Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]
Catatan Ukhty: Mengkaji Ulang Gerakan HTI: Sebuah Kegagalan Menemukan Cakupan Islam Nusantara
Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]

Breaking News

Selasa, 25 Juli 2017

Mengkaji Ulang Gerakan HTI: Sebuah Kegagalan Menemukan Cakupan Islam Nusantara

Mengkaji Ulang Gerakan HTI: Sebuah Kegagalan Menemukan Cakupan Islam Nusantara
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Photo: Tempo.co
Oleh: Ubaidillah Achmad

ARRAHMAH.CO.ID - Gerakan HTI merupakan gerakan beberapa kelompok umat Islam bertujuan untuk mewujudkan khilafah dalam sistem kekuasaan. Tujuan gerakan HTI ini berbeda dengan tujuan risalah Kenabian Nabi Muhammad, yaitu menyempurnakan akhlak yang mulia. Akhlak yang mulia ini dapat dipahami dari pengertian moral yang baik dan prinsip etika universal tentang sebuah peradaban kemanusiaan. Jika risalah kenabian masuk sebagai agama, maka sesuai yang dijelaskan Ibn Rusydi tentang agama, yaitu untuk muwujudkan moralitas luhur, kebaikan dan cinta, bukan untuk melahirkan kerusakan, kebodohan dan kebencian.

Sehubungan dengan tujuan risalah kenabian tersebut di atas, perlu proses yang terintegrasi dengan kehidupan masyarakat dan lingkungan relevansinya dengan kehendak agung Allah. Karenanya, belum cukup memahami makna Islam hanya bersumber dari teks kewahyuan dan teks kenabian dengan tanpa memasuki kawasan teks yang ditunjuk wahyu dan risalah kenabian. Di tengah kawasan teks ini diperlukan ketajaman menjangkau rahasia ketauhidan, kemampuan meneguhkan makna kemanusiaan, kemampuan menjaga relasi suci kosmologis (Allah, Manusia, dan Kealaman).
Gerakan HTI sejak berdiri hanya bermain api politik kekuasaan, sehingga terjerat sendiri oleh permainannya. Hal ini sesuai dengan pribahasa jawa yang relevan dengan pesan wahyu Al qur'an, yaitu siapa saja yang menanam, maka akan menuai hasilnya. Jika menanamnya dengan biji dan cara yang baik, maka akan menuai hasil yang baik. Jika menanamnya dengan biji dan cara yang buruk, maka akan menuai hasil yang buruk.

Sebelum HTI menanam khilafah Islam, kebanyakan para aktivis dan penguasa memahami Islam, adalah ajaran kebaikan dan moralitas yang luhur. Meski dalam sejarah agama dunia telah ditemukan konflik agama dan kekuasaan, namun sejarah telah mencatat, bahwa Islam istiqamah sebagai gerakan keagamaan yang menegaskan rahmat bagi seluruh alam semesta (agama rahmatan lil alamiin).
Berbeda dengan risalah kenabian, Islam dalam perspektif HTI ingin ditanam di seluruh negara, termasuk Indonesia, sebagai agama kehendak kuasa yang harus merebut kekuasaan yang dianggap bertentangan dengan Islam. Karenanya, sejak dikeluarkan perppu 2/2017, HTI telah merasakan buah dari biji kehendak kuasa yang ditanamnya sendiri. Akhirnya, pihak pihak yang memahami Islam sebagai rahmat alam, namun khusus pemahaman Islam yang disuarakan aktivis HTI menjadi tidak dipercaya lagi oleh umat Islam yang lain dan pihak yang terancam gerakan HTI.

Dalam upaya menghindari buah yang tidak baik dari biji dan cara yang tidak baik, maka kemunculan Perppu no 2/2017 relevansinya dengan HTI menjadi penting. Alasannya, dari pada menghasilkan buah yang tidak baik dalam konteks kebhinnekaan di Indonesia, maka pihak pemerintah bisa menyelesaikan secara baik terhadap gerakan HTI, yang harys dilakukan melalui hukum yang adil sesuai dengan data yang relevan dengan kasus hukum yang berlaku.

Menakar Gerakan HTI

Gerakan HTI merupakan gerakan yang utopis dalam memahami makna Islam. Islam tidak dipahami sebagai prinsip akhlak mulia relevansinya dengan Allah dan lingkungan hidup, namun Islam dipahami sebagai instrumen untuk memperebutkan kekuasaan, membangun tahta langit ke tujuh dan sorga dari imajinasi sendiri. Pola berfikir yang seperti ini, tanpa disadari, sebenarnya telah melampaui kewenangan (hak) Allah terhadap alam semesta dan sorga. Islam perspektif HTI, telah mengabaikan filosofi atau makna dasar teks keagamaan, sehingga mudah membid'ahkan dan menistakan sesama umat Islam dan umat manusia.

Berikut ini, contoh pemahaman keagamaan yang tidak sesuai dengan cakupan filosofi risalah akhlak yang mulia. Yang lebih mengerikan justru telah menjadikan pemahaman terhadap agama sebagai instrumen kekuasaan:

Pertama, pemahaman ke"halal"an berbuat untuk kehendak kuasa dan mengelompokkan mereka yang berbeda kehendak kuasa sebagai kafir. Karena pemahaman ini, maka muncul pandangan politis, bahwa non Islam sebagai musuh atau lawan politik Islam. Tentu saja, pandangan ini akan memunculkan konflik keberagamaan yang lebih meluas. Model ini, juga akan menjadikan agama sebagai sumber konflik kemanusiaan.

Kedua, pemahaman terhadap istilah kafir, bermakna kelompok yang berbeda dengan kehendak kuasa sebagian umat Islam. pemahaman ini berbeda dengan kebanyakan makna yang berhubungan dengan istilah kafir, misalnya, tidak menerima kebenaran wahyu, baik yang secara langsung disampaikan para Nabi Allah maupun kebenaran universal yang menjaga keutamaan hidup, tujuan kebaikan, dan moral yang baik.

Sehubungan dengan distorsi makna kafir di atas, telah mengarahkan berfikir umat Islam terjarah kelompok kehendak kuasa untuk menjadikan agama sebagai instrumen kekuasaan. Makna kafir yang menjadi instrumen kehendak kuasa ini, telah menjadi kabut dan awan gelap cakupan makna Islam rahmatan lil'alamain, yaitu untuk membela hak hak kemanusiaan, menghindari permusuhan dan konflik kemanusiaan. Karenanya, jika bukan karena membela hak kemanusiaan, maka Nabi Muhammad pasti akan melarang berperang kepada para sahabat dan pasukan badar.

Prinsip menjaga harkat dan martabat manusia ditegaskan Nabi Muhammad bersamaan beliau memerintah Muadz Bin Jabal ke Yaman, agar menyampaikan syarat berperang: sedang di serang yang mengarah pada pembunuhan terhadap umat Islam. Alasan Nabi melarang membunuh, karena adanya asumsi nyawa satu orang lebih baik dari pada tempat terbit dan terbenam matahari. Hal yang sama dijelaskan dalam QS. Al-Mâ`idah: 32.

Bagaimana dengan jihad yang dikaitkan dengan perang? Jihad memerlukan latar belakang konflik keberagamaan, konflik kepentingan dan konflik kehendak kuasa yang mengancam nilai kemanusiaan. Jadi, adanya jihad karena seseorang keharusan mempertahankan hak kemanusiaan dan menentukan pilihan keyakinan terhadap jalan kebenaran. Misalnya, jihad untuk merawat orang tua, menjaga kelangsungan keluarga, dan memperbaiki kehidupan, Sementara itu, siapa saja yang lebih mengedepankan kepentingan kehendak kuasa dan hidup bermewah-mewahan, maka dia di jalan thaghut. Misalnya, tindakan akumulasi dan menumpuk laba dan segala hasrat kemewahan sistem permodalan (kapital).

Ketiga, pemahaman terhadap cakupan makna berbangsa dan bernegara merupakan pemahaman yang tidak bersumber dari ajaran Islam, sehingg sebagai teks perlu pelurusan atau perbaikan. Jika tidak ada upaya pelurusan pandangan ini, maka akan memunculkan efek pandangan anti pancasila, yang dianggap sebagai pandangan thaghut, pandangan jahiliyah, pandangan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Sehubungan dengan pandangan ketiga ini, adalah merupakan bentuk pandangan yang bertentangan dengan akhlak mulia Nabi Muhammad, yaitu membangun tatanan kehidupan yang lebih baik sesuai dengan prinsip keutamaan dan kemuliaan manusia. Jika diamati dari teks Al Qur'an, maka akan ditemukan model kehidupan sosial masyarakat sesuai ajaran kewahyuan, yaitu ajaran untuk saling mengenal dan kerjasama antar bangsa bangsa dan suku suku.

Kesadaran kewahyuan tentang kebangsaan dalam konteks Indonesia, telah dimulai organisasi Budi Utomo (20 Mei 1908). Ormas Budi Utama menginspirasi kesadaran masyarakat nusantara untuk mendirikan Indonesia rumah kita bersama, yang beranggotakan K.H. Ahmad Dahlan pendiri Muhamadiyah, K.H. Abdul Wahab Hasbullah, pendiri NU (1926) yang sebelumnya terdorong dengan Nahdhatul Wathon,  yang berarti "kebangkitan tanah air".

Mbah A. Wahab, juga telah mengawal berdirinya Far’oel Wathan di Gresik,  Hidayatoel Wathan di Jombang, dan Khitaboel Wathan di Surabaya serta organisasi yang lain yang beraviliasi ke pemikiran para Ulama tradisi pesantren. Misalnya, Gerakan Pemuda Anshor yang dikembangkan dari Shubbanul Wathan, 1924, Gerakan Ikrar Sumpah Pemuda untuk Indonesia sebagai negara bangsa (nation-state).

Alasan perlunya membangun kesadaran kebangsaan ini, karena untuk menyatukan rasa nasionalisme kebangsaan yang dibatasi garis teritorial suatu bangsa, sehingga terbangun kokoh kekuatan persatuan dan kesatuan nilai kebangsaan dan nasionalisme. Adanya kesadaran para Ulama yang tergabung pada Ormas NU, karena kawasan nusantara secara real terdiri dari ribuan pulau, beragam keyakinan, suku dan bahasa. Jadi, para Ulama sangat memahami kondisi bangsa indonesia yang memiliki lebih 700 suku, lebih 1100 bahasa lokal, 34 Provinsi dan 516 Kabupaten/Kota. Hal ini merupakan anugerah yang harus disatukan.

Jadi, dalam konteks kebangsaan, gerakan HTI tidak peduli terhadap keragaman bangsa Indonesia. Sekarang sudah menjadi keputusan final, bahwa Indonesia dan NU tetap berada pada satu ideologi pancasila. Ideologi ini dirumuskan pada tanggal 1 Juni 1945.

Jika membaca konsep pandangan khilafah Islam HTI di atas, maka sama halnya HTI telah mengabaikan Hak Asasi setiap warga negara Indonesia dan melakukan tindakan diskriminasi atas dasar Suku, Agama dan Ras. Oleh karena itu, perlu tindakan tegas negara membubarkan HTI dengan tujuan untuk melindungi kedaulatan bangsa dengan cara menindak ormas-ormas yang melakukan kegiatan separatis dan menyebarkan paham yang secara tegas anti Pancasila. Ketegasan Negara diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan dan moral umum, atau perlindungan atas hak dan kebebasan dari orang lain. 


Cakupan Islam Nusantara

Kerangka dasar dari Islam Nusantara, adalah akhlak Mulia Nabi Muhammad. Akhlak mulia ini mencakup prinsip moral yang baik dan kemampuan menilai atau mengintegrasikan pandangan etika universal terhadap teks moral yang berkembang di tengah komunitas masyarakat yang berbeda sesuai dengan nilai kebangsaan dan kesukuan masyarakat lokal. Prinsip akhlak mulia Nabi didasarkan pada ajaran kemuliaan dan keutamaan, yaitu menempatkan manusia secara tepat dihadapan pencipta dan dihadapan umat manusia.

Bingkai keutamaan ini merupakan dasar membangun nilai ketuhanan dan kemanusiaan untuk peradaban dunia. Prinsip ini merupakan prinsip yang sudah berkembang sejak peradaban kenabian kali pertama disuarakan oleh Nabi Adam di tengah masyarakat fasis. Masyarakat fasis merupakan bentuk masyarakat yang sudah bermusuhan dan melakukan pertumpahan darah untuk memperebutkan sistem kekuasaan. Model masyarakat fasis ini yang pernah disampaikan para Malaikat menjawab seruan Allah, ketika menyampaikan kepada para Malaikat, bahwa Allah akan menciptakan khalifah di muka bumi dari bangsa manusia.

Konsep Akhlak mulia para Nabi merupakan dasar ajaran untuk membentuk keseimbangan jiwa manusia, baik yang terkait dengan konflik internal dan eksternal jiwa manusia. Konflik internal psikis muncul dalam diri sendiri merusak potensi kecerdasannya sendiri. Sedangkan, konflik eksternal psikis muncul dari pihak yang lain yang mengganggu keseimbangan psikis seseorang. Sikap yang menimbulkan konflik ini, adalah sikap anarkis seseorang, baik dari diri sendiri maupun dari pihak yang lain. Anarkisme ini dibangun dari kehendak kuasa atau sikap memperebutkan sistem kekuasaan, yang akan berujung pada kondisi relasi kuasa yang tidak seimbang.

Kondisi relasi kuasa yang tidak seimbang inilah yang sering melatarbelakangi kehadiran risalah kenabian yang disampaikan oleh utusan Allah, Nabiyullah. Jadi, kehadiran Nabi di muka bumi, adalah untuk membangun relasi kuasa yang seimbang, bukan justru memperebutkan kekuasaan untuk sebuah relasi kuasa yang tidak seimbang. Cita cita risalah kenabian ini dapat diterapkan dibelahan dunia manapun, termasuk di kawasan Nusantara. Risalah kenabian ini, sering disebut dengan agama Islam. Karenanya, seharusnya dengan ajaran Islam saja sudah cukup untuk mengenal risalah kenabian, yaitu akhlak yang mulia.

Namun karena ada gerakan beberapa umat Islam yang anti tradisi lokal di tengah lingkungan bangsa Indonesia, maka Ulama NU pada muktamar ke 33 di Jombang memunculkan istilah Islam Nusantara. Artinya, Islam Nusantara, adalah Islam yang menerima kearifan lokal yang sekaligus untuk membentengi gerakan Islam yang anti kearifan lokal. Sikap NU yang seperti ini bukan tanpa alasan, sebab di tengah masyarakat telah muncul gerakan beberapa umat Islam yang meresahkan warga nahdliyyin dan masyarakat lokal. Misalnya, beberapa gerakan islam transnasional yang suka mengungkapkan tuduhan bid'ah, musyrik, kafir, dan sesat.

Gerakan NU melalui upaya memperkuat Islam Nusantara ini, telah berperan mencegah konflik agama dan budaya yang akan terjadi di Indonesia. Konsep Islam Nusantara dapat membendung konflik dan kekacauan di negara Indonesia, yang mayoritas berpenduduk muslim. Berbeda dengan umat Islam Indonesia yang masih berpegang pada prinsip NU, Umat Islam dibelahan yang lain, jutru melakukan konflik atas nama agama dengan sesama umat Islam, seperti Afganistan, Suriah, Irak dan yang lainnya.

Kondisi Islam di Indonesia telah menjadi percontohan yang baik di antara negara mayoritas umat Islam. Banyak peneliti, aktivis resolusi konflik dan para tokoh dunia ingin mengkaji:  bagaimana Islam Indonesia menjawab konflik keberagamaan dan kekuasaan? Hal ini dapat dibaca pada konsep para Ulama di ORMAS NU yang membangun gerakan Islam Nusantara, justru di tengah kondisi masyarakat makin berkiblat ke ideologi transnasional. Bersamaan masyarakat muslim mulai melirik gerakan ideologi transnasional, warga NU justru semangat berpegang menjaga prinsip ajaran para Walisongo dan Ulama NU. Komitmen warga NU ini kembali memetik hikmah keberagamaan, yang lagi lagi menjadi percontohan keberagamaan di tengah kearifan lokal masyarakat Indonesia.

Konsep Islam Nusantara ini yang membuat para peneliti kolonial kesulitan mencerabut keberagamaan umat Islam dari model pribumisasi Walisongo, yang berikutnya dipertahankan Ormas NU. Misalnya, hasil penelitian C. Snock Hurgronje, yang menggunakan nama samaran sebagai syekh abdul ghaffar. Dalam konteks ini, para kiai justru memetik hikmah dari Hurgronje tanpa harus terkecoh olehnya. Selain itu, para Ulama Nusantara juga tidak terkecoh ideologi transnasional yang diusung Hurgronje untuk mengkonfrontir antar umat Islam. Misalnya, Beberapa Ulama yang gigih dengan tradisi ini, misalnya, Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro atau Mbah Abdul Hamid, Sultan Agung, Mbah Zaenal Mustofa.

Di tengah keberagamaan Islam Nusantara, C. Snock Hurgronje yang dibantu Van Der Plas ini harus menyesuaikan pespektif akademiknya dengan konteks Islam Jawa, yang sekarang dikenal dengan Islam Nusantara. Beberapa term Islam Jawa banyak yang tidak mudah disimpulkan Hurgronje dan Van Der Plas.

Berikut ini beberapa tema kajian Islam Nusantara yang berbeda dengan kajian Hurgrnje dan Van Der Plas sebelumnya (sewaktu belajar di Arab):

Pertama, sehubungan dengan tema kajian ilmu kalam dan Asma Allah. Kajian ini menjadi berbeda ketika sudah menjadi Islam Jawa. Misalnya, istilah Allah yang dikaji di arab berubah menjadi pangeran, yang juga digunakan untuk nama seorang raja dan tokoh Jawa, seperti Pangeran Diponegoro. Mushalla menjadi langgar, shalat menjadi sembahyang, syaikh dan ustadz menjadi kiai, seperti Kiai Kebo Kenanga. nasi (sego) dalam bahasa ingrish, bernama rice, bahasa ara, benama ar-ruz. Istilah ruz ketika di sawah, bernama pari, padi, yang ketika dipanen, bernama ulen-ulen, ulenan. Ketika ditumbuk, bernama gabah, yang ketika dibuka, bernama beras.

Berbeda lagi ketika patah, benama menir. Beras ketika dimasak benama sego, nasi. Ketika diambil satu, benama upa, ketika dibungkus daun pisang, benama lontong, ketika dibungkus janur kuning, benama ketupat, Ketika diaduk hingga lembut, bernama bubur. Integrasi ajaran Islam melalui teks Arab yang berubah menjadi teks jawa ini memiliki perubahan padanan kata yang memiliki konsekuensi dengan cakupan makna hukum politik dan sosial yang berbeda beda.

Kedua, sehubungan dengan pribumisasi Islam, dalam konteks tertentu keluar dari rumus Islam arab dan Islam di belahan dunia Islam pada umumnya. Hal ini karena para Walisongo telah membuat konsep Islam dan budaya Jawa dengan menjadikan sari pati (essensi) Islam yang relevan dengan kearifan lokal. Walisongo sangat memahami, bahwa tidak mudah berdakwah di tengah masyarakat yang sudah memiliki peradaban tinggi. Dakwah di tengah masyarakat yang berperadaban tinggi memerlukan strategi dan ketajaman melakukan integrasi kebudayaan. Hal ini berbeda dengan masyarakat Afrika dan Eropa yang pada era ini masih terpuruk.

Jawa dalam kekuasaan Majapahit merupakan negara kuat, yang memiliki para pemikir besar, para petani sukses, dan menguasai 2/3 dunia. Kondisi yang seperti ini didukung adanya Universitas terbesar dunia, bernama Nalanda. Masyarakat Jawa memiliki hukum politik terbaik dunia, bernama Negarakertagama. Selain itu, masyarakat jawa juga memiliki hukum sosial terbaik, bernama Sutasoma. Karenanya, tanpa melakukan integrasi antara Islam dan budaya jawa, maka tidak akan dapat mewujudkan bagaimana Islam menjadi bagian keragaman di nusantara yang dikuasai majapahit. Kerangka dasar dari pandangan ini, maka terbentuk model pribumisasi Islam di tengah tradisi jawa atau kearifan lokal.

Sehubungan dengan pengalaman walisongo ini, maka ide khilafah Islam di Indonesia merupakan bentuk ide utopis, karena memaksakan diri dari pakem kearifan lokal yang sudah kuat berlangsung di Indonesia. Karenanya, jika gerakan HTI masih memaksakan akan berkuasa di Indonesia dan menyalahkan konsep Islam Nusantara, maka telah menunjukkan kegagalan paham aktivis HTI memahami Islam Nusantara.

Ubaidillah Achmad, Dosen Filsafat Islam UIN Walisongo, Penulis Suluk Kiai Cebolek dan Islam Geger Kendeng, Khadim PP. Bait As Syuffah Sidorejo Pamotan Rembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By