Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]
Catatan Ukhty: KH. A. Tamamuddin Munji, Mengawal Politik Kebangsaan Bersama Komunitas Nahdliyyin
Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]

Breaking News

Selasa, 25 April 2017

KH. A. Tamamuddin Munji, Mengawal Politik Kebangsaan Bersama Komunitas Nahdliyyin

KH. A. Tamamuddin Munji, Mengawal Politik Kebangsaan Bersama Komunitas Nahdliyyin
KH. A. Tamamuddin Munji, Mengawal Politik Kebangsaan Bersama Komunitas Nahdliyyin
KH. A. Tamamuddin Munji, Mengawal Politik Kebangsaan Bersama Komunitas Nahdliyyin
TOKOH, ARRAHMAH.CO.ID - Berikut ini, catatan kisah KH. A. Tamamuddin Munji (Mbah Tamam) yang bersumber dari orang orang terdekat beliau atau mereka yang turut merekam perjalanan pendampingan Mbah Tamam kepada masyarakat. Di antara sumber penting dari kisah pengalaman ini bersumber dari putra beliau, Ubaidillah Achmad, Dosen UIN Walisongo Semarang dan penulis buku Islam Geger Kendeng Dalam Konflik Ekologis dan Rekonsiliasi Akar Rumput.
Beberapa penggalian kenangan perjuangan yang dapat penulis sampaikan, berupa kegigihan Mbah Tamam menandai tradisi akulturasi Islam dan Budaya Jawa dengan tanpa mencerabut akar keislaman dan prinsip kebenaran yang bersumber dari model etika dakwah Nabi Muhammad (Akhlakul Karimah) selama menyampaikan risalah kenabian.
Dari hasil riset sederhana, Kawasan Rembang Selatan, adalah kawasan yang serat dengan sistem perdukunan dan ilmu ilmu metafisika yang sudah menjadi instrumen perlindungan dan perlawanan kepada setiap individu yang berbeda pandangan dan pilihan ideologis. Karenanya, sosok yang dikatakan hebat di lingkungan kawasan ini, adalah mereka yang memiliki kekuatan metafisika, dan mereka inilah yang terbukti menjadi sosok linuweh seseorang di tengah lingkungannya.
Selain itu, kawasan Rembang selatan, adalah kawasan yang memiliki kekhasan dan pengalaman hidup berdasarkan adat istiadat dan budaya para leluhur masyarakat jawa kuno.
KH. A. Tamamuddin Munji
Oleh karena itu, bagi pendamping sosial dari latar belakang  agama akan sulit diterima oleh masyarakat Rembang selatan, kecuali dengan bersikap adaptif terhadap budaya masyarakat Rembang selatan. Di lingkungan kawasan ini, sebagaimana yang dikatakan Ubaidillah Achmad, pengasuh lingkar As Syuffah, kebanyakan model keberagamaan yang merujuk pada ajaran Islam selalu mendapatkan penolakan dari masyarakat, kecuali model keberagamaan yang telah disampaikan oleh para Kiai NU.
Hal ini yang menjadi jawaban, mengapa kondisi sosio historis masyarakat kawasan Rembang selatan, telah menjadi kawasan berbasis warga nahdlatul Ulama.
Di lingkungan Kawasan Rembang selatan dan Rembang tengah, nama Mbah Tamam sangat mudah dikenali masyarakat zamannya, karena selain cara pendekatan dakwah beliau yang ramah terhadap lingkungan, juga banyak para santri beliau yang menjadi tokoh agama masyarakat setempat. Di kalangan Ulama Rembang yang sezaman dengan Mbah Tamam, nama Mbah Tamam dikenal sebagi mursyid tarekat naghsyabandiyah khalidiyah al muktabarah an nahdliyyah, aktif di NU, dan di MUI kab. Rembang.
Karena luasnya kawasan dakwah dan komitmen Mbah Tamam pada wilayah pendampingan sosial keagamaan, maka banyak yang merasakan kehilangan atas kepergian Mbah Tamam. Santri Mbah Tamam tidak hanya berasal dari penduduk sekitar, namun juka banyak yang berasal dari luar masyarakat Rembang. Mereka ini, sudah banyak yang di luar jawa, seperti Sumatera, palembang, dan kalimantan.
Sebelum dalam sepuluh tahun terakhir hingga hari wafat Mbah Tamam, santri Mbah Tamam banyak mendampingi beliau setiap acara tahtiman Al Qyran dan pengajian di beberapa desa. Hal ini berbeda dengan setelah sepuluh tahun terakhir, justru santri bertahan hanya pada kisaran puluhan santri. Selama sepuluh tahun terakhir hampir bisa dikatakan, jumlah santri tidak bertambah dan tidak berkurang. Sejak Mbah Tamam Wafat, fenomena santri yang hanya bertahan pada hitungan puluhan ternyata bukan tanpa alasan.
Hal ini diakui oleh putra beliau, Ubaidillah Achmad, pengasuh Majlis As Syuffah,"setelah di atas usia 75 tahun, Abah sendiri ingin memiliki santri tidak banyak, karena terkait dengan amanah pembelajaran dan pendampingan."
Sejumlah santri pada kisaran puluhan ini, ternyata tidak menyurutkan kebesaran Mbah Tamam sebagai Ulama yang dicintai masyarakatnya, sehingga pada saat prosesi pemakaman, ribuan para pelayat, berjubel memadati kampung Mbah Tamam hingga memadati jalan raya di luar desa Mbah Tamam. Banyak memperkirakan, jika beliau diistirahatkan pada waktu pagi atau siang hari, akan lebih sulit lagi. Hal ini, karenan banyaknya para pelayat yang berdatangan ingin mengantarkan Mbah Tamam.
Menyatukan Nilai KeNUan dan Kearifan Lokal
Dalam perzpektif Mbah Tamam, prinsip yang dipertahankan NU merupakan prinsip yang tidak hanya dipahami dari aspek ilmu pengetahuan dan ibadah, namun juga prinsip yang harus diterima sebagai amanah.
Jadi, alasan Mbah Tamam berjuang bersama komunitas NU, selain prinsip NU telah menjadi ajaran pokok yang dipahami di pesantren, juga telah menjadi pesan para leluhur dan para Guru beliau yang mendukung sepenuhnya visi dan misi NU. Karenanya, setiap ada cobaan yang dihadapi warga NU, Mbah Tamam selalu membaca dzikir khusus yang dibaca bersama para santri. Beberapa santri dan putra beliau, juga mendapatkan pesan yang sama, agar menjalankan model keberagamaan yang sudah menjadi model para walisongo hingga menjadi model keberagamaan warga NU.
Sejarah awal Mbah Tamam mempertahankan model keberagamaan Walisongo, atau yang dikenal dengan kesatuan keNUan dan kearifan lokal ini, beliau mulai dengan berjuang bersama mertua beliau, yang pernah menjadi tokoh Ansor di kab. Rembang (KH. Ghazzali) dan kedua adik Ipar yang mumpuni dalam bidang ilmu keislaman (KH. Mansyur Ghazzali dan KH. Zuhdi Ghazzali), menghadapi tantangan perjuangan yang berat versus komunitas yang tidak senang dengan model pribumisasi Islam yang diterima dari para leluhurnya.
Selain itu, Mbah Tamam juga menghadapi gesekan politis dari kelompok Islamis Masyumi dan kelompok abangan yang tidak ingin Kiai NU mewarnai tradisi masyarakat.
Kelompok Islamis Masyumi dan abangan ini, adalah kelompok yang selalu mengalami konflik pada setiap pemilihan umum. Di Di Rembang Selatan, fenomena ini sudah berlangsung sejak mertua Mbah Tamam, KH. Ghazzali menjadi aktivis Anshor
Nahdlatul Ulama. KH. Ghazzali, adalah seorang aktivis Anshor yang gigih menjaga marwah Kiai di seluruh kawasan kabupaten Rembang dari ancaman kekerasan politik pihak partai lain. Beberapa Kiai di Rembang, juga pernah bercerita kepada Kang Ubaid, bahwa KH. Ghazzali ini, telah diberi kekuatan oleh Allah menjaga para Kiai Rembang dari serangan para aktivis partai Komunis Indonesia, pada saat bermusuhan dengan Kiai NU.
Fenomena politik kepentingan mengalahkan politik kebangsaan ini, dari cerita Mbah Tamam, masih sangat kuat pada masa Orde Lama dan awal Orde Baru.
Jadi, dalam sejarah Orde Lama dan Orde Baru politik telah menjadi ideologi utama masyarakat melebihi kepentingan ideologi nasional. Artinya, setiap pemilu semua pengikut partai politik seakan telah melupakan ideologi pancasila dan kepentingan umum negara. Karenanya, selama Orde Baru yang besar bukan negara di mata dunia, namun yang terlihat besar adalah kelompok kepentingan golongan dan politik Orde Baru.
Dari kisah para pengikut Mbah Tamam, bahwa awal memasuki kawasan Rembang Selatan yang dimulai dari kecamatan Pamotan Rembang, telah berhadapan dengan politik kepentingan yang berat. Selain itu, Mbah Tamam, juga berhadapan dengan kecurigaan masyarakat lokal terhadap model keberagamaan yang disyiarkan oleh Mbah Tamam. Sama dengan jejak para leluhurny yang sudah ditanamkan oleh Syekh Ahmad Al Mutamakkin, yaitu dengan model dakwah dengan cara pribumisasi Islam.
Model pribumisasi Islam, adalah model yang memadukan kesatuan ajaran Islam dengan budaya lokal atau kearifan lokal. Untuk memperkuat jaringan dakwah, di tengah konflik keberagamaan dan kearifan lokal ini, Mbah Tamam secara strategis mengikuti Para Ulama NU yang sudah mengakar di lingkungan masyarakat Rembang. Model dakwah dengan memperkuat jaringan dengan ulama NU ini sudah terbentuk sejak berada di lingkungan keluarga besar para pengasuh pesantren geneologis Syekh Ahmad Al Mutamakkin Kajen Pati.
Selain itu, gerakan NU di Rembang, sebelum kedatangan Mbah Tamam, sudah menjadi model organisasi keagamaan dan sosial yang indah dan kuat. Hal ini tercatat dalam sejarah berdirinya NU di Indonesia, telah memiliki jalur khusus dengan para Ulama dari Rembang. Ulama besar yang terbaca pada layar dan yang berada dibalik layar berdirinya NU banyak dari Rembang. Melalui jaringan gerakan keNUan, Mbah Tamam lebih mudah menyampaikan ajaran kitab kuning kepada masyarakat nahdliyyin dan yang lain yang sudah membentuk komunitas Nahdliyyin.
Sebagai contoh, pesan yang disampaikan Mbah Tamam kepada para alumni yang melanjutkan kuliah dan bekeja di kota kota besar, beliau selalu berpesan, agar para santri dan alumni berpegang pada nilai nilai ahlussunah wal jamaah yang sudah diajarkan dipesantren, di lingkungan warga nahdliyyin, dan masyarakat kearifan lokal. Karenanya, berkhidmah untuk NU tidak harus menjadi pengurus NU, namun yang lebih penting bagaimana melaksanakan amaliyah ibadah secara NU.
Mengawal Politik Kebangsaan
Banyak di tengah masyarakat yang belum bisa membedakan, antara politik kepentingan dan politik kebangsaan dan gerakan pencerahan. Hal ini dapat dibaca dari fenomena anggapan kebanyakan masyarakat, bahwa semua orang yang terlibat dalam diskursus politik di tengah relasi kuasa dikatagorikan masuk dalam lingkungan politik praktis.
Hal ini, berbeda dengan pendapat Mbah Tamam, yang menganggap tidak semua orang yang terlibat dengan relasi kuasa berada dalam kelompok politik kepentingan. Mereka yang terlibat dalam relasi kuasa, masih banyak yang bertujuan ingin mengendalikan sistem pemerintahan yang hendak berbelok agar tidak menjadi belok. Terbukti, masih banyak kebijakan kebijakan pemerintah yang baik dan memihak pada kepentingan umum.
Meskipun demikian, Mbah Tamam berharap kepada tokoh agama dan budaya serta akademisi, agar menjaga kemandirian model pendampingan kepada masyarakat, sehingga tidak tergantung kepada pemerintah. Jika tokoh agama dan budaya tergantung kepada pemerintah, maka akan mudah dimanfaatkan kelompok kepentingan yang sedang menduduki kekuasaan dalam sistem pemerintah. Yang terpenting, bagaimana peran tokoh agama dan budaya di tengah relasi sosial mendukung kebijakan baik pemerintah yang berpihak pada kepentingan umum, namun berani bersama masyarakat mengkritisi penerintah yang mencoba atau sudah berbelok.
Sikap seperti ini, hanya bisa dilakukan oleh para tokoh agama dan budaya, apabila mampu mengambil peran yang baik dan strategis. Secara akademis, para Tokoh agama dan budaya, perlu menjawab pertanyaan berikut: bagaimana seorang tokoh agama dan budaya mampu bersikap mandiri dengan tidak mengabaikan menjaga relasi dengan pihak pihak yang mendukung pemberdayaan dan pendampingan sosial.

Rembang, 27 April 2017
Lingkar As Syuffah merupakan lingkar diskusi dari santri As Syuffah Sidorejo Pamotan Rembang, yang konsern pada keberagamaan dan kebudayaan Masyarakat Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By