Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]
Catatan Ukhty: Risalah Talak (11), Talak Saat Hamil
Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]

Breaking News

Minggu, 30 April 2017

Risalah Talak (11), Talak Saat Hamil

Risalah Talak (11), Talak Saat Hamil

Saat ini kami akan kembali melanjutkan pembahasan talak. Yang akan disinggung kali ini adalah kapan tuntunan talak sesuai tuntunan Islam, kapan waktunya. Juga akan disinggung bolehkah mentalak wanita saat hamil. Mayoritas ulama berpendapat bolehnya mentalak istri ketika hamil, termasuk yang berpendapat demikian adalah ulama Syafi’iyah. Simak bahasan berikut.

Talak juga dapat dibagi menjadi dua macam dilihat dari cara menjatuhkan talak, yaitu talak sunni (yang sesuai tuntunan Islam atau ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-) dan talak bid’iy (yang tidak sesuai tuntunan Islam).

Kapan waktu talak sunni?
Talak sunni dilihat dari waktu dijatuhkan dapat ditinjau lagi dari beberapa wanita:

1. Wanita Yang Telah Disetubuhi Dan masih Mendapati Haid.

Disebut talak sunni pada wanita ini adalah ketika memenuhi tiga syarat: (1) mentalak ketika suci (bukan pada masa haid atau nifas), (2) tidak disetubuhi ketika masa suci tersebut sebelum mentalak, dan (3) mentalak ketika suci setelah si istri mandi suci dari haid.

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu” (QS. Ath Tholaq: 1). Yang dimaksud mentalak di masa ‘iddahnya adalah talaklah ketika suci sebelum disetubuhi. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Janganlah mentalaknya ketika ia haid dan ketika ia suci dan telah disetubuhi. Namun biarkanlah ia melewati masa haidnya, lalu ia suci, kemudian talaklah dengan sekali talak.”[1] Tafsiran seperti ini dikatakan pula oleh Ibnu ‘Umar, ‘Atho’, Mujahid, Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin, Qotadah, Maymun bin Hawan, Maqotil bin Hayan, ‘Ikrimah dan Adh Dhohak.[2]

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah mentalak istrinya dan istrinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu menanyakan masalah ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ، ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ، ثُمَّ تَطْهُرَ ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ

“Hendaklah ia meruju’ istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian haidh hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya (menyetubuhinya). Itulah al ‘iddah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah ‘azza wa jalla.”[3]

An Nawawi rahimahullah menerangkan, “Yang dimaksudkan dengan (قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ) adalah sebelum menyetubuhi istrinya. Hadits ini menunjukkan haramnya talak ketika si wanita dalam keadaan suci setelah sebelumnya disetubuhi. Para ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa haram mentalak istri ketika ia dalam keadaan suci setelah sebelumnya disetubuhi hingga istri tersebut terbukti hamil. Karena jika terbukti hamil, mungkin saja suaminya tersebut akan menyesal. ”[4]

Adapun dalil yang menunjukkan syarat mentalak saat suci setelah istri mandi suci dari haid adalah hadits Ibnu ‘Umar yang mentalak istrinya ketika haid. Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مُرْ عَبْدَ اللَّهِ فَلْيُرَاجِعْهَا فَإِذَا اغْتَسَلَتْ فَلْيَتْرُكْهَا حَتَّى تَحِيضَ فَإِذَا اغْتَسَلَتْ مِنْ حَيْضَتِهَا الأُخْرَى فَلاَ يَمَسَّهَا حَتَّى يُطَلِّقَهَا فَإِنْ شَاءَ أَنْ يُمْسِكَهَا فَلْيُمْسِكْهَا فَإِنَّهَا الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ

“Perintahkan ‘Abdullah agar merujuk istrinya. Kemudian jika istrinya telah mandi, hendaklah ia membiarkannya sampai haid. Kemudian jika istrinya telah mandi dari haid berikutnya, janganlah ia menggaulinya sampai ia menalaknya. Jika ia ingin mempertahankannya, hendaklah ia melakukannya. Itulah ‘iddah yang Allah perintahkan agar para istri ditalak pada waktu mereka dapat langsung menghadapinya.”[5]

2. Wanita Yang Belum Disetubuhi Baik Dia Yang Telah Mendapati Haid Ataukah Belum.

Untuk wanita ini boleh mentalaknya kapan pun waktunya ketika suci atau ketika haid karena ia belum disetubuhi dan tidak memiliki masa ‘iddah ketika itu. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.” (QS. Al Ahzab: 49).

3. Wanita Yang Tidak Mendapati Haid Karena Umurnya Yang Telah Lanjut Usia Atau Karena Masih Anak-anak.

Wanita ini pun boleh ditalak kapan saja baik setelah disetubuhi ataukah tidak karena masa ‘iddahnya tidaklah berpatokan dengan masa haid atau hamil. Jadi seandainya seseorang mentalak istrinya yang telah lanjut usia atau anak kecil yang tidak mengalami haid lagi, maka ia boleh mentalaknya kapan pun waktunya karena alasan mentalak ketika suci setelah disetubuhi adalah bagi wanita yang masih memiliki masa quru’ (haid) dan alasan ini tidak didapati pada wanita yang telah lanjut usia dan anak kecil yang tidak mengalami haid.

4. Wanita Hamil

Wanita hamil boleh ditalak kapan pun waktunya karena ia tidaklah mengalami haid lagi semasa hamil sehingga tidak ada patokan quru’ (haid). Bolehnya mentalak istri ketika hamil dapat dilihat dari beberapa dalil berikut. Pertama, firman Allah Ta’ala,

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4). Ayat ini menunjukkan bahwa masa ‘iddah wanita hamil adalah sampai ia melahirkan kandungannya. Jika masa hamil dikatakan memiliki masa ‘iddah berarti tidak diragukan lagi bolehnya mentalak wanita saat hamil.

Begitu pula tentang Ibnu ‘Umar yang mentalak istrinya ketika haid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya untuk kembali dan silakan ia mentalak ketika telah suci atau ketika hamil. Sebagaimana dalam hadits disebutkan,

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لْيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلاً

“Perintahkan ia (Ibnu ‘Umar) untuk rujuk kemudian setelah itu silakan ia mentalaknya ketika suci atau ketika hamil.”[6]

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bolehnya mentalak istri ketika hamil yaitu setelah jelas hamilnya. Demikian pendapat Imam Asy Syafi’i. Ibnul Mundzir berkata bahwa demikian pendapat mayoritas ulama di antaranya adalah Thowus, Al Hasan Al Bashri, Ibnu Siirin, Robi’ah, Hammad bin Abu Sulaiman, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan Abu ‘Ubaid. Demikian pula pendapat pilihan Ibnul Mundzir. Pendapat ini pula dipegang oleh sebagian ulama Malikiyah. Sebagian ulama mengatakan bahwa mentalak wanita saat hamil adalah haram. Ibnul Mundzir menceritakan bahwa dalam pendapat lain, Al Hasan Al Bashri menyatakan makruh.”[7] Pendapat terkuat dalam masalah ini adalah bolehnya mentalak wanita ketika hamil sebagaimana didukung dari hadits-hadits di atas.[8]

Pembahasan selanjutnya adalah mengenai mentalak ketika haid atau secara lebih lengkap membahas talak bid’iy (talak yang tidak sesuai tuntunan).

[Cerkiis.blogspot.com, @ KSU, Riyadh, KSA, 23 Rajab 1433 H, www.rumaysho.com]

Footnote :
[1] Lihat Tafsri Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 27.
[2] Idem.
[3] HR. Bukhari no. 5251 dan Muslim no. 1471.
[4] Syarh Shahih Muslim, 10: 16.
[5] HR. An Nasai no. 3396. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[6] HR. Muslim no. 1471.
[7] Syarh Shahih Muslim, 10: 65.
[8] Pembahasan di atas disarikan dari Shahih Fiqh Sunnah, 3: 291-295.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By