adapun diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa beliau memandang sang suami tidak berhak melakukan hal itu (yaitu melarang istrinya setelah ia memberi izin kepada istrinya). Namun hadits ini adalah dalil yang membantah mereka.” (Sumber: http://ift.tt/2tsgR1F)


2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki)

Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan hal ini,

فالمرأة تعتكف ما لم يكن في اعتكافها فتنة، فإن كان في اعتكافها فتنة فإنها لا تمكن من هذا؛ لأن المستحب إذا ترتب عليه الممنوع وجب أن يمنع، كالمباح إذا ترتب عليه الممنوع وجب أن يمنع، فلو فرضنا أنها إذا اعتكفت في المسجد صار هناك فتنة كما يوجد في المسجد الحرام، فالمسجد الحرام ليس فيه مكان خاص للنساء، وإذا اعتكفت المرأة فلا بد أن تنام إما ليلاً وإما نهاراً، ونومها بين الرجال ذاهبين وراجعين فيه فتنة.

“Seorang wanita diperbolehkan beri’tikaf selama tidak menimbulkan fitnah. Jika i’tikafnya menimbulkan fitnah, maka ia dilarang beri’tikaf, karena sesuatu yang hukumnya sunnah, (jika dilakukan) menimbulkan perkara yang terlarang, maka wajib dilarang, sebagaimana sesuatu yang mubah (jika dilakukan) menimbulkan perkara yang terlarang, maka wajib dilarang pula, (ini) seandainya kita katakan bahwa jika seorang wanita beri’tikaf menimbulkan fitnah.

(Hal ini) seperti yang terjadi di masjidil Haram. Di dalam masjidil Haram tidak terdapat tempat khusus bagi wanita, sehingga jika ia beri’tikaf, haruslah ia tidur (di masjidil Haram), baik di waktu malam atau siang. Sementara tidurnya di tengah-tengah hilir mudiknya laki-laki di dalam masjidil Haram, hal ini bisa menimbulkan fitnah.” (Asy-Syarhul Mumti’, hal. 510 (PDF)).

Apakah Orang Yang Tidak Diwajibkan Padanya Shalat Jama’ah -selain wanita- Itu Hukum Bagi Mereka Sama Seperti Hukum Bagi Wanita?

Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah menjawabnya,

نعم، فلو اعتكف إنسان معذور بمرض، أو بغيره مما يبيح له ترك الجماعة في مسجد لا تقام فيه الجماعة، فلا بأس.

“Ya (hukumnya sama dengan hukum bagi wanita, pent.), oleh karena itu, seandainya orang (laki-laki mukallaf) yang sakit atau selainnya dari orang yang diperbolehkan meninggalkan shalat berjama’ah itu beri’tikaf di masjid yang tidak digunakan untuk shalat berjama’ah, maka hal itu tidaklah mengapa (baca : sah)”. (Asy-Syarhul Mumti’, hal. 511 (PDF)).
Faedah Ilmiyyah

Konsekuensi mushalla yang terdapat di rumah, tidak bisa disebut sebagai masjid -baik secara hukum maupun secara hakekatnya-, diantaranya adalah :

1.     Mushalla tersebut statusnya bukanlah masjid yang diwakafkan.

2.     Jika ada orang asing masuk ke mushalla tersebut, tanpa izin tuan rumah dengan alasan ingin menunaikan shalat, maka pemilik rumah berhak mencegahnya.

3.     Jual beli yang dilakukan di dalam mushalla tersebut sah.

4.     Tidak disyari’atkan shalat tahiyyatul masjid di dalamnya.

5.     Boleh bagi wanita haidh untuk berdiam di dalamnya.

(Asy-Syarhul Mumti‘, hal. 511 (PDF)).

[http://ift.tt/2dG9IYK, Penulis: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah. Sumber: Di Sini]

Fikih I’tikaf (11)
》BAGIAN 11《

Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :

وَمَنْ نَذَرَهُ، أَوِ الصَّلَاةَ فِي مَسْجِدٍ غَيْرِ الثّلَاثَةِ، وَأَفْضَلُهَا الحَرَامُ، فَمَسْجدُ المَدِينَةِ، فَالْأَقْصَى لَمْ يَلْزَمْهُ فِيهِ

Barangsiapa yang bernadzar untuk melakukannya atau melakukan shalat di masjid (tertentu), selain ketiga masjid (yang paling utama) -(yaitu:) paling utama dari ketiganya adalah masjid Al- Haram (Mekah), kemudian masjid Nabawi di Madinah, terakhir masjid Al-Aqsha- ,maka tidak wajib baginya menunaikan nadzarnya di tempat tersebut (yaitu: di masjid tertentu selain ketiga masjid yang paling utama).

Penjelasan Kalimat

1.     Maksud perkataan penulis rahimahullah :

وَمَنْ نَذَرَهُ

“Barangsiapa yang bernadzar untuk melakukannya”, yaitu melakukan i’tikaf.

2.     Maksud perkataan penulis rahimahullah :

غَيْرِ الثّلَاثَةِ
“selain ketiga masjid (yang paling utama) ”, adalah seandainya seseorang bernadzar i’tikaf atau shalat di salah satu dari ketiga masjid yang paling utama tersebut, maka wajib baginya menunaikan nadzarnya di salah satu dari ketiga masjid tersebut dan tidak sah nadzarnya jika ditunaikan di selain ketiga masjid tersebut. Karena ketiga masjid itu memiliki keutamaan Syar’i.

3.     Perkataan penulis rahimahullah :

وَأَفْضَلُهَا الحَرَامُ، فَمَسْجدُ المَدِينَةِ، فَالْأَقْصَى

“-(yaitu:) paling utama dari ketiganya adalah masjid Al-Haram (Mekah), kemudian masjid Nabawi di Madinah, terakhir masjid Al-Aqsha-” adalah berdasarkan dalil berikut ini:

Nabi shallallahu‘alaihi wasallam juga bersabda:

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

“Janganlah kalian menempuh perjalanan jauh kecuali menuju ke tiga masjid: masjidku ini (Masjid Nabawi), masjid Al-Haram, dan masjid Al Aqsha” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Abud Darda` dan Jabir radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu‘alaihi wasallam bersabda:

«فضل الصلاة في المسجد الحرام على غيره مائة ألف صلاة، وفي مسجدي هذا ألف صلاة وفي مسجد بيت المقدس خمسمائة صلاة»

“Shalat di masjid Al-Haram lebih baik daripada 100.000 shalat di tempat lain, shalat di masjidku (masjid Nabawi) lebih baik daripada 1000 shalat (di tempat lain), shalat di masjid Baitul Maqdis (Al-Aqsha) (lebih baik daripada) 500 shalat (di tempat lain).” (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunnan Ash-Shughra:1821, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami`:4211 dan Irwa`ul Ghalil:1129, lihat: http://bit.ly/1CEEK9i)

4.     Maksud perkataan penulis rahimahullah :

لَمْ يَلْزَمْهُ فِيهِ

“maka tidak wajib baginya menunaikan nadzarnya di tempat tersebut”

adalah ia boleh menunaikan i’tikaf atau shalat yang menjadi nadzarnya di selain masjid yang sudah ditentukannya, walaupun masjid yang sudah ditentukannya dalam nadzar tersebut adalah masjid yang memiliki keutamaan Syar’i. Inilah zahir dari perkataan penulis.

Penjelasan Umum

Adapun maksud matan di atas secara global adalah :

Jika seseorang yang bernadzar untuk melakukan i’tikaf atau shalat di masjid (tertentu) selain ketiga masjid (yang paling utama), maka tidak wajib baginya menunaikan nadzarnya di tempat tersebut, ia boleh menunaikan i’tikaf atau shalat yang menjadi nadzarnya di selain masjid yang sudah ditentukannya dan nadzarnya sah tertunaikan. Adapun jika seseorang bernadzar i’tikaf atau shalat di salah satu dari ketiga masjid yang paling utama tersebut, maka wajib baginya menunaikan nadzarnya di salah satu dari ketiga masjid tersebut dan tidak sah nadzarnya jika ditunaikan di selain ketiga masjid tersebut. Karena ketiga masjid itu memiliki keutamaan Syar’i.

Kritikan Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah terhadap matan ini

Zhahir dari perkataan penulis,

لَمْ يَلْزَمْهُ فِيهِ

“maka tidak wajib baginya menunaikan nadzarnya di tempat tersebut” adalah ia boleh menunaikan i’tikaf atau shalat yang menjadi nadzarnya di selain masjid yang sudah ditentukan dalam nadzarnya, walaupun masjid yang sudah ditentukannya dalam nadzar tesebut adalah masjid yang memiliki keutamaan Syar’i, seperti masjid yang lebih dekat, masjid yang usianya lebih lama atau lebih awal dibangunnya dan masjid yang di dalamnya ditegakkan Sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan benar, jauh dari perkara yang mungkar, perkara bid’ah apalagi perkara kesyirikan (Asy-Syarhul Mumti’ 6/519), masjid yang lebih banyak jama’ahnya, atau masjid Jami’ (yang digunakan untuk menunaikan shalat Jum’at) bagi seorang mukallaf yang beri’tikaf dan melewati hari jum’at (lihat: http://bit.ly/1TAu8N8). Perkataan penulis yang mengandung makna seperti ini tidaklah tepat.

Kalimat dalam matan di atas barulah tepat, jika masjid yang ditentukan dalam nadzar adalah masjid yang tidak memiliki keutamaan Syar’i.

Oleh karena itulah, seandainya masjid yang sudah ditentukan dalam nadzar tersebut adalah masjid yang memiliki keutamaan lebih dalam Syari’at, walaupun bukan salah satu dari tiga masjid yang paling utama, maka bagi orang yang bernadzar dengan nadzar tersebut, wajib menunaikannya di masjid yang disebutkan dalam nadzarnya, karena masjid yang disebutkan dalam nadzarnya itu memiliki keutamaan Syar’i.

Berkata Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsamin rahimahullah,

فالصحيح في هذه المسألة أن غير المساجد الثلاثة إذا عينه لا يتعين إلا لمزية شرعية، فإنه يتعين؛ لأن النذر يجب الوفاء به، ولا يجوز العدول إلى ما دونه.

“Jadi, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah bahwa jika seseorang dalam nadzar menentukan sebuah masjid selain ketiga masjid yang paling utama dan ia menentukannya semata-mata karena masjid itu memiliki keutamaan Syar’i, maka (dalam hal ini) hukumnya wajib dilaksanakan nadzar tersebut (sesuai dengan masjid yang sudah ditentukan dalam nadzarnya, pent.), karena sebuah nadzar itu hukumnya wajib ditunaikan dan tidak boleh beralih kepada sesuatu yang lebih rendah keutamaannya darinya (yaitu: dari apa yang disebutkan dalam nadzar).”



Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :

وَإِنْ عَيَّنَ الْأَفْضَلَ لَمْ يَجُزْ فِيمَا دُونَهُ وَعَكْسُهُ بِعَكْسِهِ

Jika orang yang bernadzar tersebut menentukan masjid yang memiliki keutamaan lebih baik (afdhal), maka ia tidak boleh beralih pada masjid yang memiliki keutamaan dibawahnya.

Dan jika realita nadzar sebaliknya, maka hukumnya pun juga sebaliknya.

Penjelasan :

1.     Perkataan penulis rahimahullah :

وَإِنْ عَيَّنَ الْأَفْضَلَ لَمْ يَجُزْ فِيمَا دُونَهُ

“Jika orang yang bernadzar tersebut menentukan masjid yang memiliki keutamaan lebih baik (afdhal), maka ia tidak boleh beralih pada masjid yang memiliki keutamaan dibawahnya”, misalnya adalah ia menentukan dalam nadzarnya ingin beri’tikaf atau shalat di masjid Al-Haram, maka tidak sah jika ia beri’tikaf atau shalat di masjid Nabawi atau masjid Baitul Maqdis (Al-Aqsha), karena masjid Al-Haram memiliki keutamaan lebih tinggi dari keduanya.

2.     Maksud perkataan penulis rahimahullah :

وعكسه بعكسه

“Dan jika realita nadzar sebaliknya, maka hukumnya pun juga sebaliknya” adalah jika orang yang bernadzar tersebut menentukan masjid yang memiliki keutamaan yang kurang (baca: kurang afdhal), maka boleh memenuhi nadzarnya di masjid yang memiliki keutamaan lebih tinggi (baca: afdhal), misalnya : ia menentukan dalam nadzarnya ingin beri’tikaf atau shalat di masjid Nabawi, maka sah jika ia beri’tikaf atau shalat di masjid Al-Haram, begitu pula jika ia menentukan dalam nadzarnya ingin beri’tikaf atau shalat di masjid Baitul Maqdis (Al-Aqsha), maka sah jika ia beri’tikaf atau shalat di masjid Al-Haram atau masjid Nabawi. Karena keduanya lebih utama dari masjid Baitul Maqdis (Al-Aqsha).Dalil tentang bolehnya mengganti nadzar dengan nadzar sejenisnya yang lebih baik adalah

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَجُلًا قَامَ يَوْمَ الْفَتْحِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ لِلَّهِ إِنْ فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْكَ مَكَّةَ أَنْ أُصَلِّيَ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ رَكْعَتَيْنِ قَالَ (صَلِّ هَاهُنَا) ثُمَّ أَعَادَ عَلَيْهِ فَقَالَ (صَلِّ هَاهُنَا) ثُمَّ أَعَادَ عَلَيْهِ فَقَالَ (شَأْنُكَ إِذَنْ ) فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (وَالَّذِي بَعَثَ مُحَمَّدًا بِالْحَقِّ لَوْ صَلَّيْتَ هَاهُنَا لَأَجْزَأَ عَنْكَ صَلَاةً فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ)

Dari Jabir bin Abdullah, bahwa sesungguhnya ada seorang laki-laki berdiri pada hari Fathul Makkah lalu berkata: “Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya aku telah bernadzar karena Allah. Jika Allah memenangkan Anda dalam menaklukkan kota Makkah, aku akan shalat dua raka’at di Baitul Maqdis”. Beliau bersabda, “Shalatlah di sini!”, lalu lelaki itu mengulanginya di hadapan beliau, maka beliau bersabda,“Shalatlah di sini!” lalu lelaki itu mengulanginya di hadapan beliau, maka beliau bersabda, “Kalau begitu, terserah padamu”. [HR Abu Dawud, dishahihkan oleh sejumlah ulama, diantaranya : Al-Hakim dan Al-Albani ].

Hadits ini menunjukkan bolehnya mengganti nadzar dengan nadzar sejenisnya yang lebih baik.

Faedah
Bahkan sebagian ulama mengqiyaskan hukum waqaf terhadap hukum nadzar ini, maksudnya: karena mengganti nadzar itu dengan yang lebih baik hukumnya boleh, maka mengganti waqaf dengan yang lebih baik hukumnya juga boleh. Namun qiyas ini adalah untuk masalah hukum memindah waqaf umum.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

فعلى هذا، فلو نذر أن يقف شيئا فوقف خيرا منه كان أفضل

“Berdasarkan ini, jika seseorang bernadzar bahwa dia akan mewaqafkan sesuatu, lalu dia mewaqafkan (sesuatu tersebut) yang lebih baik darinya, hal itu lebih baik”.

(Diolah dari : Asy-Syarhul Mumti’ 6/519-520 (PDF)).



Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :

وَمَنْ نَذَرَ زَمَنًا مُعَيَّنًا دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ قَبْلَ لَيْلَتِهِ الْأولَى، وَخَرَجَ بَعْدَ آخِرِهِ

Barangsiapa yang bernadzar untuk i’tikaf dalam rentang waktu yang telah ditentukan kapannya, maka ia mulai masuk tempat i’tikafnya (baca: masjid) sebelum malam pertama dari rentang waktu tersebut dan keluar darinya setelah akhir batas waktu.

Penjelasan (Syarah):

1.     Perkataan penulis rahimahullah : “Barangsiapa yang bernadzar untuk i’tikaf dalam rentang waktu yang telah ditentukan kapannya“, misalnya: seseorang bernadzar untuk beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Inilah yang dimaksud “dalam rentang waktu yang telah ditentukan kapannya“, baik tertentu dari sisi hari, pekan maupun bulan tertentu.

2.     Perkataan penulis rahimahullah : “maka ia mulai masuk tempat i’tikafnya sebelum malam pertama dari rentang waktu tersebut“, dalam contoh kasus di atas,yaitu : ia wajib masuk masjid tempat i’tikafnya, sebelum terbenamnya matahari menandai malam ke-21 Ramadhan. Dengan demikian, ia harus masuk masjid tempat i’tikafnya, sore hari ke-20 Ramadhan, sebelum terbenamnya matahari, karena hari dalam Islam (Tahun Hijriyyah) dimulai dari terbenamnya matahari (malamnya). Adapun malam dalam Islam (Tahun Hijriyyah), dimulai dari terbenamnya matahari dan berakhir dengan terbitnya fajar, sedangkan siang, di mulai dari terbitnya matahari dan berakhir dengan terbenamnya matahari.Dan sehari semalam adalah di mulai dari terbenamnya matahari (masuk malam), lalu pagi, siang, sore dan berakhir dengan terbenamnya matahari. Itulah definisi hari, malam dan siang dalam istilah Syar’i.

3.     Perkataan penulis rahimahullah : “dan keluar darinya setelah akhir batas waktu.“, berarti ia keluar pada akhir hari yang telah ia tentukan dalam nadzarnya, yaitu malam Hari Raya (malam pertama bulan Syawwal), yang ditandai dengan tenggelamnya matahari. Pembahasan diatas adalah bagi orang yang bernadzar untuk i’tikaf dalam rentang waktu yang telah ditentukan kapannya, seperti sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka wajib beri’tikaf dengan urut dari hari pertama sampai hari terakhir dan tidak boleh diselingi dengan jeda hari tanpa i’tikaf.

Nah, bagaimana jika seseorang bernadzar untuk rentang waktu yang tidak ditentukan kapannya?

Misalnya, seseorang bernadzar untuk beri’tikaf sepuluh hari, begitu saja tanpa menentukan bulan apa atau pekan ke berapa. Apakah diwajibkan baginya beri’tikaf secara urut?

Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah menjawabnya,

والحاصل، أنه إذا نذر عدداً، فإما أن يشترط التتابع بلفظه، أو لا، فإن اشترطه فيلزمه، وإن لم يشترطه فهو على ثلاثة أقسام:

Kesimpulannya, jika seseorang bernadzar untuk bilangan (rentang waktu yang tidak ditentukan kapannya), maka kemungkinan pertama: Ia mensyaratkan dalam ucapan nadzarnya harus urut atau

(Kemungkinan kedua:) Tidak mensyaratkan harus urut dalam ucapan nadzarnya.

Jika ia mensyaratkan harus urut, maka wajib urut. Namun, jika ia tidak mensyaratkan harus urut (dengan lisannya), maka terdapat tiga keadaan:

الأول: أن ينوي التفريق؛ فلا يلزمه إلا مفرقة.

الثاني: أن ينوي التتابع، فيلزمه التتابع.

الثالث: أن يطلق فلا يلزمه التتابع، لكنه أفضل؛ لأنه أسرع في إبراء ذمته.

Pertama: Ia berniat tidak urut, maka wajib dilaksanakan nadzarnya dengan beri’tikaf secara tidak urut.

Kedua: Ia berniat urut, maka wajib dilaksanakan nadzarnya dengan beri’tikaf secara urut.

Ketiga: Ia tidak berniat urut maupun tidak urut, maka tidak wajib dilaksanakan nadzarnya dengan beri’tikaf secara urut. Namun yang lebih utama dilakukan secara urut, karena lebih cepat tertunaikan tanggungan nadzarnya.

[Diolah dari : Asy-Syarhul Mumti‘ 6/519-520, Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin (PDF) dan Asy-Syarhul Mukhtashor ‘ala Matni Zadil Mustaqni’, Syaikh DR. Sholeh Al-Fauzan].

[http://ift.tt/2dG9IYK, Penulis: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah. Sumber: Di Sini]

Fikih I’tikaf (12)
》BAGIAN 12《

Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :

وَلاَ يَخْرُجُ المُعْتَكِفُ إِلاَّ لِمَا لاَ بُدَّ لَهُ مِنْهُ، وَلاَ يَعُودُ مَرِيضاً، وَلاَ يَشْهَدُ جَنَازَةً إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَهُ

Seorang yang sedang i’tikaf (mu’takif) tidak boleh keluar dari masjid tempat i’tikafnya, kecuali untuk keperluan yang harus ditunaikan.

Ia tidak boleh menjenguk orang yang sakit, tidak boleh pula menghadiri pengurusan jenazah, kecuali jika ia mensyaratkannya.

Penjelasan

Penulis di matan ini, mulai menyebutkan tentang hukum keluarnya mu’takif dari masjid tempat i’tikafnya.

Beliau menyebutkan dua macam:

1. Keluar untuk keperluan yang wajib atau mendesak ditunaikan, baik secara Syar’i maupun secara kebutuhan manusiawi.

Kesimpulan ini diambil dari perkataan beliau :

إِلاَّ لِمَا لاَ بُدَّ لَهُ مِنْهُ

kecuali untuk keperluan yang harus ditunaikan.

Mu’takif diperbolehkan keluar dari masjid tempat i’tikafnya,untuk memenuhi keperluan yang seperti ini, baik ia mempersyaratkannya dalam i’tikafnya atau tidak, namun sebatas keperluan saja.

Contoh keperluan jenis ini adalah makan, minum, mengambil tambahan pakaian jika suhu menjadi sangat dingin dan buang air kecil maupun besar, mengambil makanan,karena tidak ada yang mengambilkannya semua ini termasuk kedalam keperluan yang harus ditunaikan secara kebutuhan manusiawi.

Adapun kelompok keperluan yang harus ditunaikan secara Syar’i, seperti: berwudhu’ , shalat jum’at bagi mu’takif yang beri’tikaf di masjid yang tidak digunakan untuk shalat jum’at,padahal masa i’tikaf melewati hari jum’at dan mandi junub (mandi wajib).

Faedah
Adapun mandi sekedar untuk mendinginkan badan bagi mu’takif, maka yang seperti ini terlarang. Namun jika maksud mandi untuk menghilangkan bau badan dan kotoran yang melekat di badan, maka boleh. Demikian perincian Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah , bahwa hukum mandi bagi mu’takif ada tiga: wajib, terlarang dan boleh

2. Keluar untuk keperluan yang tidak wajib atau tidak mendesak ditunaikan, baik secara Syar’i maupun secara kebutuhan manusiawi

Kesimpulan ini diambil dari perkataan beliau:

ولا يعود مريضاً، ولا يشهد جنازة إلا أن يشترطه

Ia tidak boleh menjenguk orang yang sakit, tidak boleh pula menghadiri pengurusan jenazah.

Keperluan jenis ini, dicontohkan oleh penulis rahimahullah, yaitu: menjenguk orang yang sakit dan tidak boleh pula menghadiri pengurusan jenazah.

Seorang yang sedang beri’tikaf tidak boleh menjenguk orang yang sakit, tidak boleh pula menghadiri pengurusan jenazah, walaupun keduanya adalah perkara yang disunahkan, dengan alasan:

Pertama: Karena dalam kondisi ini, i’tikaf baginya lebih penting daripada menjenguk orang yang sakit dan mengurus jenazah atau yang semisalnya dan ia tidak berdosa meninggalkan kedua aktifitas tersebut atau yang semisalnya. Namun, jika ia berada dalam keadaan tidak ada satupun orang yang mengurus jenazah kecuali ia, maka dalam kondisi ini, berubah menjadi keperluan jenis pertama dan harus ditunaikan olehnya.

Kedua: Karena keluar untuk memenuhi keperluan jenis ini akan memakan waktu i’tikaf beberapa lama.

Namun, ada satu kondisi yang menunjukkan diperbolehkannya bagi mu’takif keluar untuk memenuhi keperluan jenis ini, penulis rahimahullah mengatakan:

إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَهُ

“kecuali jika ia mensyaratkannya”,maksudnya adalah mu’takif boleh mempersyaratkan untuk keluar dari masjid tempat i’tikafnya, di saat akan memulai i’tikafnya. Namun, tidak selayaknya hal ini dilakukan, bahkan i’tikaf tanpa syarat itulah yang lebih utama, kecuali jika orang yang sakit memiliki hak atas dirinya, seperti : orang yang sakit itu adalah kerabatnya, yang kalau seandainya tidak menjenguknya akan terhitung memutuskan tali silaturrahmi, maka dalam kondisi ini, i’tikaf bersyarat lebih utama.

3. Keluar untuk keperluan yang penting bagi mu’takif, namun bertentangan dengan i’tikafnya.

Keluar untuk memenuhi keperluan jenis ini akan membatalkan i’tikaf seseorang, baik mu’takif mempersyaratkannya ataupun tidak.

Contoh: Keluar untuk keperluan bisnis, keluar untuk menggauli istri dan keluar untuk piknik.

[Diolah dari : Asy-Syarhul Mumti‘ 6/519-520 (PDF)].


[http://ift.tt/2dG9IYK, Penulis: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah. Sumber: Di Sini]

 Fikih I’tikaf (13)
》BAGIAN 13《

Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :

وَإِنْ وَطِئَ فِي فَرْجٍ فَسَدَ اعْتِكَافُهُ

Jika orang yang i’tikaf (mu’takif) menncampuri istrinya di kemaluannya, maka batal i’tikafnya.

Penjelasan :

Perkataan penulis rahimahullah :

“Jika orang yang i’tikaf mencampuri istrinya di kemaluannya, maka batal i’tikafnya” , hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala :

{ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}

(Tetapi) janganlah kalian campuri istri-istri kalian, ketika kalian sedang beri’tikaf dalam masjid. (QS. Al-Baqarah:187).

Alasan pendalilan :

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala melarang orang yang sedang i’tikaf mencampuri istrinya, hal ini menunjukkan bahwa jima’ (bersetubuh) saat i’tikaf merupakan pembatal i’tikaf, karena larangan dalam ayat ini tertuju pada perbuatan yang khusus terkait erat dengan i’tikaf, sedangkan kaidah dalam masalah ini adalah jika sebuah larangan tertuju pada ucapan ataupun perbuatan yang khusus terkait erat dengan suatu ibadah, maka jika larangan itu dilanggar akan membatalkan ibadah tersebut.

Contohnya: Berbicara dengan sengaja dalam shalat dengan pembicaraan yang tidak terkait dengan maslahat shalat, makan saat puasa dan bersetubuh saat sedang ihram, disamping juga contoh pada bab ini, yaitu bersetubuh saat i’tikaf.

Selain bersetubuh, mu’takif juga dilarang melakukan segala hal yang berkenaan dengan muqoddimah bersetubuh, seperti mencium dan meraba atau yang semisalnya, karena perkara-perkara tersebut mendorong mu’takif untuk bersetubuh, menyibukkan mu’takif dari ibadah i’tikaf dan mengandung pelampiasan syahwat, yang semua ini tidak selaras dengan aktifitas ibadah i’tikaf.

Perkataan penulis rahimahullah :

“Jika orang yang i’tikaf mencampuri istrinya di kemaluannya, maka batal i’tikafnya“, juga mengandung konsekuensi bahwa jika mu’takif menggauli istrinya, namun bukan pada kemaluannya, seperti di sela-sela kedua pahanya, maka tidak membatalkan i’tikafnya, kecuali jika keluar air mani, demikian keterangan ulama rahimahumullah. Menggauli istri bukan pada kemaluan tidak membatalkan i’tikaf disebabkan karena perkara yang diharamkan ketika i’tikaf adalah bersetubuh, sedangkan muqoddimah bersetubuh adalah penghantar kepada bersetubuh, sehingga pengharamannya adalah jenis pengharaman wasilah (sarana).

Bagaimana Jika Seorang Mu’takif beri’tikaf Dengan Mensyaratkan Bersetubuh ?

Jawabannya adalah syarat tersebut tidaklah sah, karena termasuk syarat yang menghalalkan perkara yang diharamkan oleh Allah. Setiap syarat yang menghalalkan perkara yang diharamkan oleh Allah, maka itu adalah syarat yang batil.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ شَرْطٍ

“Barang siapa yang memberi persyaratan yang tidak terdapat di Kitab Allah maka persyaratan itu batil, meskipun ia mempersyaratkan seratus persyaratan” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

[Diolah dari : Asy-Syarhul Mumti’ 6/519-520, Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin (PDF) dan Asy-Syarhul Mukhtashor ‘ala Matni Zadil Mustaqni’, Syaikh DR. Sholeh Al-Fauzan, 2/ 421].

[http://ift.tt/2dG9IYK, Penulis: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah. Sumber: Di Sini]

Fikih I’tikaf (14)
》BAGIAN 14《

Berkata Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya : Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ :

وَيُسْتَحَبُ اشْتِغَالُهُ بالقُرَبِ، وَاجْتِنَابُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

Disunnahkan (bagi orang yang beri’tikaf ) untuk menyibukkan diri dengan aktifitas mendekatkan diri kepada Allah (baca: ibadah khusus) dan menjauhi segala perkara yang tidak bermanfa’at.

Penjelasan :

Maksud perkataan penulis rahimahullah,

وَيُسْتَحَبُ اشْتِغَالُهُ بالقُرَبِ

“Disunnahkan (bagi orang yang beri’tikaf ) untuk menyibukkan diri dengan aktifitas mendekatkan diri kepada Allah (baca: ibadah khusus)” adalah disunnahkan bagi orang yang beri’tikaf untuk menyibukkan diri dengan melakukan ibadah-ibadah yang khusus, seperti baca Alquran, dzikir, shalat di luar waktu larangan dan ibadah yang semisal itu. Hal ini lebih utama daripada menghadiri majelis Ta’lim, kecuali jika sesekali dan kemungkinan tidak bisa didapatkan pada kesempatan yang akan datang, barangkali ketika itu bisa dikatakan menuntut ilmu lebih utama daripada menyibukkan diri dengan melakukan ibadah-ibadah khusus yang disebutkan di atas. Maka silahkan hadiri majelis yang jarang didapatkan tersebut, karena majelis tersebut tidak menyibukkan seorang mu’takif dari ibadah i’tikafnya.

Maksud perkataan penulis rahimahullah,

وَاجْتِنَابُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Menjauhi segala perkara yang tidak bermanfa’at”

Penjelasan :

Disunnahkan bagi mu’takif untuk menjauhi perkara yang tidak bermanfa’at, baik berupa ucapan, perbuatan maupun selainnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

“Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang adalah jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2318 dan yang lainnya).

Hadits di atas menunjukkan bahwa termasuk keindahan Islam seseorang, keindahan adabnya, ketenangan dan istirahat hatinya adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya, karena jika seseorang suka mencari sesuatu yang tidak bemanfaat, maka akan sibuk hatinya dan berat pikirannya dan letih serta rugi dunia akherat.

Bolehkah Keluarga Mu’takif Mengunjunginya dan Berbicara Beberapa Saat Dengannya?

Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa hal itu diperbolehkan, karena Shafiyyah radhiyallahu ‘anha pernah mengunjungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid tempat beliau i’tikaf dan berbicara beberapa saat dengan beliau sebagaimana dalam hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim.

Dan pembicaraan beliau berdua termasuk perkara yang bermanfaat, karena pembicaraan keluarga.

Pembicaraan antar anggota keluarga bisa menjadi hal yang menggembirakan hati serta perkataan yang bisa menjalin keakraban diantara keluarga. Dan ini termasuk perkara yang bermanfaat yang dimaksud dalam hadits mulia yang telah disebutkan di atas.

Disamping itu, pembicaraan tersebut juga termasuk perkataan baik yang terdapat dalam hadits berikut,

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih).

Karena yang dimaksud “berkata baik” disini ada dua macam, yaitu:
1.     Isi kata-kata yang diucapkan adalah kata-kata yang baik.
2.     Tujuan atau akibat dari sebuah ucapan adalah tujuan atau akibat yang baik (selama kata-katanya bukan kata-kata yang terlarang).

[Diringkas dari : Asy-Syarhul Mumti‘ 6/529-530].

Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush shalihat. Sampai disini, usai sudah matan terakhir dari bab I’tikaf yang diambil dari kitab Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’, karya: Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah.

[http://ift.tt/2dG9IYK, Penulis: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah. Sumber: Di Sini]

Fikih I’tikaf (15)
》BAGIAN 15《

Matan dan Terjemah Kitab Zadul Mustaqni’ Bab I’tikaf

Berikut ini serial penjelasan fikih i’tikaf, bersama kitab Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’, sebuah kitab fikih yang ditulis oleh yang ditulis oleh Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah (wafat th. 960 H atau 968 H).

Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Al-Muqni’ yang ditulis oleh Al-Allamah Ibnu Qudamah rahimahullah,

Isi dari kitab Zadul Mustaqni’ ini adalah:

1.     Kitab fikih yang sangat ringkas, tidak disebutkan di dalamnya dalil, ta’lil (alasan hukum), dan tidak diperbanyak permasalahan fikih yang detail dan rinci, karena maksud penulisannya sebatas menyebutkan masalah fikih secara global tanpa memperbanyak rincian.
2.     Penulis memilih pendapat terkuat dalam madzhab Ahmad bin Hanbal rahimahullah sebagai bahan acuan
3.     Penulis dalam kitab ini juga tidak menyebutkan permasalahan yang jarang terjadi, yang sebenarnya permasalahan tersebut disebutkan dalam kitab asalnya, yaitu Al-Muqni’, namun menambahkan faidah yang tidak terdapat dalam Al-Muqni’.

Kitab ini merupakan kitab dasar dalam madzhab Hanbaliyyah dan barangsiapa yang hendak mendalami madzhab Hanbaliyyah maka silahkan dihafal matan kitab ini diiringi membaca kitab-kitab penjelasannya (Syuruh) dan catatan-catatan singkat tentangnya (Hawasyi), seperti kitab Ar-Raudhul Murbi’ (Al-Bahuti) , Syarhul Mumti’ (Syaikh Al-Utsaimin), dan Asy-Syarhul Mukhtashar. Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullah dalam kitabnya Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ mengatakan,

بَابُ الاعْتِكَافِ

هُوَ لُزُومُ مَسْجِدٍ، لِطَاعَةِ اللهِ مَسْنُونٌ، وَيَصِحُّ بِلَا صَوْمٍ، وَيَلْزَمَانِ بِالنَّذْرِ، وَلَا يَصِحُّ إِلَّا فِي مَسْجِدٍ يُجَمَّعُ فِيهِ، إِلّا المَرْأَةَ فَفِي كُلِّ مَسْجِدٍ، سِوَى مَسْجِدِ بَيْتِهَا، وَمَنْ نَذَرَهُ، أَوِ الصَّلَاةَ فِي مَسْجِدٍ غَيْرِ الثّلَاثَةِ، وَأَفْضَلُهَا الحَرَامُ، فَمَسْجدُ المَدِينَةِ، فَالْأَقْصَى لَمْ يَلْزَمْهُ فِيهِ، وَإِنْ عَيَّنَ الْأَفْضَلَ لَمْ يَجُزْ فِيمَا دُونَهُ وَعَكْسُهُ بِعَكْسِهِ، وَمَنْ نَذَرَ زَمَنًا مُعَيَّنًا دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ قَبْلَ لَيْلَتِهِ الْأولَى، وَخَرَجَ بَعْدَ آخِرِهِ، وَلَا يَخْرُجُ المُعْتَكِفُ إِلّا لِمَا لَا بُدَّ لَهُ مِنْهُ، وَلَا يَعُودُ مَرِيضًا، وَلَا يَشْهَدُ جَنْازَةً إِلّا أَنْ يَشْتَرِطَهُ، وَإِنْ وَطِئَ فِي فَرْجٍ فَسَدَ اعْتِكَافُهُ، وَيُسْتَحَبُّ اشْتِغَالُهُ بِالْقُرَبِ، وَاجْتِنَابُ مَا لَا يَعْنِيهِ.

Bab I’tikaf

I’tikaf adalah sebuah kegiatan menetap di masjid untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Hukumnya adalah sunnah. I’tikaf sah dilakukan tanpa berpuasa. Keduanya itu menjadi wajib karena nadzar. I’tikaf hanya sah dilakukan di masjid yang dilaksanakan shalat jama’ah di dalamnya, kecuali bagi seorang wanita, maka sah beri’tikaf di masjid manapun juga, selain mushalla (tempat shalat) di rumahnya. Barangsiapa yang bernadzar untuk melakukan i’tikaf atau melakukan shalat di sebuah masjid selain tiga masjid paling utama, yaitu masjid Al- Haram (Mekah), masjid Nabawi di Madinah, dan terakhir masjid Al-Aqsha, maka tidak wajib baginya menunaikan nadzarnya di tempat tersebut selain tiga masjid paling utama. Jika orang yang bernadzar tersebut menentukan masjid yang memiliki keutamaan lebih dibanding yang masjid lain, maka ia tidak boleh beralih pada masjid yang memiliki keutamaan dibawahnya. Barangsiapa yang bernadzar untuk i’tikaf dalam rentang waktu yang telah ditentukan waktunya, maka ia mulai masuk tempat i’tikafnya (masjid) sebelum malam pertama dari rentang waktu tersebut dan keluar darinya setelah akhir batas waktu. Seorang yang sedang i’tikaf (mu’takif) tidak boleh keluar dari masjid tempat i’tikafnya kecuali untuk keperluan yang harus ditunaikan. Ia tidak boleh menjenguk orang yang sakit, tidak boleh pula menghadiri pengurusan jenazah kecuali jika ia mensyaratkannya. Jika orang yang i’tikaf (mu’takif) menncampuri istrinya di kemaluannya, maka batal i’tikafnya Disunnahkan (bagi orang yang beri’tikaf ) untuk menyibukkan diri dengan aktifitas mendekatkan diri kepada Allah (ibadah khusus) dan menjauhi segala perkara yang tidak bermanfa’at.

[http://ift.tt/2dG9IYK, Penyusun: Ust. Sa’id Abu Ukasyah. Sumber Di Sini]

[http://ift.tt/2dG9IYK, Disalin dari tulisan dengan judul "Fikih I’tikaf (1-15)". Penyusun: Ust. Sa’id Abu Ukasyah. Sumber Di Sini]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By