Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]
Catatan Ukhty: Kaum Intoleran Dalam Tajuk Demokratisasi Myanmar Dan Indonesia
Please Enable JavaScript!
Mohon Aktifkan Javascript![ Enable JavaScript ]

Breaking News

Sabtu, 16 September 2017

Kaum Intoleran Dalam Tajuk Demokratisasi Myanmar Dan Indonesia

Kaum Intoleran Dalam Tajuk Demokratisasi Myanmar Dan Indonesia

Oleh: Ubaidillah Achmad

KOLOM, ARRAHMAH.CO.ID - Dalam beberapa bulan terakhir ini, telah muncul pemberitaan yang hangat dipersoalkan, yaitu peristiwa etnis Rohingnya. Banyak orang memahami peristiwa Rohingnya, adalah peristiwa agama, namun tidak banyak yang membaca ada etnis lain di Myanmar yang beragama Islam yang tidak mengalami konflik seperti di Rohingnya. Salah satu etnis yang beragama Islam yang tidak mengalami konflik di Myanmar, adalah etnis Bengali. Karenanya, tidak tepat mengaitkan konflik di Rahingnya, adalah konflik agama dan yang menjadi korban umat Islam. Konflik di Rohingnua bukan konflik agama, namun konflik politik yang mengorbankan aspek kemanusiaan.

Sehubungan dengan aspek kemanusiaan, agama manapun memiliki kepentingan untuk mengangkat harkat dan martabat umat manusia. Meskipun demikian, akan menjadi persoalan baru, jika hanya ada oknum umat Islam yang mengklaim, peristiwa di Rohingnya, adalah peristiwa yang menyiksa umat Islam akibat korban dari agama mayoritas di Myanmar. Jika hal ini tidak dipahami dengan baik, maka akan menciptakan konflik lebih besar lagi, berupa kesalahpahaman masyarakat dan menutup nalar beberapa umat Islam.

Jika nalar sehat "membaca rohingnya" sudah tertutup, maka konflik politik Rohingnya yang mengorbankan aspek kemanusiaan akan dipahami sebagai konflik agama yang harus mendapatkan respon fatwa jihad dari para Ulama. Selain itu, akan membuka keberuntungan kaum intoleran yang sedang memasak peristiwa Myanmar untuk memperparah konflik politik sesuai dengan visi intoleransi yang selalu mengatasnamakan agama besar dunia, termasuk di antaranya mengatasnamakan agama Islam. Kaum Intoleran akan selalu memanfaatkan konflik dunia untuk misi kehendak kuasa.

Sehubungan dengan peristiwa ini, perlu penulis jelaskan relevansinya dengan kaum intoleran dalam tajuk demokratisasi Myanmar dan Imdonesia. Jika hal ini tidak dipahami dengan baik, maka akan membuka konflik intern dan antar agama. Refleksi ini, setidaknya dapat membantu pemegang kebijakan dan masyarakat untuk bersikap objektif. Selain itu, dapat membantu gerakan sosial keberagamaan yang mendukung keragaman di satu sisi, namun di sisi yang lain memdukung ketegasan sikap keberagamaan yang tetap harmonis dengan sesama dan antar umat beragama.

Waspada Terhadap Kaum Intoleran

Kaum intoleran memiliki watak yang suka memecah belah umat beragama dan merusak keragaman dan kebhinekaan. Salah satu contoh sikap kaum intoleran yang sudah ada di depan mata kita, yaitu seseorang yang suka memutarbalikkan prinsip atau cakupan makna kebenaran agama, budaya luhur bangsa, dan keutamaan memberikan pandangan dan sikap hidup secara demokratis. Dalam konteks konflik Rohingnya, kaum intoleran memilih mengambil peran memilih memasak kasus rohingnya sebagai konflik agama dan membuat pemberitaan yang seolah olah menjadi korban, adalah umat Islam. Fakta menunjukkan berbeda, ternyata ada selain pemeluk agama Islam yang juga menjadi korban kemanusiaan ini. Jika tidak dipahami dengan baik, maka akan memperbesar konflik keberagamaan: antara umat Islam versus umat yang lain.

Di beberapa negara berkembang, gejala gelombang intoleran ini dimulai dari gerakan transnasional, dengan membawa bawa isu politik, sosial, kebudayaan, dan kapital dengan agama Islam. Hal ini telah mencemari kesucian makna Islam sebagai agama rahmatan lil'alamiin, pencerahan dan pembebasan. Gerakan kaum intoleran ini memerlukan kewaspadaan para akademisi dan agamawan muslim untuk membendungnya, sehingga meminimalisir terjadinya keterasingan umat Islam terhadap ajaran Islam.

Secara psikologis, kondisi sikap kaum intoleran ini karena ada dua hal yang menjadi faktor pendorong: pertama, individu yang suka keributan dan suka konflik sosial agama, Kedua, individu yang menjalankan misi kehendak kuasa kelompok tertentu, baik kelompok politis maupun kelompok kapitalis. Sehubungan dengan adanya perilaku menyimpang kaum intoleran, maka perlu langkah dari umat Islam berikut ini:

Pertama, menghindari strategi adu domba kaum intoleransi yang sering mendiskusikan sistem kekuasaan dan sistem politik kekuasaan. Diskursus tentang kekuasaan, adalah diskursus yang biasa terjadi, namun menjadi persoalan jika sudah mengarah pada subjektifitas kelompok dan mengabaikan penghargaan pada nilai keutamaan universal. Kedua, menghindari sikap diri seseorang yang berupaya menekankan pandangannya atau memberikan intervensi kepada seseorang untuk mengendalikan konflik sosial, agama, dan budaya.

Ketiga, menghindari seseorang yang selalu mengedepankan sikap emosi keberagamaan dan mengabaikan sikap kemanusiaan. Sikap baik memiliki standar yang dapat diukur dari komitmen seseorang terhadap nilai kemanusiaan dan keragaman. Prinsip kemanusiaan ini, telah menjadi prinsip semua nabi pembebas, yang menegaskan, bahwa setiap perkembangan kebenaran ilmu pengetahuan sangat terkait dengan visi kemanusiaan dan lingkungan hidup.

Jadi, Keadilan harus mengacu aspek kemanusiaan dan aspek kemanusiaan harus menjadi dasar keputusan yang adil. Alasan dikatakan kaum intoleran, karena tidak memiliki sifat teleransi terhadap kemanusiaan dan tatanan sosial yang sudah mapan serta berjalan secara harmonis. Kaum intoleran tidak mengenal budaya masyarakat dan kearifan lokal. Seluruh watak kaum intoleran difokuskan pada konflik dan kepentingan kelompok sendiri. Karena itu kaum intoleran sering membuat masalah memasuki gelombang demokrasi di negara negara yang mayoritas berpenduduk muslim, seperti Indonesia.

Sebaliknya, kaum intoleran juga sering memanfaatkan rezim otoriter dan juga memanfaatkan isu keterbukaan dan non-kekerasan. Misalnya, gerakan kaum intoleran untuk ikut turut serta bergerak memimpin demonstrasi di jalan-jalan, kampus, serta lapangan. Kuam intoleran dalam sepuluh tahun terakhir ini, telah memberikan sumbangan terhadap politik otoritarian dan juga memberikan sumbangan terhadap gelombang demokrasi di semua negara. Gerakan ini, bertujuan untuk memenuhi hasrat psikis yang sudah rusak dan hasrat kekuasaan pribadi.

Karena permainan kaum intoleran memilih memasuki semua isu mutakhir, maka beberapa aktivis kesulitan membedakan mana gerakan demokrasi yang didukung kesadaran kewarganegaraan dan mana kehendak kuasa yang akan menikam pihak yang akan dikuasai. Jika umat Islam lengah terhadap rayuan gombal kaum intoleran, maka akan menjadi bagian masyarakat yang terkena korban kekuasaan.

Kaum intolerans telah menata rapi persiapan bagaimana memainkan politik jangka pendek melalui populisme agama besar dunia. Misalnya, terjadi reformasi 1998, adalah reformasi yang tidak absen dari para demontrans, yang ternyata tidak murni membangun kesadaran kewarganegaraan masyarakat. Justru, banyak dimanfaatkam para kaum intoleran. Misalnya, sikap kaum intoleran memanfaatkan otoritarianisme orde baru. Sekarang ini, kaum intoleran terlibat aktif merespons masalah lokal sampai internasional atau dari masalah yang menggunakan isu "kecil" hingga isu politik identitas. Kaum intoleran memiliki watak yang bersifat reaksioner dan  bersikap tidak mendasar yang kebanyakan memilih kepentingan jangka pendek. Berikut mangsa kaum intoleran:

Pertama, pengikut agama yang fanatisme buta. Kedua, agamawan yang buta politik penguasa dan politik kapital. Kedua tipologi kebodohan ini akan menjadi artikulasi politik para elite politik, yang ingin "memanfaatkan" kelas rakyat yang menjadi korban relasi kuasa yang tidak seimbang.

Tajuk Demokratisasi Indonesia dan Myanmar

Sebelum menguraikan persoalan kaum intoleran dalam tajuk demokratisasi Indonesia dan rahingnya, perlu memahami makna demokratisasi. Demokratisasi, adalah adanya perkembangan kondisi masyarakat yang mengalami masa transisi dari pola dan sikap hidup individu dan masyarakat di tengah rezim yang otoriter ke rezim politik yang lebih terbuka dan memberikan hak kebebasan individu dan hak perlindungan yang sama dihadapan hukum (demokratis).

Dalam berbagai kesempatan, Gus Dur sering mengungkapkan, bahwa sistem demokrasi merupakan sistem yang terbaik dari sistem politik yang ada selama ini. Simpulan ini didasarkan pada adanya peluang yang sama dalam sistem demokrasi bagi warga di muka hukum dan sistem pemerintahan.

Bagaimana memahami krisis kemanusiaan di Myanmar yang dikaitkan dengan masalah kepentingan politik dalam negeri Indonesia? Bagaimana peristiwa yang sebenarnya terjadi di Rohingnya? Kasus krisis Rohingnya jika dibaca dari Konteks masyarakat Indonesia, memiliki dua pandangan: pertama, masalah Rohingnya sebagai wujud tragedi Kemanusiaan di Rakhina State.

Pandangan yang kedua, konflik Rohingnya dipahami sebagai bentuk masalah Politik umat Islam. Pemahaman kedua ini merupakan dampak dari perkembangan konstruksi keberagamaan oknum dari kelompok umat Islam yang mengaitkan sebagai kondisi umat Islam di seluruh dunia yang tersiksa. Karenanya, konflik ini dijadikan dasar untuk membangkitkan kemarahan umat Islam dunia, termasuk yang ada di Indonesia paska berakhirnya Pilkada DKI  2017.

Dari hasil simpulan yang kedua di atas berbeda dengan realitas politik Myanmar, yaitu negara yang terdiri dari berbagai etnis, di antaranya Etnis Arakan (Pribumi/Mayoritas), Etnis Bengali, Etnis Rohingnya. Myanmar memiliki 7 negara bagian, di antaranya Rakhina State, memiliki 3 etnis tersebut. Etnis Rohingnya beragama Islam dari Pakistan Timur dan Bangladesh. Yang perlu dicatat, dari ketiga suku yang memiliki warga beragama Islam tidak hanya Rohingnya, namun juga etnis Bengali, yang telah lama berinteraksi dengan muslim Rohingnya. Muslim Bengali selama ini, tidak terlibat konflik dan menjalani aktivitas seperti biasa: mengapa muslim Rohingnya terlibat konflik?

Hal ini terjadi karena faktor bisnis dan ekonomi serta masalah social politik yang langsung berhadapan dengan etnis Arakan (etnis mayoritas). Konflik kedua etnis ini mencuat secara publik pada tahun 2012, karena adanya upaya penggunaan instrumen politik sensitif agama yang dikembangkan oleh kaum intoleran, termasuk yang berkembang di Indonesia. Dalam konflik ini keduanya sudah tidak menggunakan prinsip agama, karena masing masing telah saling melakukam pembunuhan dan upaya pemerkosaan dan bentuk kekerasan yang lain.

Dalam perkembangan realitas politik di Myanmar, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak adil terhadap etnis Rohingnya. Sebagaimana liputan banyak media internasional, pemerintah menempatkan Rohingnya dalam kamp, terus memgawasi secara ketat. Selain itu, etnis Rohingnya telah mendapatkan perlakuan hak kewarganegaraan secara diskriminatif. Hal ini yang menyebabkan Etnis Rohingnya mengalami Kemiskinan yang berlarut larut. Sambut bergayung, kondisi ini mendorong Gerakan Solidaritas Rohingnya, yang di pimpin Atta Ula (Abu Amar). Atta Ula berdaran Pakistan, yang telah memulai berseteru dengan pasukan pemerintah Myanmar, 2016-2017.

Sistem negara demokrasi di Myanmar masih dalam kekuasaan Rezim Militer yang berkuasa paling lama (1962-2015). Rezim militer ini memiliki latar belakang kesejarahan dengan pemerintah Orde Baru. Jadi, membaca perkembangan politik di Myanmar didasarkan pada konflik politik murni, bukan konflik agama, namun tidak dapat dipungkiri, telah menelan korban umat Islam. Karenanya, konflik Rohingnya merupakan tanggung jawab dunia, tidak hanya umat Islam. Diskriminasi kemanusiaan di Rohingnya merupakan bentuk sikap yang menjadi musuh seluruh umat manusia, sehingga tidak hanya kesedihan umat Islam saja.

Selain PBB, sudah banyak negara bersuara keras terhadap pemerintah Myanmar atas Krisis Rohingnya. Contoh negara yang mengecam pemerintah Myanmar, seperti Malaysia, Turki, Indonesia. Dalam solidaritas agama, tidak hanya umat Islam dan Nahdlatul Ulama (NU), namun Vatican melalui Paus Fransiskus juga mengecam keras terjadinya diskriminasi atas etnis Rohingnya. Pemerintah Myanmar mencederai demokrasi negara Myanmar. Yang lebih memilukan lagi, pemerintah Myanmar memanfaatkan masyarakat untuk melakukan siatem demokrasi jalanan dengan membayar para demonstran. Hal ini terjadi, karena ingin menciptakan manajemen konflik di tengah konflik keberagamaan masyarakat.

Sehubungan demokrasi jalanan di atas, adalah demokrasi yang dikendalikan melalui demonstrasi besar-besar, yang sejatinya adalah ambisi kelompok elite untuk memenuhi ambisi politik pribadinya bersama sama dengan kaum intoleran.  Jadi, antara pemerintah Myanmar dan rezim Orde Baru di Indonesia, seperti dua sisi mata uang yang sama sama menggunakan kekuatan militer. Pilihan yang membedakan antara demokrasi jalanan dan populisme kanan, adalah seperti anologi antara sikap kebijakam para penguasa dan masyarakat korban kuasa agama dan pemerintahan.

Sebagaimana pada umumnya terjadi, konflik keberagamaan dimulai dari populisme kanan. Hal ini sudah terjadi di beberapa negara paling demokratis, yang masih membiarkan gerakan gerakan atas nama agama yang mengkampanyekan ortodoksi agamanya dan gerakan komunalisme. Contoh, di Indonesia telah ditandai adanya gerakan HTI dan FPI, yang berhasil dalam kegiatan jangka pendek untuk membangun aksi “Bela Islam” dan telah didukung massa yang besar dari organisasi keagamaan yang lain. Berbeda dengan populisme kanan, populisme kiri sering dimulai dari populisme kaum rasis, seperti Donald Trump di AS dan Brexit di Inggris. Kedua model konflik ini akan merusak nasionalisme dan kepentingan kelompok-kelompok minoritas serta sistem kebudayaan masyarakat.

Meskipun demikian, tidak semua konflik agama dan budaya disebabkan oleh populisme kanan. Karena dalam konteks realitas politik dunia, ada banyak pihak yang memainkannya. Dalam konteks kepentingan yang sama, juga bisa terjadi sebaliknya, yaitu adanya upaya sistem kekuasaan yang ingin merangkul populisme kanan bekerja sama dengan sistem permodalan. Misalnya, pada era Soeharto, populisme Islam sama senasib dengan kepitalisme, karena menjadi sama sama telah dimainkan oleh politik penguasa Orde Baru. Politik penguasa ini telah memanfaatkan relasi kerja sama busuk dengan para preman yang terorganisir.

Keadilan Hukum Yang Manusiawi

Hukum merupakan keputusan yang mengikat individu yang harus mengikuti tata aturan yang sudah ditetapkan kepada Individu yang sudah memenuhi kewajiban melaksanakan tata aturan dimaksud. Dalam institusi sosial, jika hukum dikaitkan dengan hak dan perolehan hak, maka hukum memiliki keterkaitan dengan nilai keadilan sosial. Keadilan memiliki cakupan makna yang mengarah pada prinsip kebenaran moral mengenai sesuatu hal terkait dengan manusia. Prinsip kebenaran ini memiliki nilai yang mendasari keadilan hukum, yaitu nilai kemanusiaan.

Sehubungan dengan prinsip keadilan ini, John R, filsuf Amerika Serikat, filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran"(John Rawls, A Theory of Justice (revised edn, Oxford: OUP, 1999), p. 3). Ukuran nilai kemanusiaan yang sesuai dengan proporsionalitas manusia merupakan inti keadilan. Teks keadilan ini dapat dipahami sebagai upaya sadar manusia meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya (wad'u As Syai' 'Ala mahallihi). Jadi, keadilan hukum yang akan diberlakukan kepada umat manusia, haruslah bentuk keadilan hukum yang sesuai dengan ukuran nilai kemanusiaan seseorang.

Oleh karena itu, sudah menjadi sikap manusiwi seseorang, jika ingin mendapatkan perlakuan kemanusiaan, yang sudah menjadi prinsip hidupnya. Secara manusiawi, prinsip hidup seseorang ingin mendapatkan hak pilihan dan perolehannya. Jadi, keberanian seseorang untuk menegaskan hak dan pilihan bukanlah sikap oportunis. Karenanya, lembaga hukum tidak boleh berhenti pada kepentingan kemanusiaan jangka pendek. Alasannya, nilai kemanusiaan itu harus dipahami secara jangka panjang untuk kepentingan etika hidup, bukan sebaliknya: prinsip etis tidak berarti di muka hukum.

Sebagai contoh, pembubaran HTI meskipun berbeda dengan kebhinekaan bangsa Indonesia, tidak boleh menodai para anggotanya. Pengikut HTI adalah manusia yang memiliki hak perolehan untuk mendapatkan perlindungan hukum. Selama sudah ada perpu No. 02/ 2017 tidak lagi melakukan penyebaran terhadap ideologi khilafah, maka perlu mendapatkan hak kewarganegaraannya.

Karena demokrasi di Indonesia harus didasarkan pada ideologi pancasila, maka ideologi khilafah HTI harus bubar. Kiranya dapat dipahami, bahwa berorganisasi merupakan hak kebebasan yg fundemantal dari seorang individu, namun sebagai warga negara tdk boleh mendirikan organisasi yg bertentangan ideologi pancasila, seperti: kebebasan dan hak berserikat, menyampaikan pendapat serta menjalankan keyakinanya. Contoh, mendirikan organisasi untuk membatasi hak hak seseorang, membunuh dan memperkosa, adalah contoh intoleransi yang harus segera dihentikan. Bagaimana dengan pemerintah Myanmar? Sebagai negara demokrasi, pemerintah Myanmar harus memahami etika hidup, nilai demokrasi, dan keadilan hukum warga negara. Dengan demikian, tidak lagi memperpanjang masa kebijakan yang diskriminatif yang akan berdampak pada konflik yang lebih luas lagi. Selamat.

Ubaidillah Achmad, penulis Islam Geger Kendeng, Suluk Kiai Cebolek, Khadim Majlis Kongkow As Syuffah Rembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By